Pengelolaan Kawasan Konservasi: Lesson from Global Experience
“an area of land and /or sea especially Protected Area “an area of land and /or sea especially dedicated to the protection and maintenance of biological diversity, and of natural and associated cultural resources, and managed though legal or other effective means”. (IUCN)
History of protected Area Management: pre-history Awal komunitas pertanian (early pre-agrarian societies) di wilayah Asia; Catatan pertama mengenai konservasi satwaliar ditemukan di India pada abad ke-4 sebelum masehi, dimana segala bentuk pemanfaatan sumberdaya dilarang dalam hutan adat; Pada tahun 700 sebelum masehi, bagsawan Assyrian mengasah kemampuan berburu, menunggangi kuda serta berperang dalam taman buru Abad ke- 6: undang-undang untuk melindungi kawasan lahan basah di dataran Huang-Huai-hai di daerah timur laut Cina. Venice menetapkan kawasan khusus pelestarian rusa serta babi hutan sebelum tahun 726 Di Inggris, Undang-Undang mengenai Hutan dikeluarkan oleh Raja Canute (Forest Law of King Canute) di awal abad ke-11 Di Rusia, penetapan kawasan konservasi terkait dengan penciptaan hutan-hutan adat, hutan larangan, tempat suci di mana dilarang dilakukan kegiatan perburuan, memancing, pengambilan pohon bahkan keberadaan manusia juga dilarang.
History of Protected Area Management: segregation phase Munculnya “Pergerakan Taman Nasional” yang diperkirakan sebagai akibat dari tanggapan terhadap revolusi industri yang telah banyak merubah bentang alam dengan laju yang cukup cepat. Istilah“taman nasional (national park)” pertama kali dijelaskan oleh seorang explorer Amerika bernama George Catlin di tahun1832 untuk mendeskripsikan penetapan kawasan Taman nasional yellowstone di Amerika. Catlin menyebut kawasan ini sebagai “A Nation’s park, containing man and beast, in all the wild and freshness of their nature’s beauty!”
History of Protected Area Management: integration phase Sejak UN Conference on the Human Environment di Stockholm pada tahun 1972, dan lebih lagi setelah UN Conference on Environment and Development of Rio pada tahun 1992, telah banyak pendekatan konservasi baik internasional maupun nasional yang telah dibuat yang mengintegrasikan kepentingan sosial dengan pembangunan. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi saat ini adalah pemanfaatan sumberdaya lama yang berkelanjutan, pelestarian jasa lingkungan serta integrasi dengan cakupan penbangunan sosial yang lebih luas serta konservasi biodiversitas.
History of Protected Area Management in Indonesia: era of archipelagic kingdom Belum banyak dokumen tertulis mengenai kebijakan konservasi Konservasi lebih banyak direfleksikan melalui perilaku masyarakat serta hubungannya dengan alam yang dipelajarinya dari nenek moyangnya. Prasasti Malang (Malang Epigraph) dari jaman Kerajaan Majapahit ditulis pada tahun 1395 - penting dalam pergerakan konservasi kawasan di Indonesia yang menunjukkan upaya Kerajaan Majapahit dalam mengkonservasi sumberdaya alamnya, daerah tangkapan air serta hal-hal yang mendukung upaya konservasi tersebut. Masyarakat dilarang untuk mengambil kayu, tetapi dibebaskan dari pajak. Kebutuhan kayu disediakan oleh kerajaan yang diambil dari lokasi lain Kerajaan Majapahit memberikan alternatif solusi dalam penerapan kebijakan sehingga kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang mendukung lingkungan baik secara ekologis maupun sosial.
