DEKONSENTRASI dan tipologi Pemerintahan lokal

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
APA OTONOMI DAERAH ? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN.
Advertisements

Berkelas.
BAB V LEMBAGA PEMERINTAHAN DAERAH
H.Ghazaly Ama La Nora,S.Ip,M.Si Mercu Buana University
Hasil Diskusi Definisi Otonomi Daerah
Pasal 18 UUD 49 dan Pasal 18, 18A dan B (Amandemen)
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Otonomi Daerah.
Hukum Tata Negara Bahan ajar Pengantar Hukum Indonesia
HUBUNGAN KELEMBAGAAN ANTAR PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN DAN PEMBERHENTIAN PNS
PENGERTIAN Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.
STRUKTUR PEMERINTAHAN DAERAH
PENGAWASAN Daly Erni 28 April 2008.
Hubungan antar pemerintahan
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Struktur Penyelenggara Pemerintahan Daerah : Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Materi 1 BAHAN AJAR MI NEGERI ANJATAN Kegiatan Pengayaan Kelas VI
Penyelenggaran Kekuasaan Negara
UU No. 23 TAHUN 2014 IMPLIKASINYA TERHADAP SDM KESEHATAN
Materi Ke-14: MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Otonomi Daerah (Dalam Konteks Perencanaan Pembangunan Wilayah)
Kedudukan, Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD
PRINSIP - PRINSIP PEMERINTAHAN DAERAH Muchamad Ali Safa’at
POLA HUBUNGAN KERJA URUSAN KEISTIMEWAAN
Kuliah 7 UU 32 Tahun 2004 Harsanto Nursadi.
TEORI DESENTRALISASI I
TIPE DAN ASAS PEMERINTAHAN LOKAL
KODIFIKASI PKPU TENTANG PENCALONAN PEMILIHAN GUBERNBUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, DAN/ATAU WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA.
OPTIMALISASI POTENSI EKONOMI DAERAH OLEH : DEDY ARFIYANTO , SE.MM
PEMERINTAHAN DAERAH NOVIA KENCANA, S.IP., MPA PRODI ILMU PEMERINTAHAN
Lembaga Legislatif Indonesia
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
Anggota kelompok: 2.Fransisko(Mia 1/19) 1.Bagus (mia 1/06)
ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN
BAB VIII PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
PENGANTAR HUKUM INDONESIA
HUBUNGAN ANTAR PEMERINTAHAN – KELAS H
OTONOMI DAERAH Definisi otonomi daerah  kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Oleh : Bambang Supriyono
SISTEM PEMERINTAHAN Sistem pemerintahan merupakan gabungan dari
PERATURAN, PERENCANAAN PEMBANGUNAN, DAN KERJASAMA
KEPALA DAERAH & WAKIL KEPALA DAERAH DR. Ni’matul Huda, SH, MHum
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
OTONOMI DAERAH (OTODA)
KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Dasar Hukum DASAR HUKUM OTONOMI DAERAH
DIMENSI STRUKTURAL PEMERINTAHAN DAERAH
MEKANISME PENYERAHAN URUSAN KEWENANGAN PEMPUS-PEMDA
HUKUM ACARA SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
Tugas HTN BAB 7 ORGAN DAN FUNGSI KEKUASAAN NEGARA
Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (I)
Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Presented by: Syaiful Bakhri, S.Sos, MM
OTONOMI DAERAH Desi Harsanti Pinuji.
Disusun Oleh Pipit Fitriyani, S.Pd
DR.Suharto,SH.,M.Hum.
ISU DAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Perundangan Pemerintahan Daerah
Oleh: Yesi Marince, S.IP., M.Si Sesi 4
PEMBERIAN HAK ATAS TANAH
PERSPEKTIF PERANGKAT DAERAH BERDASARKAN PP 18 TAHUN 2016
Kuliah 5 TEORI-TEORI PEMERINTAHAN DAERAH
DESENTRALISASI & PEMERINTAHAN DAERAH
PERADILAN Tata Usaha Negara
PENGAWASAN PEMERINTAHAN DAERAH
NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DALAM PEMILU DAN PEMILIHAN
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.
Desentralisasi atau otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Transcript presentasi:

DEKONSENTRASI dan tipologi Pemerintahan lokal (Irfan)

DASAR PENGEMBANGAN Administrasi lapangan dikembangkan melalui instrumen dekonsentrasi Alasan-alasan dikembangkannya administrasi lapangan bervariasi. Fried (1963) menyatakan bahwa administrasi lapangan dapat dikembangkan untuk kepentingan penetrasi politik warga negara. Namun demikian Fried juga mengakui adanya kepentingan pengembangan pelayanan kepada warga.

