PERANAN ETIKA DALAM MASYARAKAT MORALITAS PROFESI HUKUM ETIKA PROFESI PERANAN ETIKA DALAM MASYARAKAT Dan MORALITAS PROFESI HUKUM (topik 6) Oleh: Dr. Horadin Saragih, SH., M.Hum.
Dalam masyarakat secara umum etika mempunyai peranan atau fungsi yang sangat penting, yaitu: Sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis. Rachmat, 1992:6); Magnis Suseno (1991:15) menyebutkan untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan, karena: Moral dalam kehidupan semakin kompleks sehingga kita bingung harus mengikuti moralitas yang mana;
Modernisasi membawa perubahan sehingga mempengaruhi kebutuhan dan nilai masyarakat terhadap pandangan moral tradisional; Adanya pelabagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup, yang masing-masing menganut ajaran yang berbeda-beda; Etika juga diperlukan kaum agama agar dapat memberikan orientasi bukan sekedar indoktrinasi.
Mendasarkan kepada Keiser dalam Suhrawardi (2012:7) Mendasarkan kepada Keiser dalam Suhrawardi (2012:7). Etika dalam profesi hukum memiliki peranan: Agar profesional di bidang hukum memahami profesinya sebagai suatu pelayanan, yang berorientasi pada kepentingan klien dan kepentingan umum, Dalam memberikan pelayanan pengemban profesi berlangsung persaingan secara sehat, dengan mutu pelayanan yang terjamin secara profesional.
Pelayanan profesional dalam mendahulukan pelayanan mengacu kepada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi perbuatan; Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
A. Muhammad, 2006 secara etimologis kata moral sama dengan etika; Moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; Contoh: Advokat yang membela perkara itu tidak bermoral, artinya artinya perbuatan advokat itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam profesinya.
Oleh karena itu, moral berfungsi untuk secara tegas membedakan dan memisahkan antara : a) baik dan buruk, b) benar dan salah, c) layak dan tidak layak, d) wajar dan ganjil, e) halal dan haram, f) sah/legal dan tidak sah/illegal, dst. Moral juga berfungsi membedakan baik, dengan lebih baik, dan paling baik, atau sebaliknya;
Moralitas objektif, dan Moralitas subjektif 2. Sumaryono (1995), mengklasifikasi moralitas menjadi 2(dua) golongan: Moralitas objektif, dan Moralitas subjektif Moralitas objektif adalah moralitas yang melihat perbuatan sebagaimana adanya, terlepas dari segala bentuk modifikasi kehendak bebas pelakunya; Contoh: kondisi emosional yang mungkin menyebabkan pelaku lepas kontrol.
Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat perbuatan sebagai dipengaruhi oleh pengetahuan dan perhatian pelakunya , latar belakang, stabilitas emosional, dan perlakuan personal lainnya. Moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak dengan suara hati nurani pelakunya. Contoh: terhadap korban kebakaran banyak orang-orang yang menolong, jika tujuan menolong untuk menyelamatkan barang-barang itu baik; jika tujuannya mencuri itu jahat.
3. Merujuk pendapat Notohamidjoyo,1975: bahwa pemangku profesi hukum harus memiliki moralitas yang meliputi: Sikap manusiawi, artinya tidak memahami hukum secara formal belaka, melainkan sesuai dengan hati nurani; Sikap adil, artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasaan masyarakat; Sikap patut, artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara konkrit; Sikap jujur, artinya menyatakan sesuatu itu benar menurut apa adanya, dan menjauhi yang tidak benar;
F. Magnis Suseno, dalam A. Muhammad, 2006:63 mengemukakan: Lima kriteria nilai moral kepribadian profesional hukum: Kejujuran; (sikap terbuka dan wajar); Otentik; (tidak sewenang-wenang, mendahulukan klien, tidak tercela); Bertanggung jawab; (proporsional dan tidak membeda-bedakan pelayanan); Kemandirian moral; (tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas); Keberanian moral; (sesuai dengan hati nurani).
Sedangkan menurut J.E. Sahetapy, 2009 moralitas yang harus dimiliki dan yang paling essensial adalah: a) kejujuran, b) kebenaran, c) serta kepekaan untuk segala permasalahan sosial yang ada, dimana bukan saja hukum harus diterapkan melainkan juga keadilan harus ditegakkan.
Ketiga pakar hukum berpendapat sama mengenai kualitas moral profesional hukum yaitu kejujuran (honesty), yaitu sikap terbuka dan wajar, apa adanya, menjauhi yang tidak benar.
Moralitas sangat penting, misalnya bagi Hakim; Hakim dalam mewujudkan rasa keadilan ketika undang-undang tidak jelas, atau terjadi kekosongan perundang-undangan. Hakim sendiri bertindak selaku pencipta hukum melalui putusan yang ia jatuhkan, perundang- undangan dan sebagainya hanya pedoman dan inspirasi bagi hakim untuk membentuk hukumnya sendiri, sehingga faktor subjektivitas hakim sangat menentukan.