MPOWER dan Rokok Tanggal 12 Mei 1994, sebuah paket berisi 4 MPOWER dan Rokok Tanggal 12 Mei 1994, sebuah paket berisi 4.000 halaman dokumen internal rahasia industri rokok tiba di kantor Prof Stanton Glantz di Institut Pengkajian Kebijakan Kesehatan Departemen Kedokteran Universitas California, San Francisco. Pengirimnya anonim. Dokumen yang dikirim itu ternyata amat mengejutkan karena membeberkan aktivitas dan kebohongan publik perusahaan rokok Brown & Williamson, anak perusahaan British American Tobacco (BAT). Tahun 1996, Prof Glantz dan timnya memublikasikan buku The Cigarette Papers, yang menawarkan intipan lewat lubang kunci bagaimana industri rokok bekerja. Buku ini tidak hanya mengubah secara mendasar persepsi masyarakat Amerika Serikat tentang industri rokok dan bagaimana mengubah kebijakan publik untuk meregulasi dan melitigasi industri rokok. Pada dekade 1980-an industri rokok sudah terpojok ketika Surgeon General dijabat C Everett Koop pada 1981-1989, yang dengan laporannya Nicotine Addiction (1988) menyatakan nikotin adalah bahan aktif yang menimbulkan kecanduan mirip heroin dan kokain. Koop makin membuat industri rokok kelabakan dengan tudingan ”perokok pasif” yang disebabkan asap lingkungan tembakau (environmental tobacco smoke/ETS) terancam kanker paru. Menurut Koop dalam pengantar buku The Cigarette Papers, buku itu memastikan bahwa para ilmuwan dan eksekutif perusahaan rokok B&W dan BAT sejak awal 1960-an sudah tahu sifat dan efek biologis nikotin, bahkan mengeksploitasinya untuk membuat para perokok makin kecanduan. ”Buku ini adalah senjata vital untuk perang melawan rokok,” tulisnya. Indonesia patut malu Bagai gelindingan bola salju, dokumen-dokumen rahasia B&W dan enam perusahaan rokok AS lainnya tahun 1998 diperintahkan oleh pengadilan untuk diungkapkan kepada umum. Demikian Mardiyah Chamim, wartawati Tempo dalam buku Kemunafikan dan Mitos di Balik Kedigdayaan-Penelusuran Dokumen Industri Rokok (2007). Di antaranya terdapat memo internal PT BAT Indonesia tentang upaya melobi pejabat, legislator, ilmuwan, hingga wartawan. Acara ”Media Briefing on Smoking Issues” bulan September 1992 di Nusa Dua, Bali, yang dihadiri wartawan Asia Pasifik adalah salah satu contoh kegiatan untuk menyatakan bahwa rokok tidak seberbahaya yang digembar-gemborkan media AS. Liputan Kompas (13/9/1992) berjudul ”Industri Rokok Mulai Lancarkan Kampanye Tandingan” dipelintir dengan terjemahan ”Cigarette Industries Begin to Launch Equal Campaign” dilaporkan dalam salah satu memo laporan Humas BAT Indonesia kepada markas besarnya. Jika tak hati-hati membaca dokumen semacam ini, bisa ditafsirkan bahwa semua wartawan sudah ”terbeli” oleh industri rokok. Liputan Kompas (31/8) tentang kehidupan petani tembakau di Temanggung yang mempersoalkan upaya Komnas Perlindungan Anak meminta MUI mengeluarkan fatwa haram bagi rokok juga telah disalahpahami sebagai tidak mendukung kampanye antirokok. Seorang guru besar ilmu politik yang belakangan menjadi aktivis antirokok mengirimkan >small 2small 0< ke mana- mana karena liputan Kompas itu. Ada lagi beberapa LSM, termasuk YLKI, yang melakukan litigasi kepada Presiden dan DPR yang hingga kini belum menandatangani dan meratifikasi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), padahal 168 negara lain sudah melakukannya. FCTC yang disepakati dalam Dewan Kesehatan Dunia (WHA) tahun 2003 merupakan traktat internasional pengendalian tembakau. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, Menkes Achmad Sujudi berkali-kali mengusulkan agar Indonesia mendukung FCTC, tetapi ditentang oleh menteri-menteri yang membidangi pertanian, tenaga kerja, industri, dan keuangan. Tak jelas bagaimana upaya Menkes Siti Fadilah Supari empat tahun terakhir, tetapi yang jelas Indonesia patut malu karena dinilai dunia tidak serius mengendalikan rokok sehingga posisinya sejajar dengan negara-negara gurem, seperti Andorra, Eritrea, dan Guinea Bissau. Padahal, Dirjen WHO Margaret Chan dalam buku WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2008 mengingatkan, pada abad ke-20, epidemi tembakau telah membunuh 100 juta penduduk dunia dan pada abad ke-21 ini jika tak ada upaya serius dapat membunuh 1 miliar orang! Tahun ini diperkirakan ada 5,4 juta kematian akibat rokok, lebih banyak dibandingkan gabungan kematian akibat TBC, HIV/AIDS, dan malaria. Menurut Suwarta Kosen (2007), biaya kesehatan akibat rokok yang dikeluarkan Indonesia pada tahun 2006 sebesar 18,1 miliar dollar AS atau sekitar 5,1 kali pendapatan negara dari cukai tembakau pada tahun yang sama. Sayang sekali, kegiatan kampanye antirokok di Indonesia berjalan sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi/bersinergi. Seyogianya pemerintah dan masyarakat menggunakan strategi pengendalian dampak tembakau yang dilancarkan WHO tahun ini, yaitu enam kebijakan disingkat MPOWER: (M)onitor penggunaan tembakau dan kebijakan pencegahannya; (P)erlindungan terhadap asap rokok; (O)ptimalkan dukungan untuk berhenti merokok; (W)aspadakan masyarakat akan bahaya tembakau; (E)liminasi iklan, promosi dan sponsor rokok; (R)aih kenaikan cukai rokok. Pengendalian epidemi akibat merokok memang tak cukup hanya dengan upaya mengharamkan rokok yang malah kontroversial dan tak produktif. Iklan rokok harus ditandingi dengan iklan layanan masyarakat dan ”gerilya media” yang cerdas dengan biaya murah, yang terbukti efektif, seperti dilakukan Tony Schwartz di AS. Juga tak cukup dengan desakan kenaikan cukai rokok atau perda larangan merokok di tempat umum, yang di Jakarta ternyata cuma jadi ”macan kertas”. (kompas.com, 03-09-2008, IRWAN JULIANTO)