Lanjutan Massam (1985) menyatakan bahwa adnministrasi lapangan dikembangkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, Rondinelli dan Cheema (1983) melihat adanya kemampuan untuk mengembangkan perencanaan secara lebih baik dengan adanya administrasi lapangan dalam pemerintahan.

POLA KELEMBAGAAN DEKONSENTRASI AF. LEEMANS (1970) “Two board patterns of central government field administration: 1. organization on primarily functional basis: ‘fragmented field administration’. 2. organization on primarily territorial basis: ’integrated field administration’ Kedua pola tersebut dalam rangka dekonsentrasi karena yang dibahas adalah organ pemerintah pusat yang akan disebar aktivitasnya ke penjuru wilayah negara.

FFA “Under the functionally-based patterns of organization, each central government department (such as education, public health, agriculture, public work, etc.) has it own hierarchy or field administration for areas which frequently differ in size and boundaries.” Karena terpecah-pecah maka disebut fragmented field administration. Pola tersebut belum memperlihatkan keterkaitannya dengan desentralisasi, sebab baru pada sisi dekonsentrasi. MENGHASILKAN SPECIALIST

IFA b. IFA “The second patterns of central government field administration is mainly based on area integration of central government services. An institutional link is thus established among representatives of the various central government departments. In this structure, a general representative of central government is head of the areas administrative organization composed of the various central departments, and is in charge of coordination and integration of policy making process and action in the various fields.” MENGHASILKAN GENERALIST

Tipologi pemerintahan lokal Baik FFA maupun IFA dikembangkan bersamaan dengan desentralisasi yang melahirkan pemerintahan daerah. Dalam FFA dan IFA sangat besar kemungkinan dikembangkan dengan hirarkis struktural yang tinggi. Dalam desentralisasi terdapat pula kemungkinan adanya daerah otonom yang besar dan kecil. Perpaduan FFA dan IFA di satu sisi, dan desentralisasi di sisi lain melahirkan ‘tipologi’ pemerintahan lokal dalam dua golongan besar: (1) prefektoral; dan (2) fungsional.

Indikator tipologi Terdapat berbagai elemen untuk mengenali dua tipologi besar tersebut, terutama 2 elemen, yakni: (1) Elemen wilayah; dan (2) Elemen jabatan. Pada tipologi prefektoral, jika terdapat wakil pemerintah di daerah yang bertugas pula mengawasi lembaga-lembaga pemerintahan daerah di wilayahnya.

Lanjutan Tipologi Prefektoral dapat berbentuk 2 macam. (a) terintegrasi; dan (b) tak-terintegrasi. Prefektoral terintegrasi dianut jika dijumpai adanya penyatuan elemen jabatan dan elemen wilayah pada satu lembaga pemerintahan di daerah, yakni jabatan Wakil Pemerintah dijabat pula oleh orang yang sama sebagai Kepala Daerah; dan batas yurisdiksi wilayah administrasi simetris dengan yurisdiksi batas daerah otonom. Prefektoral tak terintegrasi jika wilayah administrasi dari Wakil Pemerintah tidak diikuti oleh penarikan garis batas daerah otonom yang simetris. Jabatan Wakil Pemerintah juga tidak otomatis disandang pula oleh Kepala Daerah.

Lanjutan Pada tipologi fungsional tidak dikenal penyatuan baik elemen wilayah maupun jabatan pada satu lembaga pemerintahan di daerah. Di daerah tidak ada wakil pemerintah melainkan sebatas instansi vertikal dari departemen teknis; kepala daerah bukan wakil pemerintah; dan daerah otonom tidak simetris dengan wilayah administrasi instansi vertikal manapun hanya saja bidang yang relevan dibina oleh instansi vertikal yang relevan.