History of Protected Area Management in Indonesia: Dutch administration era 1714 – C. Chastelein memberikan sebuah lahan dengan luas 6 ha kepada anak buahnya untuk digunakan sebagai cagar alam karena keindahan serta keaslian alamnya – CA Depok (sekarang Tahura Pancoran Mas) 1889 –Lahan dengan luas 280 ha di Cibodas ditunjuk sebagai lokasi penelitian flora pegunungan. Kawasan ini kemudian diperluas sehingga mencakup wilayah Gunung Gede dan Gunung Pangrango pada tahun 1925. Eksploitasi besar-besaran terhadap burung cendrawasih di Papua menyebabkan munculnya undang-undang perburungan, yg dituangkan dalam Staatsblad 479 (Okt 1909) serta Staadblad 594 (Des 1909) yg berkembang menjadi Undang-Undang Perlindungan Hidupan Liar serta Burung Liar pada tahun 1910 1912 – Dr. S. H. Koorders et al. membentuk sebuah asosiasi perlindungan alam yang dinamakan dengan Nederlands Indische Vereniging tot Natuur Bescherming, dan menjadi ketuanya. 1913 – Asosiasi ini menunjuk bberapa kawasan di Jawa sebagai areal perlindungan dengan tujuan khusus perlindungan sehingga tidak boleh diganggu: beberapa kawasan danau di Banten, Pulau Krakatau, Kawah Papandayan, Ujung Kulon, kawasan pasir di Bromo, Pulau Nusa barung, Semenanjung Purwo, Kawah Ijen serta pegunungan Ijen.
History of Protected Area Management in Indonesia: Dutch administration era (con’d) Kawasan cagar Alam pertama di luar Jawa adalah di kawasan Gunung Batu Gajah di Ambon yaitu CA Rumphius yang diikuti oleh penetapan habitat rafflesia di bengkulu dan Aceh pada tahun 1915. 1925 – terbentuk Netherland Commission for international Nature Protection yg dipimpin oleh P.G. van Tienhoven, yg mendorong pemerintah untuk membentuk kawasan cagar alam yang lebih luas. Hal ini berdampak thd pembentukan beberapa kawasan cagar alam alinnya di tahun 1931 serta undang-undang perlindungan satwaliar. 1932 – terbentuknya Peraturan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa yang kemudian digantikan dengan Peraturan Perlindungan Alam (Staadblad 1941 No. 167). Sebelum kedatangan Jepang, pemerintah Belanda menetapkan Ordonansi perlindungan Alam thn 1941 yang mengatur penetapan & pembentukan Cagar Alam serta Suaka Margasatwa, termasuk aktivitas-aktivitas yang diijinkan dan dilarang untuk dilakukan.
History of Protected Area Management in Indonesia: Dutch administration era (cont’d) Pada jaman pemerintahan Jepang, tidak ada pergerakan konservasi alam yang nyata. Sampai akhir era ini, telah terbentuk 117 CA di Sumatera, Jawa, kalimantan, Bali, Sulawesi serta pulau-pulau lainnya dengan total luas 3 jt hektar.
History of Protected Area Management in Indonesia: Independence era 1950 – Dinas Kehutanan RI menunjuk petugas khusus untuk menangani isu-isu perlindungan alam, yg pertama terkait dengan perburuan badak di Ujung Kulon. 1952 – Kebun Raya Bogor memiliki kantor baru yang disebut dengan Institution of Nature Preservation (Lembaga Perlindungan Alam) 1962 – bergabung dengan Departemen Pertanian dan Agraria menjadi Badan Perlindungan dan pelestarian Alam 1964 – Bagian pengembangan pertanian dan agraria berada di bawah pengelolaan departemen kehutanan sedangkan bagian perlindungan alam berada di bawah Direktorat Kehutanan pada thn 1967. 1971 – pembentukan Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam untuk menangani urusan teknis terkait pengelolaan CA, SM, TWA, TB, Kebun Binatang serta pengembangan wisata alam
History of Protected Area Management in Indonesia: Independence era Sampai 1980 – pengelolaan kawasan konservasi berada di bawah tanggung jawab Sub Direktorat Taman nasional, Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam, Departemen Pertanian. 1983 – melalui SK Menhut, TN dan TWA dikelola oleh Direktorat Taman Nasional dan Taman Wisata Alam, sementara CA, SM dan TB dikelola oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Dalam perkembangannya, pengelolaan TN berada di bawah otoritas Taman nasional 2007 – sebanyak 50 TN telah dibentuk. TN berada di bawah pengelolaan Balai taman nasional sementara kawasan konservasi lainnya (kecuali Tahura) berada di bawah pengelolaan BKSDA 2009 – sebanyak 530 kawasan konservasi telah terbentuk yang terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Tahura dan Taman Buru dengan total uas 28,007 jt ha
