DOSEN PENGASUH AMALUDIN, S.IP, MM HUKUM PERDATA DOSEN PENGASUH AMALUDIN, S.IP, MM
Pengertian Hukum Perdata Hukum Perdata adalah : Hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat yang menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan /pribadi.
Hukum Perdata : Hukum Perdata tertulis KUHPdt [BW] Hukum Perdata tidak Tertulis Hukum Adat Hukum Perdata di Indonesia dibedakan : Hukum Perdata Materiil Hukum Perdata Formil
Hukum Perdata Materiil : adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam bidang hukum perdata. [Hukum Perdata Materiil inilah yang lazim disebut Hukum Perdata saja]. Hukum Perdata Formil : adalah peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara mempertahankan Hukum Perdata Materiil tersebut. [Hukum Perdata Formil merupakan materi Hukum Acara Perdata].
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih bersifat plural atau beraneka ragam, dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi. Keaneka ragaman Hukum Perdata di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia. Keaneka ragaman hukum ini bersumber pada ketentuan dalam pasal 163 IS [Indische Staatsregeling] yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan asalnya atas tiga golongan yaitu → Golongan Eropa, Golongan Bumi Putera, Golongan Timur Asing.
Kedudukan BW pada waktu sekarang : Sampai saat ini KUHPdt masih berlaku, menurut pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945. Pada saat ini KUHPdt [BW] sudah tidak berlaku penuh sesuai dengan bab-bab dan pasal-pasal pada saat permulaan KUHPdt tersebut berlaku. Banyak bab-bab, pasal-pasal dan bidang-bidang hukum tertentu dari KUHPdt yang tidak berlaku karena telah dicabut oleh Perundang-undangan RI. Begitu juga banyak pasal-pasal yang dalam praktek disimpangi/dikesampingkan oleh keputusan-keputusan hakim yang merupakan Yurisprudensi. Hal demikian terjadi karena beberapa pasal dari KUHPdt tersebut saat ini tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan masyarakat.
Hukum Perdata dan Sistimatikanya Menurut ilmu pengetahuan hukum, Hukum Perdata Materiil dibagi dalam 4 bagian yaitu : Hukum Perorangan atau Hukum Pribadi [Personen Recht] ialah : memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban [subyek hukum], tentang umur, kecakapan, untuk melakukan perbuatan hukum, tempat tinggal [domisili] dan sebagainya. Hukum Keluarga [Familierecht] ialah : memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga/kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, hubungan orang tua dan anak, perwalian, pengampuan [curatele] dan sebagainya. Hukum Harta Kekayaan [Vermogensrecht] ialah : memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti, perjanjian, hak milik, gadai dan sebagainya. Hukum Waris [Erfrecht] ialah memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Sistematika Hukum Perdata terdiri dari 4 buku yaitu : Buku I : Tentang Orang [van personen] Buku II : Tentang Benda [van zaken] Buku III : Tentang Perikatan [van verbintenissen] Buku IV : Tentang Pembuktian dan Daluwarsa [van bewijsen verjaring]
Hukum yang bersifat pelengkap adalah : Hukum Perdata menurut kekuatan berlakunya atau kekuatan mengikatnya dapat dibedakan dalam : Hukum yang bersifat pelengkap adalah : peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan- peraturan hukum mana yang hanya berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya. Hukum yang bersifat memaksa adalah : peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Hukum Perdata yang bersifat memaksa merupakan hukum perdata yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang ketertiban umum dan kesusilaan.
HUKUM ORANG [PERSONENRECHT] Manusia sebagai Subyek Hukum A. Manusia Manusia adalah pengertian biologis → gejala dalam alam, gejala biologikal yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindra dan mempunyai budaya. Sedangkan Orang adalah pengertian yuridis → gejala dalam hidup bermasyarakat . Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah Orang atau Persoon.
Di Indonesia menurut hukum yang berlaku, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi artinya manusia diakui sebagai Orang atau persoon. Karena itu setiap manusia diakui sebagai Subyek Hukum [Recht Persoonelijkheid] yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak tergantung pada agama, golongan, kelamin, umur, warga negara ataupun orang asing. Ataupun tidak tergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa [pejabat] ataupun rakyat biasa semuanya sama.
MANUSIA SEBAGAI SUBYEK HUKUM MANUSIA/ORANG/PERSOON (DIAKUI) SEBAGAI SUBYEK HUKUM (YAITU) PENDUKUNG HAK DAN KEWAJIBAN (DIMULAI) SEJAK LAHIR (DIAKHIRI) APABILA MATI
Pengecualian mulainya sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam BW disebut pada pasal 2 menentukan sebagai berikut : (1)“anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya “. (2) “mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah ada “. Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 BW ini sangat penting, misalnya dalam hal warisan, dan ketentuan ini sering disebut “rechtfictie”. Dengan adanya pasal 2 BW, maka seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah telah ada. Artinya kalau anak (bayi) itu lahir hidup meskipun hanya sedetik dan ini sudah cukup untuk si bayi memperoleh hak-hak dan kewajiban sebagai subyek hukum.
Dalam Hukum Perdata dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Dalam pasal 3 BW dinyatakan : “Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata”. Tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut antara lain : Kewarganegaraan ; misalnya dalam pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Tempat tinggal ; misalnya dalam pasal 3 PP No. 24/1960 dan pasal 1 PP No. 41/1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) jo pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya. Kedudukan atau jabatan ; misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara. Tingkah laku atau perbuatan ; misalnya dalam pasal 49 dan 53 UU No.1/1974 disebutkan bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua/wali atau berkelakuan buruk sekali.
