KRITERIA VISIBILITAS HILAAL DI INDONESIA MENGENAL LEBIH LANJUT KRITERIA VISIBILITAS HILAAL DI INDONESIA Disampaikan pada Dauroh RHI Solo Raya IV Solo, 17 April 2011 Oleh: Muh. Ma’rufin Sudibyo ============================================================================= Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia 2011
LATAR BELAKANG Sedikitnya data hasil observasi hilaal dan hilaal tua yang berasal dari daerah tropis. Great Database ICOP (2004) = 51 dari 737 (6,9 %) Yallop (1997) = 28 dari 295 (9,5 %) Sedikitnya data hasil observasi hilaal dan hilaal tua yang berasal dari Indonesia. 38 data (Depag RI 1962 – 1997, dalam Djamaluddin, 2000) 37 data (PRTI 1991, dalam Ilyas, 1994)
LATAR BELAKANG Sedikitnya data hasil observasi yang valid dan reliabel. 11 dari 29 data Depag RI (29 %) 6 dari 29 data Ilyas (20 %) Sebagai pembanding : hanya 6 dari 46 data hasil observasi di Saudi Arabia 1961 – 2004 (13 %) yang valid (Odeh, 2008). Jumlah data valid dan reliabel yang terlalu sedikit membuat keputusan yang diambil berdasarkannya berpotensi bias.
TUJUAN Merekapitulasi data hasil observasi hilaal dan hilaal tua di Indonesia sebagai basis data lokal. Membandingkan data hasil observasi dengan teori visibilitas hilaal yang sudah eksis untuk mengetahui variasi lokal yang mungkin terjadi terkait kekhasan posisi Indonesia (di lintang rendah dan sebagai benua maritim).
TUJUAN Merumuskan definisi hilaal khususnya untuk lokalitas Indonesia. Menguji “kriteria” yang selama ini digunakan di Indonesia : Wujudul Hilaal, MABIMS/Imkanur Rukyat dan LAPAN. “Kriteria” Wujudul Hilaal Sunset – moonset 0 menit
TUJUAN “Kriteria” MABIMS/Imkan Rukyat Tinggi Bulan (h) 2o Elongasi Bulan – Matahari (aL) 3o Umur Bulan saat sunset 8 jam “Kriteria” LAPAN aD 0,14 DAz2 – 1,83 DAz + 9,11 aD = selisih tinggi Bulan – Matahari DAz = selisih azimuth Bulan – Matahari
METODE Target : Hilaal (Bulan sabit termuda) Hilaal tua (Bulan sabit tertua) Waktu : Hilaal dalam waktu 2 kali terbenamnya Matahari (sunset) pasca konjungsi (Moon Age = max 48 jam) Hilaal tua dalam waktu 2 kali terbitnya Matahari (sunrise) pra konjungsi (Moon Age = max minus 48 jam)
METODE Cara : Hilaal Pengamatan pada waktu senja Pengamat menghadap ke horizon barat Fokus pada saat dan pasca sunset Hilaal tua Pengamatan pada waktu fajar Pengamat menghadap ke horizon timur Fokus pada pra dan saat sunrise
METODE Instrumen : Mata tanpa alat bantu optik (naked eye) Alat bantu optik (binokuler, teodolit, teleskop) Kamera digital Instrumen Bantu : Petunjuk waktu (jam) terkalibrasi Kompas magnetik GPS receiver
METODE Hilaal Tracker Buku catatan Citra satelit cuaca dan prediksinya dalam beberapa jam ke depan Termometer (optional) Higrometer (optional) Laptop dengan Starry Night
METODE Personalia : Tunggal Berkelompok (lebih disarankan) Data yang diharapkan : Koordinat dan elevasi lokasi pengamatan Kondisi langit di horizon barat/timur secara kualitatif Jam saat sunset/sunrise secara aktual Jam saat hilaal mulai terlihat dengan mata tanpa alat bantu optik
METODE Jam saat hilaal mulai terlihat dengan alat bantu optik Jam saat hilaal tua mulai menghilang saat dilihat dengan mata tanpa alat bantu optik Jam saat hilaal tua mulai menghilang saat dilihat dengan alat bantu optik Orientasi hilaal/hilaal tua Citra hilaal/hilaal tua dan horizon
METODE Jejaring titik observasi : LHK CRB PAB LOL JAK DPK PLR KBM PWR 950BT 1000 1050 1100 1150 1200 1250 1300 1350 1400 +100 + 50 00 - 50 - 100 950 BT JAK DPK PLR KBM PWR PRG PAB GRE CRB LHK LOL
METODE Jejaring titik observasi : Paling utara : Lhokseumawe (5o LU) Paling selatan : Reabold Hill, Perth, Australia Barat (32o LS) Paling barat : Lhokseumawe (97o BT) Paling timur : Condrodipo, Gresik (112,5o BT)
METODE Data dari observer lain di luar jejaring RHI bisa diterima asal memenuhi persyaratan berikut : Ada catatan selisih waktu antara terbenamnya Matahari dan terbenamnya Bulan Ada catatan orientasi/kemiringan hilaal Ada catatan kondisi horizon dan langit Ada catatan tentang alat bantu optik yang digunakan Ada citra/foto yang dilampirkan