Evolution of the Protected Area (PA) Approach Lima perubahan dalam pendekatan kawasan konservasi (KK): a. KK saat ini lebih merupakan sebuah jaringan bukan pulau b. KK diarahkan bukan hanya untuk tujuan konservasi tetapi juga untuk tujuan sosial ekonomi c. Pengelolaan KK saat ini adalah dengan dan untuk masyarakat d. Penekanan pengelolaan KK saat ini adalah pada kualitas vs kuantitas e. KK saat ini sudah merupakan perhatian international bukan hanya national
From Islands to Networks Semakin banyak pengelolaan KK yang diintegrasikan ke dalam rencana pengelolaan tata ruang wilayah KK dikelola pada tingkat lanskap atau bioregion, yang merefleksikan pendekatan ekosistem seperti telah dituangkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) sehingga memperluas dampak konservasi dari sekedar zona inti. Pengelolaan KK saat ini mencakup areal yang lebih luas, tidak hanya KK saja, sehingga dalam pengelolaannya, menyatu dengan kondisi sosial-ekonomi serta ekologi setempat
From Conservation to Social and Economic Objectives Pengelolaan KK yang terintegrasi dengan kondisi ekonomi lokal maupun wilayah semakin meningkat, sehingga memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan serta menciptakan kemitraan yang produktif dengan masyarakat lokal maupun privat
Management With and For the People Melihat pada paradigma pengelolaan KK saat ini, KK dikelola dengan dan untuk masyarakat – dan dalam beberapa hal oleh masyarakat – bukan bertentangan dengan mereka Inisiatif konservasi berbasis masyarakat telah memberikan suatu masukan baru terhadap praktek-praktek konservasi yang berkelanjutan, dan sangat membantu dalam membawa perubahan terhadap kerangka acuan legal pengelolaan KK
Quality versus Quantity Peningkatan jumlah areal KK menekankan pentingnya pengelolaan yang efetif bagi KK yang ada saat ini, terutama dengan semkain meningkatnya ancaman terhadap KK KK harus mampu mewujudkan tujuan ekologis, ekonomis serta sosialnya Berkembangnya metode-metode baru dalam menilai efektifitas pengelolaan KK serta adanya suatu sistem sertifikasi tingkat internasional dalam menilai pengelolaan KK
National to International Concern Kontribusi KK terhadap konservasi in-situ telah diakui dalam CBD, dimana konvensi tersebut menyebutkan beberapa kegiatan yang ditujukan pada peningkatan efektifitas pengelolaan seperti Global Environment Facility (GEF), yang merupakan suatu sistem pendanaan yang berkelanjutan dalam penguatan pengelolaan KK. Konvensi internasional lainnya seperti Ramsar, Warisan Dunia, juga telah menyesuaikan dengan konteks KK serta konservasi keanekaragaman hayati
Protected Areas and Integrated Planning Landscape level management Protected area and decentralization Protected areas and community development
Landscape-level Management Achievement: The focus of protected area planning and management has moved from the site to the landscape level Sebelumnya KK dilihat sebagai suatu kawasan yang dikelola seperti suatu benteng. Sedangkan saat ini, KK dipandang sebagai suatu sistem, merupakan bagian dari suatu jaringan, yang meliputi konteks ekonomi dan sosial yang lebih luas serta merupakan komponen dari suatu ekosistem atau bentang alam Dengan semakin meningkatnya tekanan terhadap KK, KK tidak dapat dikelola hanya dalam skala KK tersebut saja. KK saat ini sudah semakin banyak yang dihubungkan dengan kebijakan-kebijakan nasional melalui rencana aksi lingkungan nasional, strategi konservasi nasional, strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan dst. Intervensi pembangunan di zona penyangga serta daerah sekitar kawasan untuk mewujudkan tujuan konservasi serta pembangunan sosial, telah menciptakan kegiatan-kegiatan yang berbasis pada konservasi dan pembangunan (Conservation and Development Projects -ICDPs)
