HUKUM DAN SEJARAH AGRARIA MASA KEMERDEKAAN
Ada Apa dengan Hukum Agraria Belanda?? Domein verklaring memperkosa hak-hak rakyat pribumi Pintu masuk investor asing
Latarbelakang Pembaruan Hukum Agraria Hukum agraria yang berlaku sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, Hukum agraria bersifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antargolongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum
Pentingnya Pembaruan Hukum Agraria "Di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, mempunya iungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat daripada tercapainya cita-cita di atas.”
Hukum Agraria Pasca Kemerdekaan Masa pemerintahan Soekarno Iklim kebebasan mendorong pengorganisasian petani dan mendorong terbukanya kebebasan gerakan bagi organisasi massa petani untuk memperkuat diri Land reform menjadi perspektif utama perjuangan dan gerakan petani Masa Pemerintahan Soeharto Kebijakan agraria lebih menekankan pada aspek peningkatan produksi tanpa terlebih dahulu menata struktur agraria dari yang timpang menjadi lebih adil Penekanan stabilitas politik dalam pencapaian tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi Masa Reformasi Revitalisasi agraria Semangat Pembaruan agraria
Masa Pemerintahan Soekarno Produk Hukum Lahirnya UUPA Cerminan UU hukum agraria pribumi Konflik akibat pelaksanaan land reform; pendudukan tanah-tanah perkebunan, pengambilan kembali tanah-tanah objek land reform, Lahirnya UUPBH Menciptakan hubungan yang adil antara petani pemilik tanah dan penggarap sehingga tercipta suatu akses yang menguntungkan bagi penggarap serta tidak terjadi eksploitasi di antara keduanya Lahirnya UU No.56/1960 Penetapan luas maksimum dan minimum penguasan tanah pertanian (maks 20 ha) Menghindari penguasaan tanah yang berlebihan di tangan satu orang
Pemerintah Relasi agraria mengalami perubahan Berkembangnya konflik tanah menyebabkan pertentangan tajam antar golongan. Organisasi petani memegang peran penting dalam upaya land reform Pemerintah PKI BTI PDI NU Rakyat Petani tidak berlahan Tuan tanah
UUPA Merupakan Cerminan Hukum Agraria Indonesia Proses Lahirnya Panitia Implementasi di Lapang Konsekuensi
Kelengkapan UUPA UU 56 Prp 1960 (penetapan luas tanah pertanian) UU Pokok Bagi Hasil
Masa Pemerintahan Soeharto Pemerintah memandang bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih penting dari pada pelaksanaan redistribusi sumber daya agraria melalui program land reform yang dianut oleh pemerintah sebelumnya. Alasan: Rata-rata luas penguasaan tanah di Jawa dan Bali yang sangat sempit tidak relevan untuk melakukan strategi pembangunan pedesaan Program redistribusi dianggap dapat menghambat upaya pembangunan ekonomi dalam waktu yang sangat cepat.
Masa Pemerintahan Soeharto ORDE BARU Dana pembangunan dari kreditor asing, modal asing, swasta UUPMA UPMDN Mengundang investor asing untuk melakukan investasi di Indonesia Modal asing yang masuk ke Indonesia sebagian besar merupakan perusahaan yang melakukan eksploitasi sumber daya alam, baik kehutanan maupun pertambangan.