UU No. 1 tahun 1945 terdapat sebutan Badan Eksekutif yang terdiri atas 5 anggota KND plus KDH sebagai ketua yang menjalankan pemerintahan daerah. Plural Eksekutif BPR (badan Perwakilan Rakyat) berperan sebagai DPRD KDH adalah ketua Badan Eksekutif (Badan Pemerintah daerah) yang terdiri dari 5 orang anggota Komite nasional daerah yang berubah menjadi BPR dan juga sebagai ketua BPR KDH bersifat dualistis (perpanjangan Pemerintah juga), garis batas daerah otonom juga garis batas wilayah kerja wakil pemerintah.

UU No. 22 tahun 1948 Yang disebut Pemerintah Daerah adalah DPRD + DPD (b) Plural Eksekutif (c) KDH adalah ketua Dewan pemerintah daerah (DPD) yang anggotanya dari DPRD dengan jumlah anggotanya ditetapkan dalam UU pembentukan (d) KDH diangkat oleh Pemerintah dari calon yang diajukan DPRD sebagai Wakil pemerintah garis batas yurisdiksi daerah otonom= wilayah administrasi. (e) Ketua dan Wakil Ketua DPRD dilarang menjadi anggota DPD

UU No. 1 Tahun 1957 Yang disebut Pemerintah Daerah adalah DPRD dan DPD Plural Eksekutif KDH adalah ketua Dewan pemerintah daerah (DPD) yang anggotanya dari DPRD dengan jumlah anggotanya ditetapkan dalam peraturan pembentukan Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat (Bung Hatta memberikan catatan terhadap hal ini) Ketua dan Wakil Ketua DPRD dilarang menjadi anggota DPD KDH bukan sebagai Wakil Pemerintah DPRD berhasil diisi dengan Pemilu 1955 di Daerah-daerah tertentu

UU No. 18 Tahun 1965 Yang disebut sebagai Pemerintah Daerah adalah KDH dan DPRD Mono-eksekutif (dualistis) KDH diangkat oleh pemerintah dari nama yang diajukan DPRD Pimpinan DPRD bertangungjawab kepada KDH sebagai Wakil pemerintah, daerah otonom berhimpit dengan wilayah administrasi Pimpinan DPRD berisi poros NASAKOM KDH dibantu oleh 1 Wakil KDH dan BPH (badan Pemerintah Harian)

UU No. 5 Tahun 1974 Yang diebut sebagai pemerintah daerah adalah KDH dan DPRD Mono Eksekutif (dualistis) DPRD berhasil diisi melalui Pemilu 1971 KDH bertanggungjawab kepada Pemerintah karena perannya juga sebagai Wakil pemerintah dan KDH memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD Yurisdiksi daearh otonom= wilayah administrasi

UU No. 22 tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 Yang disebut sebagai Pemerintah Daerah adalah KDH beserta Perangkat Daerah Mono eksekutif: dualistis di Propinsi KDH bertanggungjawab kepada DPRD KDH dipilih-diangkat DPRD dan disahkan oleh Pemerintah DPRD berhasil diisi melalui Pemilu

Lanjutan Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004 (1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Berbeda dari UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 tidak terdapat pasal yang menyatakan bahwa Provinsi adalah wilayah administrasi. Hanya saja berdasarkan pasal di atas, sebagai Wakil pemerintah, Gubernur beroperasi di daerah otonom tersebut.

Lanjutan Pasal tersebut juga membawa kepada sangat terbukanya kesempatan bagi departemen/ kementerian negara untuk tidak perlu melakukan penarikan garis batas sesuai wilayah operasi Gubernur karena Provinsi yang tidak dinyatakan secara tegas sebagai wilayah administrasi. Departemen/ kementerian negara dapat menarik garis operasi kerja berbeda dari Gubernur atau bahkan di percabangan berikutnya yang tidak perlu simetrik dengan yurisdiksi Kab/ Kota.

