Dialog dalam “Seikere” Pertemuan saya dengan Bung Hatta terjadi di Jakarta, pada awal Pendudukan Jepang. Ketika itu saya baru saja mengungsi dari Solo untuk menghindari “terkaman Jepang lagi”. Sewaktu saya di Solo, saya ditangkap Kempetai, Polisi Rahasia Jepang (untung ditolong Mr. Singgih, sahabat karib saya yang dekat dengan Jepang, sehingga saya selamat dari siksaan Jepang yang sadis). Beberapa minggu sebelum itu saya ketemu Bung Karno di Solo di rumah ketua Parindra, Wuryaningrat, bersama-sama dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Di pertemuan itulah saya dinasihati Bung Karno agar segera pindah ke Jakarta supaya selamat. Tidak lagi saya ingat persis di mana dan dalam suasana apa saya bertemu Bung Hatta, tetapi kalau tidak salah di rumah Bung Karno. Ada satu hal yang tidak bisa saya lupakan dari pertemuan pertama itu. Pribadi Hatta sudah sering saya dengar, begitu juga tulisan-tulisannya sudah saya baca. Akan tetapi kesempatan bertemu yang pertama itu benar-benar membuktikan apa yang saya dengar dan yang saya baca, plus kesederhanaan yang mengagumkan. Tindakan dan pernyataan-pernyataan Bung Hatta yang berhati-hati dan gereserveerd mengenai sikap Jepang yang fasistis, benar-benar cocok dengan jiwa saya yang ketika itu sebenarnya lebih menyukai cara-cara nonkooperatif dan permainan under-ground. Mengingat keselamatan supaya terhindar dari tuduhan spionase, berhubung segel radio saya putus dan hal itu dianggap sebagai mendengarkan siaran luar negeri gelombang pendek, terpaksalah saya menuruti nasihat Bung Karno dan ikut dalam Hookookai. Di Hookookai oleh Bung Karno saya ditempatkan di bagian Mr. Sartono dan Wangsa Widjaja. Namun hubungan sembunyi-sembunyi dengan Sjahrir yang kala itu bergerak di bawah tanah tetap dilakukan. Sikap Bung Hatta terhadap Jepang itu jadi satu hal yang membuktikan betapa pribadi Hatta adalah orang yang begitu lugu dan tak bisa menyembunyikan perasaan hatinya. Sekali pernah saya tanyakan padanya tentang itu. “Justru saya berharap mereka tahu sikap saya, dan bagi saya tidak menjadi soal bahwa mereka tahu,” begitu jawabannya. Dialog ini terjadi setelah suatu pertemuan dengan beberapa opsir-opsir tinggi Jepang. Saat itu seperti biasanya ada acara seikere (upacara penghormatan kepada kaisar Jepang dengan cara membungkuk). Seikere oleh Bung Hatta hanya dilakukan setengah bungkukan saja, dan roman mukanya jelas menampakkan rasa hatinya. Memang begitulah Bung Hatta. Jika ia meyakini bahwa suatu hal benar, maka ia akan mengatakannya dengan caranya, sehingga orang yang mengerti dan peka akan tahu juga apa yang sebenarnya menjadi pendapat Bung Hatta. Inilah yang menjelaskan mengapa Hatta dan Sjahrir, yang berpendapat sama dalam soal-soal demokrasi, ternyata memilih jalan yang berbeda di zaman Jepang. Pribadi Hatta yang lembut itu lebih cocok dengan pola-pola yang selalu menjaga harmoni tanpa kehilangan identitas diri. A.R. Baswedan, Pribadi Manusia Hatta, Seri 8, Yayasan Hatta, Juli 2002