Gambaran kondisi agraria di tiap sektor Kehutanan dan Pertambangan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) pada tahun 1967 merupakan bukti didukungnya upaya mempercepat eksploitasi terhadap subsektor kehutanan Eksploitasi di bidang pertambangan diawali ketika pemerintah mengeluarkan UU Pokok Pertambangan pada tahun 1967 Banyak investor menanamkan modal, menyebabkan muncul sengketa agraria di kehutanan dan pertambangan yang berasal dari pemberian HPH dan Hak Konsesi (Kuasa Pertambangan) Perkebunan Tahun 1985, pendapatan dari minyak menurun, sehingga pemerintah melirik sektor perkebunan Kemudahan investasi diberikan melalui HGU dan PIR Mekanisme demikian menjadi akar konflik karena HGU yang diberikan merupakan tanah rakyat
RUU sumber daya agraria Masa Reformasi Usulan Revisi UUPA (1998) TAP MPR IX/2001 Keppres No.34/2003 RUU sumber daya agraria Perpres No.36/2005 Perpress No.10/2006
Usulan Revisi Atas UUPA No. 5/1960 Alasan UUPA mencantumkan bahwa kepentingan rakyat dibawah kepentingan nasional Selama orde baru, negara terlalu dominan mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga rakyat dikorbankan Atas dasar alasan di atas, perlu undang-undang yang mengedepankan kedaulatan rakyat atas sumber-sumber agraria – perlu perubahan filosofis Upaya makin meneguhkan visi UUPA yakni penguasaan, peruntukkan, pemeliharaan, dan pemanfaatan SSA dijalankan dalam semangat agrraian reform Cita-cita yang hendak diwujudkan adalah “KEADILAN AGRARIA”
Usulan Revisi Atas UUPA No. 5/1960 - Lanjutan Arah Revisi Koreksi terhadap politik hukum agraria Orde Baru Mengurangi kebijakan yang bersifat sektoral dan berorientasi pertumbuhan Memandang perlunya memfokuskan pada sengketa agraria Revisi UUPA diharapkan menjadi UU payung Penguatan institusi rakyat
TAP MPR No.IX/2001 Kandungan Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam Mengisyaratkan pengintegrasian kembali cara pandang sektoralisme terhadap penguasaan dan pemanfaatan SSA Aspek Lain Reduksi makna agraria
Keppres No.34/2003 Kandungan Perintah kepada BPN untuk melakukan percepatan dalam pross penyempurnaan UU No. 5/1960 Pembagian kewenangan pertanahan pusat-daerah Pelemparan tanggungjawab dalam menangani konflik agraria
RUU Sumber Daya Agraria Tujuan Penyempurnaan UUPA Kenyataan Mengganti UUPA 1960 Membuka ruang yang lebih besar bagi bekerjanya mesin investasi Meninggalkan semangat populisme dan keberpihakan terhadap rakyat kecil terutama petani penggarap, buruh tani dan kaum miskin lain Meninggalkan prinsip tanah untuk para penggarap (land to the tiller) Membuka peluang pasar tanah
Kritik Terhadap RUU SSA Kritik terhadap proses Tidak ada keterlibatan seluruh elemen, pakar agraria Proses terkesan tertutup Konsultasi publik dilakukan terbatas Kritik terhadap substansi Uraian positif UUPA tidak tampil dalam RUU Tidak ada definisi yang jelas tentang agraria Pengawet semangat sektoralisme dalam pengelolaan SSA Hanya menjadi sarana dalam rangka efisiensi Tidak ada bab tentang pengaturan penguasaan tanah Dualisme tentang perombakan struktur dan penatapan pajak progresif
Perpres No. 36/2005 Latarbelakang Infrastruktur summit yang menghasilkan kesepakatan bahwa pembangunan akan menunjang iklim investasi di Indonesia. Kesepakatan ini diimplementasikan dalam bentuk produk hukum yang memberi kemudahan ijin pembangunan bagi investor Kepentingan ekonomi, meningkatkan pendapatan Negara dengan cara membuka peluang investasi bagi pemodal yang akan mengembangkan usaha di Indonesia Kepentingan pemerintah dalam hal penyediaan lahan untuk kepentingan umum.
Kandungan “Penyempurnaan” dari Keppres No. 55/1993 Keppres No 55/1993 mengatur soal jenis pembangunan untuk kepentingan umum dalam 14 jenis. Jenis pembangunan itu harus memenuhi unsur dimiliki pemerintah, dilaksanakan pemerintah, dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Kritik Sejumlah pasal yang bertabrakan satu sama lain dan bertentangan dengan UU. Ketidakseimbangan posisi hukum antara pihak-pihak yang terkait dalam proses sengketa tanah. Ada sejumlah pasal yang dalam implementasinya di lapangan merugikan rakyat. Misalnya, pasal-pasal mengenai panitia pengadaan tanah, proses musyawarah, ganti rugi, dan pencabutan hak atas tanah. Sampai saat ini saja tercatat 1.148 kasus sengketa agraria yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan baru 154 kasus yang diselesaikan. Tidak adanya jaminan bahwa tanah yang sudah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum seterusnya akan tetap digunakan untuk kepentingan umum. Perpres No 36/2005 mengatur domain yang terlalu besar dan lebih didominasi pendekatan ekonomi. Karenanya, hanya dengan undang-undang persoalan tanah bisa diatur lebih komprehensif.
Perpres No. 10/2006 Kandungan Penyerahan kewenangan mengatur tanah di tangan BPN pusat Pertanyaan: Bagaimana dengan prinsip desentralisasi??