Kalau Nilai di Sekolah Buruk Seperti biasanya angka-angka ulangan anak-anak sekolah kadang-kadang baik dan kadang-kadang buruk. Saya juga pernah mengalami nasib jelek mendapat angka rendah. Ayah kurang puas bilamana angka ulangan ataupun angka rapor kami menurun. Satu saat rapor saya ada yang nilainya rendah, tetapi sebelum menghadapkan rapor itu pada ayah, saya sudah “memasang strategi” terlebih dahulu dengan menjelaskan, angka apa yang kurang bagus, supaya kekecewaan ayah agak mengendor. Kadang-kadang saya menggoda ayah, “Iya, Ayah, angka 10 itu menurut guru hanya untuk Tuhan, lalu angka 9 untuk guru dan angka 8 merupakan angka 10-nya para murid. Jadi bagaimana saya mungkin mendapat angka 8 terus-menerus?!” Kalau sudah digoda begini biasanya ayah hanya mengatakan dengan keras, “Akh, omong kosong!” Memang ayah tidak bisa dibujuk, tapi toh setidak-tidaknya rasa tegang pada diri saya berkurang. Meskipun ayah tidak pernah marah, tetapi toh rasa malu saya mendapatkan angka rendah tetap ada. Sering juga ayah memperhatikan angka-angka saya dengan serius dan sebelum ayah sempat berkomentar, saya sudah bilang, “Susah deh angka saya, abisnya otak saya pas-pasan saja.” Kemudian ayah tertawa mendengarnya. Ayah memang senang bilamana angka kami terus tinggi, tetapi ayah tidaklah menilai dari angka saja. Yang beliau nilai justru kerajinan dalam belajar. Bilamana kita sudah belajar semaksimal mungkin tetapi hasilnya pas-pasan saja, biasanya beliau tidak berkomentar apa-apa. Walaupun begitu ayah pernah marah besar sewaktu saya terpaksa meminta tanda tangan ayah atas ulangan mata pelajaran koperasi sewaktu saya kelas 2 SMP karena saya mendapat nilai 2,5 (!) dalam ulangan. Di sekolah, setiap angka ulangan di bawah 5,5 haruslah ditandatangani oleh orang tua murid. Ibu tidak mau menandatangani kertas ulangan tersebut sebab ulangan itu adalah mengenai koperasi. Betul saja, begitu ayah membaca judul mata pelajaran yang sedemikian buruk nilainya itu, karuan ayah naik pitam, “Memalukan sekali, masa sampai mendapat nilai serendah ini.” Ayah tidak mengerti mengapa saya tidak menguasai masalah koperasi, padahal sebelumnya saya pernah membaca karangan ayah mengenai perkoperasian. Saya membela diri dengan menerangkan bahwa guru yang menilai ulangan saya tidak jujur dalam pemberian angka. Kawan saya yang jawabannya hampir mirip mendapat angka yang lebih baik untuk pertanyaan-pertanyaan yang dijawabnya, sedangkan saya tidak. Memang dari semula hubungan saya dengan guru itu agak tidak baik. Guru itu pernah saya koreksi kesalahannya di saat mengajar, dan rupanya dia menjadi kesal karena kesalahannya berulang kali. Sesungguhnya ia bukanlah guru favorit di sekolah kami. Walaupun begitu ayah tidak terpengaruh oleh keterangan saya, dan dikatakannya bahwa saya hanya mengada-ada. Untunglah bahwa akhirnya setelah ayah meneliti jawaban-jawaban saya di kertas ulangan tersebut, beliau meminta saya memperlihatkan buku koperasi yang saya pelajari di sekolah. Setelah membolak-balikan buku itu berulang kali sambil membacanya secara teliti, akhirnya ayah menjadi marah karena rendahnya mutu buku itu. Ayah sangat sedih bahwa buku semacam itulah yang disebarluaskan di Indonesia. Saya betul-betul bersyukur pada Tuhan bahwa akhirnya “nyawa” saya selamat, meskipun sempat juga kena teguran keras ayah. Adapun kelanjutan daripada peristiwa itu adalah bahwa ayah menulis surat pada kepala sekolah saya dan juga kepada Menteri PdK saat itu untuk menghentikan pemakaian buku yang rendah mutunya itu di sekolah-sekolah. Akhirnya tidak lama setelah kenaikan kelas diadakan, buku tersebut sudah ditarik peredarannya dari sekolah-sekolah, dan kami mendapat buku koperasi dari pengarang lain. Walaupun kejadian itu berakhir dengan “damai”, tetapi peristiwa tersebut sangat berkesan bagi saya. Rasanya belum pernah sebelum ataupun sesudah peristiwa itu saya mendapat nilai 2,5 lagi. Saya selalu berusaha agar nilai-nilai ulangan saya tak membuat malu orang tua, apalagi untuk mata pelajaran koperasi. Gemala Rabi’ah Chalil Hatta, Pribadi Manusia Hatta, Seri 2, Yayasan Hatta, Juli 2002