Biosphere reserves Achievement: Biosphere reserves represent the first management approach to strike a balance between what were initially perceived as conflicting goals: conserving biodiversity, promoting economic and social development and maintaining associated cultural values Salah satu pencapaian terbaik dalam bidang pengelolaan KK adalah zonasi yang memungkinkan terciptanya suatu integrasi antara nilai-nilai ekologi, sosial dan budaya. Konsep pengelolaan biosphere reserves menyatukan semua stakeholders di bawah satu payung Konsep ini merupakan perwujudan dari tanggapan terhadap pentingnya memperluas pengelolaan sehingga tidak hanya sekedar pengelolaan areal KK saja, tetapi juga mencakup kondisi sosial ekonomi setempat
The bioregional approach Achievement: PAs are increasingly being required not only to expand in size and scale, but to form partnerships with neighbouring land-owners and resource users Dalam pendekatan bioregion, zona penyangga biasanya terdiri dari areal di luar jurisdiksi pengelola KK, sehingga dalam pengelolaannya membutuhkan kemitraan serta voluntir atau program-program insentif yang bekerjasama dengan berbagai stakeholders.
The bioregional approach Challenge: New planning and management skills are required Terkait adanya pergeseran dalam pengelolaan KK saat ini, pengelola KK diharapkan semakin meningkatkan kemampuannya dalam meningkatkan hubungan dan bekerjasama dengan mitra-mitra. Pengelola KK diharuskan memiliki kemampuan bekerjasama dengan masyarakat, negosiasi perjanjian-perjanjian kerjsama dengan mitra, menangani konflik serta menjalankan tugas bisnis dan finansial.
The bioregional approach Challenge: This need for new skills on the part of PA managers has not been matched by a commensurate increase in authority, resources or capacity Pengelolaan KK masih merupakan suatu hal yang marginal dalam proses-proses perencanaan dan pembangunan baik dalam tingkat lokal, wilayah maupun nasional. Sehingga isu-isu terkait dengan koordinasi, integrasi serta negosiasi masih merupakan masalah.
Protected Area and Decentralization Achievement: A diversity of institutional arrangements have emerged Meskipun pengelolaan KK masih didominasi oleh negara, terdapat suatu pergerakan ke arah desentralisasi, dimana tanggungjawab pengelolaan lebih difokuskna pada tingkat provinsi atau kabupaten. Desentralisasi juga bisa direfleksikan dengan diakuinya tanah adat dalam kawasan.
Protected Area and Decentralization - Parastatal Organization Achievement:Government - owned companies (parastatal), conservation trusts, NGOs and the private sector are managing more of the PA system Organisasi-organisasi milik pemerintah memiliki otonomi yang lebih besar dalam hal finansial serta pengambilan keputusan, dibandingkan dengan birokrasi pemerintah. Di berbagai belahan dunia, LSM serta organisasi lainnya yang bergerak dalam bidang konservasi telah mengambil peran dalam pengelolaan kawasan (contoh TNC dan Leuser International Foundation), termasuk membeli dan mendedikasikan lahan untuk konservasi. Di Kenya, Namibia, Afrika Selatan serta Zimbabwe, jumlah KK yang dikelola oleh privat lebih besar daripada yang dikelola oleh pemerintah
Protected Area and Decentralization – Private ownership Achievement: Private companies that holds vast tracts of lands, are dedicating substantial areas to protection Integrasi KK ke dalam program kehutanan berkelanjutan tercipta baik dari voluntir, melalui program insentif ataupun sebagai persyaratan dalam sertifikasi hutan. Semakin banyak jumlah instansi swasta maupun masyarkat lokal serta adat yang terlibat dalam pembentukan serta pengelolaan KK