DAN TITIK – TITIK TEMPAT LAPORAN HILAAL TERAMATI METODE Area dimana Hilaal berpotensi terlihat namun jika dan hanya jika menggunakan teleskop/teodolit Basmol - Jkt Cakung - Jkt Gresik - Jatim Bangkalan - Jatim Pacitan - Jatim Pantai Depok - DIY Bandung - Jabar Lampung Barat PREDIKSI VISIBILITAS PADA 31 AGUSTUS 2008 (PENENTUAN 1 RAMADHAN 1429 H) DAN TITIK – TITIK TEMPAT LAPORAN HILAAL TERAMATI
METODE Pengolahan data : Menggunakan algoritma Jean Meeus dengan dibantu software Moon Calculator v6.0 dari Dr. Monzur Ahmed. Setting software : topocentric, airless, geometric sunrise/sunset Output : aD, h, aL, DAz (harga mutlak), Moon Age, Lag, mag, W, R
METODE aD aL DAz Bulan Matahari Horizon
VARIABEL Faktor cuaca yang berkemungkinan mempengaruhi observasi : Sistem angin muson (monsoon) antara benua Asia dan Australia El Nino Southern Oscillation (ENSO) di Samudera Pasifik Indian Ocean Dipole Mode (IODM) di Samudera Hindia Madden Julian Oscillation
VARIABEL ASIAN MONSOON MJO ENSO IODM AUST. MONSOON
VARIABEL Penyimpangan cuaca lokal (pertumbuhan awan) Akibat aktifnya Madden Julian Oscillation Lokasi Intertropical Convergence Zone
VARIABEL Merkurius Magnitude max = -1,4 Selalu di horizon timur/barat Bisa mengecoh observer (dianggap hilaal)
VARIABEL Venus Magnitude max = -7,1 Selalu di horizon timur/barat Mempunyai fase – fase seperti Bulan Bisa mengecoh observer (dianggap hilaal)
CONTOH CITRA HILAAL
CONTOH CITRA HILAAL TUA
CONTOH CITRA HILAAL
CONTOH CITRA HILAAL
DATA periode observasi : Januari 2007 – Desember 2009 Visibilitas positif diolah berdasarkan best time (Yallop, 1997) Visibilitas negatif diolah berdasarkan jam sunrise/sunset Visibilitas positif : 107 data Visibilitas negatif : 67 data Total data : 174 data Pembanding : Basis data ICOP = 737 data dalam 6 tahun Basis data Kemenag RI = 38 data dalam 30 tahun
Persamaan batas : Tb – 0,420 Lag + 16,941 DATA Visibilitas positif Persamaan batas : Tb – 0,420 Lag + 16,941
Persamaan visibilitas : aD 0,099 DAz2 – 1,490 DAz + 10,382 DATA Visibilitas positif Persamaan visibilitas : aD 0,099 DAz2 – 1,490 DAz + 10,382
ANALISA Pendefinisan hilaal : Persamaan : Tb – 0,420 Lag + 16,941 Batas atas : Tb = 0 Lag = 40 menit Batas bawah : Tb = Lag = 12 menit (teoritik), Lag = 24 menit (empirik) Bandingkan dengan great database ICOP : Lag min = 21 menit
PEMBAHASAN Bentuk persamaan berbeda dengan persamaan visibilitas global
PEMBAHASAN Perbandingan dengan basis data global yang telah diseleksi hanya untuk daerah tropis
PEMBAHASAN Justifikasi dari tim rukyatul hilaal UM Malaysia
PEMBAHASAN Rukyatul hilaal 12 Juli 2010
PEMBAHASAN Perbandingan dengan basis data global yang telah diseleksi hanya untuk daerah tropis
PEMBAHASAN Perbandingan dengan basis data global yang telah diseleksi hanya untuk daerah tropis
PEMBAHASAN Persamaan visibilitas : aD 0,099 DAz2 – 1,490 DAz + 10,382 Berbentuk mirip kriteria LAPAN, namun lebih pesimistik (LAPAN : aD 0,14 DAz2 – 1,83 DAz + 9,11) aD minimum = 4,605o teoritik sangat dekat dengan aD minimum versi Ilyas = 4o (Ilyas, 1988) aD minimum = 5,792o empirik DAz saat aD minimum = 7,482o elongasi minimum = 7,234o (empirik)
TANTANGAN KE DEPAN Jumlah data perlu diperbanyak agar analisis lebih akurat. Perlunya fokus dan memperbanyak data di sepanjang kurva persamaan visibilitas RHI, sehingga akurasinya lebih tinggi. Perlunya memperluas jejaring titik pengamatan. Perlunya mengkaji implementasi definisi hilaal ke dalam Kalender Hijriyyah, baik ke depan atau sorot balik ke masa silam. Perlu dilakukan uji fotometri untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya akan visibilitas hilaal Indonesia
KESIMPULAN Terbentuk basis data visibilitas hilaal Indonesia Hilaal adalah : Bulan pasca konjungsi yang memiliki 24 Lag 40 Kriteria visibilitas RHI : aD 0,099 DAz2 – 1,490 DAz + 10,382 Kriteria tersebut hanya berlaku untuk daerah tropis