KEBHINEKAAN: SEBUAH RETORIKA ? Oleh: Dewa Agung

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
MAKNA 4 PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Advertisements

Go !!! ARE YOU READY.
Assalamu alaikum wr.wb..
MEMBANGUN KETAHANAN SOSIAL BUDAYA GUNA MENINGKATKAN KETAHANAN NASIONAL
BAHAN AJAR Kelas XII Semester II (Genap).
Pancasila sebagai Sistem Etika
SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
Hukum dalam perspektif antropologi
Pendahuluan Wawasan Budi Luhur
PLURALISME CALIADI, SH.MH.
Pendidikan Kewarganegaraan
Masyarakat Madani (Civil Society)
Peserta Orientasi Pemuda Lintas Agama Angkata I
MULTIKULTURALISME DALAM PENDIDIKAN
Toleransi dan Gotong Royong
PENDIDIKAN KARAKTER Universitas Negeri Yogyakarta Oleh:
Resolusi Konflik dan Proses Perdamaian
Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial (Struktur Sosial)
Lembaga Sosial (pranata sosial)
NILAI DAN PRINSIP Nilai-nilai 1945
NILAI DAN PRINSIP Nilai-nilai 1945
AKTUALISASI PANCASILA DALAM BIDANG POLITIK
Karakter= budi pekerti + x = ?
KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA
KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA
4 PILAR KEHIDUPAN SEBAGAI LANDASAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
PEMAHAMAN KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
SIKAP POSITIF TERHADAP PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
MENGEMBANGKAN KARAKTER PADA ANAK USIA DINI
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
Lembaga Sosial (pranata sosial)
DISUSUN OLEH KELOMPOK 3B
AKTUALISASI PANCASILA DALAM BIDANG EKONOMI
ETIKA PROFESI.
Pertemuan 3 Filsafat Pancasila Mahendra P. Utama.
Nilai-Nilai Karakter Anak di Indonesia
Kerukunan Antar Umat Beragama
DISUSUN OLEH : RAHAYU SETIYANINGSIH
PENDIDIKAN PANCASILA BAB. X. Petumbuhan Faham Kebangsaan
MANUSIA KERAGAMAN dan KESETARAAN.
18 NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA
Masyarakat madani.
Etika, Moral, dan Akhlak Oleh : Kelompok 5
Etika Pancasila.
Masyarakat, Norma dan Hukum
Pendekatan Terpadu dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA
IDENTITAS NASIONAL KELOMPOK 2 Ayu Asmira (G )
Game INSTRUKSI APA YANG DAPAT KITA PELAJARI???.
Nilai persatuan dalam bermasyarakat dan bernegara
MAKNA 4 PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA NICO GARA Disajikan pada Seminar Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Manado, 8 September 2012.
ILMU BUDAYA DASAR Oleh : Rakhma Diana Bastomi, SEI, MM
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI. INDONESIA MASA KINI PANCASILA MASA GITU DISUSUNO L E H : 1. DISUSUNO L E H :
Di Susun Oleh : SUWARDI, M. Pd
Pendidikan Kewarganegaraan
Pancasila sebagai Ideologi Nasional
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR IIS DEWI LESTARI, M.Pd
BADAN KESATUAN BANGSA DAN POLITIK KOTA BANDUNG. JUMLAH PENDUDUK 237 JUTA JIWA (BPS 2010) DAN SEKARANG JUTA JIWA 700 BAHASA DAERAH 1128 SUKU BANGSA.
ETIKA KOMUNIKASI JURNALISTIK
SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
DEMOKRASI (2) MASYARAKAT MADANI.
A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika 1.Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika a.Pengertian Etika Secara etimologis, etika berarti.
Pendidikan Multikultur
Teori & Praktek Etika Jurnalisme Chapter 12 – Christians dalam Cheney
The Power of PowerPoint | thepopp.com 1 SEMINAR, MK LOCAL GOVERNMENT OTODA PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN/BUDAYA LOKAL Tri Yudi Siswantoro.
Masyarakat Multikultural dan Partikularisme Masyarakat.
OLEH : ARIE SULISTYOKO, S.Sos, M.H. Nilai, norma, dan moral adalah konsep- konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya dengan Pancasila maka ketiganya.
Kasus penyimpangan pancasila sila pertama Disusun oleh: Adi Prasetyo (K ) Agung Nugroho (K ) Alvian Novitasari (K ) Andysty Andryaningrum.
Transcript presentasi:

KEBHINEKAAN: SEBUAH RETORIKA ? Oleh: Dewa Agung Sering terjadi konflik yang bernuansa SARA baik yang bersifat manifest maupun latten, membuktikan belum dihayati dan diaplikasikannya makna dari istilah tersebut, itu artinya baru dalam tatana “retorika”. Perilaku kebhinekaan tidak perlu diretorikakan dengan bahasa yang indah, karena seseorang bisa berkata-kata bijak, tetapi belum tentu bisa berperilaku bijak.

Indonesia adalah negara yang “berbhineka, inklusif, plural, cinta damai, toleran, religius”, dan sebagainya. Apakah semua itu sudah dalam tatanan empirik (action) keseharian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, atau hanya lip service, abang-abang lambe.

