Korupsi dan Penegakan Hukum Otonomi Daerah, Korupsi dan Penegakan Hukum
”Apa yang mempersatukan kita dari Sabang sampai Marauke? Jawaban yang sinis menyatakan bahwa Indonesia dari barat sampai timur disatukan oleh korupsi.” (Media Indonesia, Selasa, 15 Oktober 2002)
Otonomi Daerah dan Korupsi Dalam konteks otonomi daerah, korupsi terjadi mengikuti kekuasaan yang terdesentralisasi ke tingkat lokal. Peluang korupsi semakin besar ketika posisi legislatif menjadi sangat besar. Peran legislatif sebagai pengawas eksekutif ternyata tidak diimbangi dengan adanya pengawas terhadap legislatif itu sendiri.
Desentralisasi Korupsi Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) mulai Januari hingga Desember 2004, terdapat 239 kasus korupsi di berbagai daerah dengan bermacam aktor, modus dan tingkat kerugian yang diderita oleh negara. Sebagian besar dilakukan oleh anggota parlemen (DPRD)
Menurut TA. Legowo terdapat 3 hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah Program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol.
MODUS KORUPSI DI DAERAH Korupsi Pengadaan Barang Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender. proses tender.
MODUS KORUPSI DI DAERAH Markup Budget/Anggaran Biasanya terjadi dalam proyek dengan cara menggelembungkan besarnya dana proyek dengan cara memasukkan pos-pos pembelian yang sifatnya fiktif. Misalnya dalam anggaran dimasukkan pembelian komputer tetapi pada prakteknya tidak ada komputer yang dibeli atau kalau komputer dibeli harganya lebih murah.
MODUS KORUPSI DI DAERAH Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah) Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
MODUS KORUPSI DI DAERAH Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
MODUS KORUPSI DI DAERAH Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
MODUS KORUPSI DI DAERAH Bantuan fiktif Penyelewengan dana proyek Proyek fiktif fisik Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran Manipulasi proyek-proyek fisik (jalan, jembatan, bangunan, kantor, sekolah, asrama) Daftar Gaji atau honor fiktif
MODUS KORUPSI DI DAERAH Manipulasi dana pemeliharaan dan renovasi fisik Pemotongan dana bantuan (inpres, banpres) Proyek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fiktif (tidak ada proyek atau intensitas) Manupulasi ganti rugi tanah dan bangunan Manipulasi biaya sewa fasilitas dan transportasi
MODUS KORUPSI DI DAERAH Pembayaran fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri sipil, prajurit, tahanan dan lain-lain Pungli Perizinan; IMB, sertifikat SIUPP, besuk tahanan, ijin tinggal, ijin TKI, ijin frekuensi, impor ekspor, pendirian apotik, RS, klinik, Delivery Order pembelian sembilan bahan pokok agen dan distributor Pungli kependudukan dan Imigrasi Manipulasi Proyek Pengembangan Ekonomi Rakyat
MODUS KORUPSI DI DAERAH Korupsi waktu kerja Jalur Cepat Pembuatan KTP/SIM Penyelewengan dalam Penyelesaian Perkara (Mafia Peradilan) Sumber : The Habibie Center dan MTI
Jumlah Kepala Daerah Yang Terlibat Korupsi (1999 – 2007)
Kasus Korupsi Menurut Sektor Kecenderungan Korupsi Semester I 2006, TIM ICW
Lembaga Negara yang Terlibat Korupsi Kecenderungan Korupsi Semester I 2006, TIM ICW
Otonomi Daerah dalam perspektif pemerintah adalah otonomi administrasi dan otonomi financial yang telah mengabaikan desentralisasi dalam kerangka politik, atau dalam bahasa TA Legowo disebut desentralisasi demokratik. Oleh karenanya, dua hal penting dalam desentralisasi demokratik yakni partisipasi dan akuntabilitas tidak menjadi visi praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Desentralisasi tanpa desentralisasi demokratik melahirkan monopoli atas sumber daya ekonomi daerah oleh elit lokal (legislative dan eksekutive) mengandung bahaya yakni penyelewengan kekuasaan dan korupsi.