Protected Area and Decentralization – Private ownership Achievement: This diversity of institutional arrangements has developed in part due to the range of PA management categories Pengalaman membuktikan bahwa kategorisasi kawasan yang memiliki tingkat yang lebih tinggi (I-IV) dikelola oleh pemerintah pusat atau provinsi, sedangkan kategori V dan VI, yang memungkinkan adanya pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan, dikelola pada tingkat lokal. Beberapa TN (kategori II) pada situasi di mana terdapat sektor wisata yang cukup besar serta dapat dikomersialisasikan, dikelola oleh beberapa perusahaan dan lembaga konservasi. Challenge: With the growing variety of institutional arrangements, PAs with different institutional and administrative arrangements must be able to fit within and contribute to the national PA sytem Tanggungjawab pengelolaan ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah memerlukan transfer dalam hal sumberdaya serta kapasitas
Protected Areas and Community Development Challenge: PAs have had a negative impact on people’s access to traditional and customary resources and thus on meeting their subsistence and livelihood needs Seringkali KK pada mulanya merupakan lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hariannya, sehingga tidak jarang memicu konflik antara pengelola KK dengan masyarakat setempat Konservasi KK perlu bekerjasama dengan, melalui serta untuk masyarakat setempat, dan bukan melawan mereka Sebagai hasilnya, bermunculan ragam kegiatan yang bersifat pembangunan di bidang sosial serta peningkatan kesejahteraan untuk menjawab isu-isu terkait ekonomi serta kesejahteraan masyarakat setempat
Protected Areas and Community Development - Collaborative management Achievement: The relationship between Pas and local communities has changed, from one of conflict to one of participation, and then to partnership and collaboration Konservasi pada awalnya ditujukan untuk melindungi hidupan liar serta sumberdaya dalam kawasan dari manusia. Namun pandangan ini sekarang sudah mulai berubah menuju partisipasi masyarakat Dengan meningkatnya penggunaan metode-metode sosial, hubungan antara masyarakat dengan KK telah meningkat menjadi mitra dalam pengelolaan
Protected Areas and Community Development - Collaborative management Achievement: Co-management has now become an essential tool in most PA management efforts Pengelolaan kolaboratif dapat menciptakan serta menguatkan kemitraan dengan melibatkan seluruh atau sebagian besar stakeholders Sangat penting dalam siatusi dimana komitmen serta kolaborasi stakeholders diperlukan, serta dimana akses terhadap sumberdaya dalam kawasan sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat serta keberlanjutan budaya mayarakat setempat
Protected Areas and Community Development - Benefit sharing through co-management Achievement: Co-management arrangements have allowed economic benefits to accrue to local communities Pengelolaan kolaboratif dapat membuktikan nilai KK dalam mengurangi kemiskinan serta memberikan kesejahteraan pada masyarakat pedesaan
Protected Areas and Community Development - Benefit sharing through co-management Challenge: There is little evidence of any lessening in dependence on PA resources as a result of alternative livelihoods provided through the ICDP approach Partisipasi masyarakat yang efektif hanya bisa tercipta jika isu-isu seperti hak kepemilikan tanah, hak pemanfaatan tanah dll diperhatikan. Namun pada kenyataannya, menciptakan kerjasama dalam pengambilan keputusan serta pembagian keuntungan (benefit sharing) tidaklah mudah.
Protected Areas and Community Development - Benefit sharing through co-management Challenge: natural resources in the landscapes linked to Pas must be enhanced and sustainably managed so that local communities can meet their basic subsistence and income requirements and the pressure on PAs can be reduced Pendekatan pengelolaan kolaboratif jangan sampai melupakan tujuan inti pengelolaan KK, yang harus memperhatikan rencana pengelolaan KK serta hukum yang berlaku. Pengelolaan kolaboratif tidak ada artinya jika nilai utama sebuah KK tidak dapat dilindungi. Demikian juga, nikai utama suatu KK tidak dapat dilindungi jika hubungan dengan masyarakat setempat tidak baik