Marilah kita merenung sesaat, apakah kita termasuk jenis orang yang suka “berkata-kata bijak, berperilaku bijak, atau berkata-kata dan berperilaku bijak” ?.

KOMPAS.com —Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji dengan beragam tindakan diskriminasi. Selama 14 tahun setelah reformasi, setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Yayasan Denny JA mencatat, dari jumlah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar agama/paham agama sebanyak 65 persen. Sisanya, secara berturut-turut adalah kekerasan etnis (20 persen), kekerasan jender (15 persen), dan kekerasan orientasi seksual (5 persen). Diakses, Sabtu, 16 April 2016 (Kompas, 2015)

APAKAH ARTINYA INI ???? Apakah Agama....... Belum terbukti mampu menyatukan perbedaan ? Dendam lama agama masih melekat di setiap sanubari ? Pemuka agama masih kotbahnya dalam tatanan retorika, dan hanya berbicata tentang sorga dan neraka ? Masyarakat masih belum cerdas sehingga belum mampu mendekonstruksi suatu wacana ? Belum dipahaminya etika kodrati, etika global ? Dsb.

Semua agama “pasti” mengajarkan hidup harmoni ! Semua agama pada prinsipnya mengajarkan kehidupan yang harmonis berdasarkan nilai-nilai yang dikandungnya sebagai dasar hukum yang utama. Seperti yang dikatakan oleh Smith (Smith, 2008, hal. 414); “.............. bukanlah masing-masing agama itu mengandung bentuk tertentu dari “hukum utama”, hukum cinta akan semua manusia ?, bukankah semua agama itu beranggapan bahwa sikap mementingkan diri sendiri itu merupakan sumber kesulitan hidup manusia dan berusaha untuk membantu manusia itu untuk mengatasi kesulitan itu ?, bukankah setiap agama itu mengakui adanya satu dasar Ilahi yang bersifat universal dari mana berasal seluruh manusia ini, dan dimana harus dicari kebaikan manusia yang sebenarnya itu ?. Jika semua kebenaran yang diperlukan bagi keselamatan manusia itu bisa ditemukan dalam suatu agama, maka kebanaran itu juga bisa ditemukan dalam tiap-tiap agama besar lainnya.....”  

Ataukah harus merevitalisasikan nilai-nilai budaya lokal ? Norma adat, kearifan lokal mampu memberikan pelajaran hidup yang berguna bagi proses perkembangan kedewasaan seseorang (Nurcholish, 2014, hal. 150) Kearifan lokal sebagai kebudayaan, bukan sekedar wadah dari adat-adat, kegunaan-kegunaan, tradisi-tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan, melainkan sebagai serangkaian mekanisme kontrol, kontrol sosial (social control) demi terciptanya social order (Leege & Kellstedt, 2006, hal. 12-13) Kearifan lokal sebagai salah satu unsur kebudayaan dan menjadi unsur penting dalam kemajemukan, menjadi dasar kehidupan yang berprikemanusiaan. Jadi “iman” sebagai bentuk pengetahuan dan kecerdasan yang khas, yang lahir dari kepekaan terhadap rahmat Tuhan Yang Maha Esa (Ule, 2015, hal. 163).

Ataukah mensintesisikan nilai agama dengan budaya lokal ? Perbedaan bukan biang keladi dari krisis yang kita alami, tetapi “kebodohan” dan “kepicikan”, begitu juga konflik adalah cara yang dilakukan oleh orang-orang “bodoh” dan “picik” dalam menyelesaikan masalah (As-Sirjani, 2015, hal. 51). Pendidikan faktor penting dalam penanaman sifat multikultural karena dengan pendidikan secara ideal akan membentuk manusia yang cerdas. Pendidikan multikultural akan memberikan sumbangan dalam kehidupan manusia yang adil dan bebas dalam keberagaman (Teasley & Tyson, 2007, hal. 390-391)

AKHIRNYA...... Han Kung mengatakan perlunya “etika global” yang berlaku dalam skala makro untuk membuka jalan menuju kedamaian (Philips, 2016, hal. 88), dikatakan; “.....tidak ada keberlangsungan hidup tanpa sebuah etika dunia. Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian diantara agama-agama. tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di antara agama-agama.....”. Kenali perbadaan kalau ingin damai, jika kita berkenalan, maka kita dapat melihat kesamaan yang begitu banyak yang telah menyatukan kita dengan saudara-saudara kita sesama manusia (As-Sirjani, 2015, hal. 5).

Beberapa strategi untuk menciptakan perdamaian, diantaranya; 1) semuanya harus kembali ke akar mereka masing-masing untuk mencari “dasar-dasar normatif toleransi”, 2) melalui membangun hubungan yang positif antara komunitas agama yang berbeda tidak cukup dengan seruan-seruan moral secara umum saja, 3) tokoh-tokoh agama yang formal maupun informal memegang tanggung jawab yang besar dalam menyampaikan hal-hal yang kondisif yang tidak menyebabkan terangsang seseorang untuk konflik (Suseno, 2003, hal. 129-130).

TERIMA KASIH