B. Ketidak Cakapan Setiap orang adalah sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semua orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid). Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah : Orang yang belum dewasa (minderjarige) yaitu mereka yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (pasal 1330 BW jo pasal 47 UU No.1/1974). Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan yaitu orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan pemboros (pasal 1330 BW jo pasal 433 BW). Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit (pasal 1330 BW jo UU Kepailitan).
Orang yang cakap melakukan perbuatan hukum adalah : orang yang dewasa dan sehat akal fikirannya serta tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Orang-orang yang belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator). Sedangkan penyelesaian utang-piutang orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (weeskamer).
C. Pendewasaan Merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa. Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapai umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri.
2. Badan Hukum sebagai Subyek Hukum Badan Hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa, sedangkan manusia adalah pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa. Oleh karena itu badan hukum tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung dilapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan, melahirkan anak dan lain sebagainya. Adanya badan hukum adalah suatu realita yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat , badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak dalam lalulintas hukum, jadi dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Misalnya dapat memiliki kekayaan sendiri, dapat melakukan jual beli, dapat digugat di muka hakim.
Badan Hukum dari segi wujudnya dapat dibedakan atas 2 macam : Korporasi (corporatie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subyek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang beranggota, akan tetapi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sendiri yang terpisah dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para anggotanya. Misalnya ; PT (NV), perkumpulan asuransi, perkapalan, koperasi dan sebagainya. 2. Yayasan (stichting) adalah harta kekayaan yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu, jadi pada yayasan tidak ada anggota yang ada adalah pengurusnya.
Badan Hukum dapat pula dibedakan atas 2 jenis yakni : Badan Hukum Publik didirikan oleh Pemerintah/Negara dan lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum, misalnya : Negara RI, Daerah Tk I, Daerah Tk II/Kotamadya, dan Bank-bank Negara. Badan Hukum Privat didirikan oleh perseorangan sedangkan lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, misalnya : Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Perkapalan, Yayasan dan lain-lain.
HUKUM KELUARGA [FAMILIERECHT] 1. Perkawinan a HUKUM KELUARGA [FAMILIERECHT] 1. Perkawinan a. Pengertian Perkawinan Menurut UU No.1/1974 pasal 1 : Perkawinan ialah : ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU No.1/1974 pasal 6 – 11 : Adanya persetujuan kedua calon mempelai (pasal 6 ayat 1); Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (pasal 6 ayat 2-6); Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1); Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (pasal 8); Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (pasal 9); Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya (pasal 10); Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda (pasal 11).
C. Pencatatan dan Tatacara Perkawinan Pencatatan : Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 3 dan 4 PP No. 9/1975). Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang mempunyai pertalian dengan calon suami/isteri itu atau pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan (misalnya kejaksaan) untuk menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan UU yang dilanggar. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai.
Tatacara Perkawinan dilakukan menurut masing-2 hukum agama dan kepercayaan orang yang melangsungkan perkawinan itu. Perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh 2 orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai menanda – tangani akta perkawinan, maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi.
D. Pencegahan Perkawinan ialah hak yang diberikan oleh UU kepada orang-orang tertentu untuk atas dasar-dasar tertentu menyatakan keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang tertentu. Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitaukannya kepada pegawai pencatat perkawinan. Perkawinan dapat dicegah apabila tidak memenuhi syarat materiil baik yang absolut dan salah seorang mempelai dibawah pengampuan maupun yang relatif.
E. Pembatalan Perkawinan Pasal 22 UU No E. Pembatalan Perkawinan Pasal 22 UU No. 1/1974 menyatakan : Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam penjelasannya disebutkan pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-2 tidak menentukan lain.
2. Akibat Hukum Perkawinan Hak dan kewajiban suami isteri (pasal 30-34) Harta benda dalam perkawinan (pasal 35-37) Kedudukan anak (pasal 42-44, 55) Hak dan Kewajiban antara orang Tua dan Anak (pasal 45-49) Perwalian (pasal 50-54)
3. Putusnya Perkawinan pasal 38 UU No. 1/1974 adalah : Kematian Perceraian Atas keputusan Pengadilan
HUKUM BENDA [ZAKENRECHT] 1. Pengertian Benda Pasal 499 BW, Benda (zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat menjadi obyek hak milik. Pengertian benda (zaak) sebagai obyek hukum meliputi : a. Barang berwujud → yang dapat ditangkap dengan pancaindera. b. Barang tidak berwujud → hak-hak atas barang yang berwujud.
2. Pembedaan macam-macam benda Benda sebagaimana yang diatur dalam BW dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu : a. Benda bergerak dan benda tidak bergerak b. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada c. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti d. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi e. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak diperdagangkan f. Benda yang terdaftar dan benda yang tidak terdaftar
Perbedaan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan Hukum Benda (pasal 499-1232 BW) Hukum Perikatan (pasal 1233-1864 BW) Hubungan hukum orang dengan benda menimbulkan hak kebendaan (zakelijk recht), yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak untuk menguasai sesuatu benda di dalam tangan siapapun juga benda itu berada. Hak kebendaan ini sifatnya mutlak (absolut) yang berarti hak kebendaan ini dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan setiap orang siapapun juga harus menghormatinya.
Hubungan hukum antara seseorang dengan seseorang menimbulkan hak perorangan (persoonlijk recht) yaitu hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang (yang berhak) untuk menuntut seseorang tertentu yang lain agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Hak perseorangan ini bersifat relatif (nisbi) yang berarti bahwa hak perseorangan ini hanya berlaku terhadap seseorang tertentu saja yang mempunyai hubungan hukum.
Hak kebendaan dapat dibedakan atas 2 macam yaitu : Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan * Hak Milik * Kedudukan Berkuasa (Bezit) * Hak Memungut Hasil * Hak Pakai dan Hak Mendiami Hak kebendaan yang memberikan jaminan * Jaminan Gadai * Jaminan Fiducia * Jaminan Hipotik * Hak Tanggungan