Mata Kuliah Islam dan Budaya Jawa Jurusan PAI STIT Muh. Wates AGAMA & KEBUDAYAAN Oleh: Kelompok 1 (satu) Mata Kuliah Islam dan Budaya Jawa Jurusan PAI STIT Muh. Wates
Apa & Bagaimana? Agama dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Agama dipercaya pemeluknya sebagai doktrin yang suci dari Tuhan, sedangkan kebudayaan merupakan hasil karya yang diperoleh manusia melalui proses belajar dengan lingkungannya. Hubungan agama dan kebudayaan berlangsung secara timbal balik. Agama secara praksis merupakan produk pengalaman dan pemahaman masyarakat berdasarkan budaya yang sudah dimilikinya.
Agama / Religi ? Ada pendapat yang mengatakan bahwa suatu sistem religi merupakan suatu agama hanya bagi penganutnya. Pendapat lain mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh negara kita. Setiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen: Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap religius. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi tersebut. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan (pada poin 2) dan melaksanakan sistem ritus dan upacara (pada poin 3).
Hubungan Komponen Religi Emosi keagamaan Sistem kepercayaan Kelompok keagamaan Sistem upacara
Agama = Kebudayaan ? Menurut Koentjaraningrat sistem kepercayaan, sistem upacara, serta kelompok sosial yang menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara religius adalah hasil cipta dan karsa manusia (kebudayaan). Sedangkan emosi keagamaan bukan kebudayaan, karena ia digetarkan oleh cahaya Tuhan. Berbeda dengan Koentjaraningrat, saya berpendapat bahwa sistem kepercayaan dan sistem upacara tertentu bukan kebudayaan, karena ia bersumber dari Tuhan. Sedangkan dua komponen yang lain merupakan kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Agama & Budaya Ketika agama dimasukkan dalam kategori kebudayaan, maka yang dimaksud adalah penafsiran (dan pengamalan) terhadap kitab suci agama itu. Sebab, berbagai tingkah-laku keagamaan bukanlah diatur oleh ayat-ayat kitab suci secara mandiri, melainkan oleh interpretasi atas ayat-ayat kitab suci tersebut. Melalui kegiatan kebudayaan, manusia berusaha mewujudkan sesuatu yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan menjadi kenyataan yang bernilai. Demikian juga dalam kegiatan penafsiran kitab suci, berbagai kemungkinan makna yang tersembunyi di balik teks berusaha diwujudkan dalam bentuk karya yang berisi sistem nilai, gagasan- gagasan dan norma-norma, sehingga teks tersebut bernilai.
Hubungan Agama & Budaya
Pertautan Agama & Budaya Pada saat manusia melakukan penafsiran terhadap agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial yang telah melekat di dalam dirinya. Dengan demikian, terjadi pertautan antara agama dan realitas budaya, dan ini dimungkinkan karena agama tidak berada dalam realitas hampa dan vakum. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama itu sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia dan yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Perpaduan Agama & Budaya
Agama dalam praksis Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Ini tentu tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia- berupa terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan.
Keragaman dalam Kesatuan Perbedaan lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam diri masyarakat yang memengaruhi interpretasi terhadap ajaran agama, dapat menjelaskan mengapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz, misalnya, membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia, Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Sekaten: Budaya Jawa Islam
Hubungan Islam & Budaya Lokal Islam yang bercampur dengan budaya lokal adalah gejala normal dari dinamika umat Islam . Kandungan Al-Quran sendiri menggambarkan adanya akomodasi terhadap budaya lokal (Arab). Respon Al-Quran bermuara pada dua kemungkinan, yakni mengkritik atau mengonfirmasi budaya lokal tersebut. Kritik dilakukan sepanjang budaya tersebut menistakan kehormatan manusia. Konfirmasi diberikan kepada budaya yang sejalan dengan cita-cita kemanusiaan. Dalam hal ini Imam Syatibi merumuskannya secara sistematis dalam maqoshid al-syari’ah (tujuan syari’at),yaitu: Hifdh al-nafsi (menjaga dan memelihara jiwa) Hifdh al-nasli (menjaga dan memelihara keturunan) Hifdh al-irdli (menjaga dan memelihara harga diri) Hifdh al-mal (menjaga dan memelihara harta) Hifdh al-din (menjaga dan memelihara agama).
Prinsip Kausalitas Islam dibangun dengan prinsip-prinsip kausalitas: senantiasa terdapat pola sebab akibat yang dapat diteliti oleh manusia, sehingga otoritas agama tidak diserahkan kepada al-Quran secara pasif. Pernyataan senada diungkapkan oleh Ali r.a. bahwa teks al- Quran tidak bisa “berbicara”, manusialah yang membuatnya “berbicara”. Otoritas itu tidak diletakkan secara ekstrim pada manusia semata, melainkan pada kemampuan memahami tujuan syariat. Produk pengetahuan manusia itu pun memang bersifat relatif, sebagaimana relatifnya kemampuan manusia sendiri dalam memahami pola sebab akibat tersebut.
Bagaimana Peran Elit Agama Dalam kasus Islam di Indonesia, tidak dapat dipungkiri adanya kontestasi di masa penyebaran Islam di Indonesia (abad ke-14 M) antara pedagang dan pendakwah Muslim di satu sisi, dengan elit-elit lokal di lain sisi. Sikap akomodatif Islam terhadap budaya menggambarkan adanya pengaruh elit-elit lokal yang cukup kuat. Budaya lokal umumnya terkait dengan legitimasi terhadap kekuasaan penguasa lokal. Karena itu semakin kuat pengaruh penguasa lokal, akan semakin besar kemungkinan sikap akomodatif Islam terhadap budaya lokal. Kecenderungan ini masih dinilai normal, dalam arti sejalan dengan ajaran Islam, sepanjang budaya lokal tersebut tidak menistakan nilai- nilai kemanusiaan dan prinsip-prinsip dasar Islam. Kiprah Wali Songo dalam islamisasi masyarakat di Nusantara mencerminkan sikap akomodatif yang berlandas pada maqoshid al- syari’ah. Budaya lokal diadopsi sebagai instrumen untuk “membungkus” isi Islam, dan dijadikan sebagai bagian dari ajaran Islam sepanjang itu sesuai dengan semangat memuliakan manusia.
SEKIAN Selamat Belajar Tetap Semangat!