Petani dan Kuda Johanes Lim dalam bukunya No Pain No Gain (1997) mengisahkan cerita menarik tentang petani dan kuda. Ada seorang petani di suatu desa yang mempunyai anak lelaki dewasa dan seekor kuda. Pada suatu hari si petani mendapati bahwa kudanya telah menghilang ke hutan, tentu saja ia sangat sedih. Kendati demikian, ia mencoba untuk tabah dalam menghadapi musibah itu. Pukulan dari tetangga-tetangganya semakin mengiris-ngiris kepedihan hatinya. Mereka bukannya empati tetapi malah mencemoohnya. Syukurlah, selang beberapa minggu kemudian si kuda yang hilang tadi kembali. Kuda itu pulang dengan membawa “teman” seekor kuda liar. Si petani pun bersorak kegirangan. Sementara untuk menjinakkan kuda liar agar bisa menjadi kuda tunggang, si petani menugaskan anak lelaki satu-satunya. Akan tetapi, kuda hutan itu masih sangat liar, anak petani itu tidak bisa mengendalikannya dan mengalami musibah. Dia jatuh dan terinjak kuda liar itu hingga mengharuskannya istirahat total agar tidak menjadi cacat seumur hidup. Kembali si petani sedih dan tetangga pun mulai bernyanyi melihat peristiwa itu. Namun, si petani tetap optimis, “Hari baik atau hari buruk bukan dia yang menentukan,” pikirnya. Selaku ayah dia sudah melakukan tugas sebaik-baiknya, selaku petani dia sudah mengambil bagiannya yang proporsional. Namun, pada suatu hari -karena kebetulan pada waktu itu negaranya sedang mengalami perang saudara- datanglah serombongan pejabat militer dan pemerintah setempat untuk merekrut pemuda-pemuda di desa tersebut untuk mengikuti wajib militer. Semua orangtua yang anaknya direkrut untuk wajib militer, tidak tahu apakah anaknya itu akan kembali dalam keadaan hidup atau tidak.
Ketika pejabat militer tersebut tiba di rumah sang petani, dilihatnya kaki putra si petani sedang luka parah akibat jatuh dari tunggangan kuda liar beberapa hari yang lalu. Dia pun luput dari perekrutan wajib militer tersebut. Hari yang baik atau hari yang buruk, tidak ada yang tahu sepanjang kita melakukan tugas kita sebaik-baiknya. Kini para tetangga tidak bernyanyi lagi, sebab mereka telah larut dalam tangisan kesedihan akibat anaknya pergi dan belum tentu kembali. Seorang bijak pernah berkata, dalam situasi yang serba tidak menentu, satu hal yang tidak dapat berubah namun justru mampu mengubah dunia sekeliling kita, yaitu senyuman, perkataan, dan ungkapan syukur. Mengucap syukur merupakan tanda ketergantungan seseorang pada kuasa yang lebih berkuasa. Mengucap syukur menunjukkan kerendahan hati yang mulia untuk menerima apa yang patut diterima. Bahkan, bersyukur sendiri merupakan parameter kadar spiritualitas seseorang dalam berhubungan dengan Sang Pencipta-nya. Seorang sufi pernah bertutur bahwa salah satu indikator kualitas hubungan spiritual ini adalah ungkapan pertama yang keluar dari mulut kita setiap kali bangun pagi. Ada dua tipe manusia menghadapi pagi hari di saat bangun tidurnya. Manusia pertama berucap, “Terima kasih Tuhan untuk pagi yang indah ini!” Sedangkan tipe manusia yang kedua berkata, “Aduh, Tuhan. Kok sudah pagi lagi!”
Survei menunjukkan, seorang pekerja yang senantiasa bersyukur atas apa yang diterimanya baik suka maupun duka ternyata membuat dia lebih tahan terhadap penyakit stres akibat kerja dibandingkan mereka yang selalu menggerutu. Itulah sebabnya Deepak Chopra dalam bukunya Journey Into Healing pernah berkata, “Health is not just the absence of disease, but the inner joyfulness that happen all the time” (Kesehatan tidak hanya berarti tidak adanya penyakit, tetapi kebahagiaan dan rasa syukur dari dalam, yang mengendap dalam waktu yang lama). Apa yang diterima saat ini, suka maupun duka tidak menjadi alasan untuk tidak bersyukur. Bersyukur pada saat kita menerima apa yang diinginkan, kebaikan, kelimpahan, dan kesejahteraan merupakan hal yang mudah dan wajar. Namun, mensyukuri apa yang tidak kita terima padahal semestinya diterima merupakan usaha sendiri yang mulia untuk bersyukur. Mengucap syukur atas rekan yang sudah terlebih dahulu dipromosikan merupakan nilai kerendahan hati dan kematangan spiritual yang tinggi dalam bergaul. Bersukacita dan bersyukur atas keberhasilan materi seseorang merupakan motivator yang efektif untuk meningkatkan nilai dan jati diri. Bersyukur mungkin dapat dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana dan tidak perlu pemikiran teologia yang mendalam. Ketika kita tahu memposisikan diri di alam ini sebagai ciptaan yang memiliki nilai yang tinggi di antara seluruh ciptaan, di sinilah langkah untuk mengucap syukur dimulai. Seperti kisah petani di atas, dibalik ucapan syukur selalu ada optimisme yang luar biasa. Optimisme yang sesungguhnya adalah menyadari masalah tetapi mengenali pemecahannya, mengetahui kesulitan namun yakin bahwa itu dapat diatasi, melihat yang negatif tetapi menekankan yang positif, menghadapi yang terburuk, namun mengharapkan yang terbaik, dan punya alasan untuk menggerutu tetapi memilih untuk tersenyum. Jadi, mengucap syukurlah dalam segala hal.