Lanjutan Nampak juga UU No. 32 Tahun 2004, mengurangi makna teoritik asal prefektur yang seharusnya mampu menjadi koordinator lembaga percabangan lokal (instansi vertikal) departemen/ kementerian negara yang sudah tidak diatur lagi. Departemen/ kementerian Negara mungkin akan bekerja sendiri-sendiri di tingkat lokal dengan garis batas yang berbeda-beda dan tanpa rantai hubungan dengan Gubernur sekalipun sebagai wakil Pemeirntah.

Menurut UU No. 22 Tahun 1999 DEKONSENTRASI diartikan dengan kalimat “pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah”. (PASAL 1 Ketentuan Umum) Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Bab I pasal 1 ayat 8: “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.”

Lanjutan Menurut pernyataan tersebut baik UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No.32 Tahun 2004, dapat bermakna adanya pola tiga kemungkinan dekonsentrasi yakni : (1) kepada Gubernur, (2) kepada perangkat Pusat di Daerah –administrasi lapangan/ instansi vertikal; atau (3) bersama-sama baik kepada Gubernur maupun kepada Instansi vertikal sesuai peran dan fungsi yang dilimpahkan. Perlu dicermati dalam UU No. 22 tahun 1999 bahwa kata “Perangkat Pusat di daerah” bermakna adanya kemungkinan “Instansi vertikal berada baik di Daerah Propinsi maupun kabupaten/ Kota” sedangkan Gubernur hanya di Propinsi. Tetapi, apa yang terjadi?

Sebutan “Perangkat Pusat di Daerah” sinonim dengan “instansi vertikal” yang dalam bahasa teori disebut sebagai ‘administrasi lapangan” atau “field office” atau “field administration”. UU No. 22 Tahun 1999 mengartikan instansi vertikal dengan kalimat “perangkat Departemen dan atau lembaga non Pemerintah Non Departemen di Daerah”.

Lanjutan UU No. 22 Tahun 1999 tidak cukup jelas mengatur keberadaan instansi vertikal padahal hal ini menyangkut eksistensi hubungan antar pemerintahan yang cukup penting dalam administrasi negara. Bahkan diakhiri dalam UU tersebut bahwasannya instansi vertikal dihapuskan untuk dilebur ke dalam dinas. UU No. 32 Tahun 2004, kata ‘perangkat pusat’ diganti ‘instansi vertikal’ dan kata ‘di daerah’ diganti dengan kata ‘di wilayah tertentu’. Instansi vertikal merupakan nomenklatur lama, sehingga semakin jelas ke arah penggunaannya kembali, sedangkan di wilayah tertentu mengandung ketidakjelasan penarikan garis batas.

Lanjutan Oleh karena itu, pada pasal 228 UU tersebut sangat dimungkinkan instansi vertikal muncul kembali di daerah bahkan hingga Kabupaten/ Kota. Disamping itu, pelimpahan dilakukan juga kepada Gubernur. Pelimpahan Kepada Gubernur tersebut diikuti penarikan garis batas yang cukup jelas pada ruang lingkup Provinsi yang berhimpit sebagai daerah otonom juga.

Lanjutan Pasal 228 1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) yang didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal di daerah. (2) Instansi vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah, susunan dan luas wilayah kerjanya ditetapkan Pemerintah. (3) Pembentukan, susunan organisasi, dan tata laksana instansi vertikal di daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (4) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan menjadi milik daerah.

Penu tup Prediksi: departemen/ kementerian negara dapat memasuki arena kegiatan lokal sesuai justifikasi masing-masing dengan koridor pasal 10, 11, dan 12 tanpa terdapat keterkaitan yang tegas antar departemen/ kementerian---garis batas yang tidak sama dimungkinkan. Gubernur semakin berkuasa hanya persoalan daerah otonom Kabupaten/ Kota di wilayahnya sekalipun sebagai wakil pemerintah---tidak disebutkan aturan menjadi titik temu bagi departemen/ kementerian negara di tingkat lokal. Departemen dalam negeri memainkan peranan yang dominan dan sengaja meng-kotakan persoalan daerah otonom di luar kepentingan Departemen/ kementerian lain.