Regionalisme ASEAN Kelompok 2
Kendala ASEAN Sulit mendapatkan full respect untuk aspek- aspek penting dari diplomasi dan security culture dari negara-negara Asia Timur prinsip non-intervensi ASEAN. Solusi: Anwar Ibrahim (PM Malaysia) constructive intervention anggota-anggota ASEAN saling meminta jasa satu sama lain untuk mendorong kemajuan nasional satu sama lain untuk menghindari krisis politik yang dialami oleh Kamboja.
Flexible Engagement (FE) Dr. Surin Pitsuwan (Menlu Thailand) flexible engagement mengkomentari secara publik dan mendiskusikan politik domestik negara anggota lain secara kolektif apabila hal tersebut berimplikasi terhadap regional atau berdampak kurang baik terhadap disposisi anggota ASEAN lain. Tujuan sebagai ekspresi kewajiban moral bersama ASEAN untuk menyadari persetujuan akan negara- negara AsTeng yang berpandangan ke luar (outward looking), hidup damai, stabil dan makmur, terikat bersama dalam persekutuan dan perkembangan yang dinamis (Deputy Foreign Minister Thailand, Sukhumbhand Paribatra).
Alasan-alasan untuk Menggunakan FE Respon terhadap interdependensi, namun setiap peristiwa makin berdampak pada negara lain Menghadapi ancaman-ancaman keamanan yang baru: gangguan ekonomi dan masalah- masalah keamanan lintas-batas (migrasi internasional, obat-obatan ilegal, kejahatan transnasional, dan degradasi lingkungan Meningkatkan demokratisasi dan HAM di negara-negara ASEAN.
Alasan-alasan untuk Menolak FE Kebijakan non-intervention tidak sama dengan acuh tak acuh, sehingga kebijakan tersebut sudah tepat dan juga fleksibel. Kedua, flexible agreement itu tidak jelas, tidak transparan, dan jauh dari prinsip yang sudah dipegang oleh ASEANketika ada permasalahan antara dua negara, ASEAN bisa menganggap itu bukan urusan ASEAN. Jika flexible agreement itu disetujui diibaratkan seperti membuka kotak Pandoramenimbulkan perselisihan dan ketidakpercayaan antara satu sama lain Beberapa negara anggota ASEAN sangsi kebijakan tersebut akan mengurangi keamanan rezim akan muncul intervensi pula dari pihak luar kawasan Asia Tenggara sehingga akan mengikis wewenang negara-negara anggota ASEAN itu sendiri
Pentingnya Nilai-Nilai di ASEAN Sukses atau gagalnya regionalisme di Asia Tenggara bisa dijelaskan tidak hanya dengan keseimbangan great-power, tetapi juga forces yang bersifat ideasional, termasuk norma-norma dan politik pembangunan identitas, bahkan keduanya menjadi determinan pusat Empat bagian argumen
Norma-Norma Pembentukan ASEAN tidak hanya didasarkan pada kondisi yang bersifat struktural, tetapi juga kapasitasnya untuk menyusun norma-norma, termasuk norma non-intervention. Alasan menjadi satu alasan mengapa tidak ada konflik militer yang pecah antara negara-negara anggota ASEAN sejak berdirinya ASEAN. Tidak heran, negara-negara ASEAN menganggap flexible engagement diibaratkan seperti membuka kotak Pandora, karena potensi munculnya konflik militer akan semakin besar.
Identitas Pembangunan identitas regional yang penting dalam hubungannya dengan negara-negara lain di luar ASEAN. Identitas bisa dibuat dan juga terbentuk secara alami. Contoh identitas ASEAN yang dibentuk ASEAN berusaha untuk memisahkan diri dari kerangka regional yang dibuat oleh China dan India ASEAN berusaha untuk menciptakan identitas sendiri tanpa campur tangan dari kerangka identitas regional lain.
Komunitas ASEAN komunitas diplomatik. Masing-masing anggota wajib patuh pada inti norma diplomasi di antara mereka yakni “the non-use of force in intra-mural relations” atau tidak adanya penggunaan paksaan dalam hubungan antar anggota. ASEAN sebagai suatu komunitas tetap mempertimbangkan penggunaan paksaan sebatas ideational forces dengan tujuan untuk menciptakan susunan atau tatanan dalam lingkup regional.
Kekuasaan (Power) Salah satu peran penting power dari kritik Leifer terhadap kekurangan atau kelemahan dari ARF (ASEAN Regional Forum) ARF lemah karena belum sepenuhnya menempatkan syarat mutlak yang dibutuhkan bagi keberhasilan ARF, yakni menempatkan keseimbangan kekuasaan yang stabil (stable balance of power) dalam prioritas utama. Regionalisme merupakan hal yang potensial bagi keadaan perimbangan kekuasaan atau balance of power selain dengan menggunakan paksaan militer juga dapat dicapai dengan diplomasi maupun ‘institutional-locking’. Regionalisme dapat memperbesar kekuasaan politik dari masing-masing negara sekaligus sebagai suatu instrumen yang terlegitimasi bagi pembentukan regional order. Norma- norma dan insitusi regional akan lebih berperan terutama ketika negara-negara ‘great power’ mengalami penurunan
Kesimpulan Peran penting dan potensial ASEAN terwujud akibat adanya pemeliharaan nilai-nilainya dalam membentuk identitas regionalnya. Kesuksesan ASEAN tidak lahir dari adanya BoP dari masing-masing negara anggota, tapi juga karena terpeliharanya ideational forces (norma, identitas, komunitas, kekuasaan) Kesuksesan ASEAN tidak dapat dilihat melalui pendekatan klasikal (power and BoP) melainkan menggunakan prinsip kerjasamanya berdasarkan pada nilai-nilai yang ada
Referensi Acharya, A., 2005. Do Norms and Identity Matter? Community and Power in Southeast Asia’s Regional Order. The Pacific Review, 18 (1), pp.95-118 Haacke, J., 1999. The Concept of Flexible Engagement and the Practice of Enhanced Interaction: Intramural Challenges to the ‘ASEAN Way’. The Pacific Review, 12 (4), pp.581-611