ANALISIS PUISI KARYA IR. SOEKARNO “JANGANLAH MENJADI POLITIKUS SALON” Fifi fitriana 13/353955/Sp/26022 Fransiskus rosary b.n 16/399278/sp/27411 Fadila irwan 16/394550/sp/27156 Kumala Kartika h 16/394560/sp/27166 Purwadityayuwana 16/399300/sp/27433 Lucke Haryo Saptoaji 16/399289/SP/27422 Swissinda 16/394570/SP/27176
JANGANLAH MENJADI POLITIKUS SALON Jangnlah menjadi politikus salon Lebih dari separo Politisi kita adalah politisi salon Yang mengenal Marhaen Hanya dari sebutan saja. Apakah orang mengira dapat menyelesaikan revolusi sekarang ini Meski tingkatannya Tingkatan nasional sekaipun Tidak dengan rakyat murba Politikus yang Demikian itu Sama dengan seorang jendral Yang tak bertentara Kalau ia memberi komando Dia seperti orang yang berteriak di padang pasir Tetapi betapakah orang dapat menarik rakyat jelata Jika tidak terjun di kalangan mereka Mendengarkan kehendak-kehendak mereka Memnyadarkan mereka akan diri sendiri Membuat revolusi ini revolusi mereka? dari buku “Sarinah”, 1947 hal. 229-230
Latar belakang pemilihan puisi Puisi karya IR. Soekarno sangat tepat dengan keadaan sosia serta politik Indonesia pada saat ini. Dimana wakil rakyat tidak menjadi wakil yang sesungguhnya bagi kepentingan rakyat, atau bias dikatakan dengan maraknya penyalah gunaan wewenang jabatan pada saat ini. Sehingga dapat di gambarkan melalui puisi yang berjudul “JANGANLAH MENJADI POLITIKUS SALON”.
LANDASAN TEORI DARI KARL MARX Karl Marx berpendapat bahwa kaum borjuis melaksanakan kegiatan ekonomi yang eksploitatif terhadap kaum proletar. Disebut eksploitatif karena kaum borjuis membeli tenaga yang dimiliki kaum proletar dengan harga yang tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatnya. Padahal, sejatinya yang menjual jasa adalah kaum proletar, namun yang mendapat keuntungan justru kaum borjuis (Jackson&Sorensen: 2009, p.239) Teori sosial Marx lebih menekankan pada perkembangan masyarkat yang ditinjau dari sudut pandang ekonomi politik masyarakat tidak lain merupakan dari perkembangan kerja manusia dari yang primitive hingga yang paling modern. Masyarakat berkelas, hubungan sosial masyarakat merupakan hubungan konflik.
analisis Bait 1 “Jangnlah menjadi politikus salon Lebih dari separo Kesenjangan masyarakar sosial banyak terjadi di masyarakat. Dapat dilihat melalui fenomena politik. Banyak sekali wakil rakayat yang tidak dapat menyumbankan aspirasi dan suara rakyatnya. Semua dilakukan demi kedudukan dan jabatan semata. Dalam bait 1 dikatakan apda paragraph 3 “politisi kita adalah politisi salon” yang memiliki makna banyak sekali kepalsuan. Para politisi hanya mengenal kaum rendah atau Marhaen dari namanya saja yang sekedar tahu banyak rakyat kecil akan tetapi tidak bias membantu melalui kedudukannya yang lebih tinggi, yang dijelaskan pada peragraf ke 4 dan 5. Banyaknya penyalah gunaan wewenang dimana banyak sekali tindakan korupsi kolusi dan nepotisme, yang memiliki jabatan semakin kaya sedangkan rakyat biasa semalik jelata Bait 1 “Jangnlah menjadi politikus salon Lebih dari separo Politisi kita adalah politisi salon Yang mengenal Marhaen Hanya dari sebutan saja”
Bait 2 “Apakah orang mengira dapat menyelesaikan revolusi sekarang ini bahwa pada tahun 1947 saat terjadi revolusi, terdapat kelas-kelas sosial di masyarakat yang menyebabkan kesenjangan dan ketidakadilan. Di mana dikhawatirkan, para politikus salon yang hanya memihak rakyat kelas atas dapat menghambat revolusi sehingga kesejahteraan rakyat banyak tidak dapat terwujud dengan segera, bahkan mungkin rakyat kelas bawah akan semakin tertindas. Tan Malaka sendiri terinsipirasi oleh teori Karl Marx mengenai kelas sosial. Karl Max sendiri mengatakan bahwa kelas-kelas sosial seperti ini harus dihapuskan. Dalam hal ini adalah rakyat kalangan kelas bawah seperti buruh dan tani. Puisi ini ditulis dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1947. Dalam bait ini, terdapat kata “revolusi”. Ini menggambarkan situasi politik yang terjadi saat itu, yakni ketika Indonesia sedang mengalami masa revolusi dari kolonialisme menuju nasionalisme. Bait 2 “Apakah orang mengira dapat menyelesaikan revolusi sekarang ini Meski tingkatannya Tingkatan nasional sekaipun Tidak dengan rakyat murba”
“Politikus yang Demikian itu Sama dengan seorang jendral Bait 3 “Politikus yang Demikian itu Sama dengan seorang jendral Yang tak bertentara Kalau ia memberi komando Dia seperti orang yang berteriak di padang pasir” dalam bait ini menyiratkan seorang politisi yang hanya berpangku tangan dan tidak mau berbaur dengan rakyatnya sehingga rakyat tidak bersimpati dengan sang politisi. Karena itu, tidak ada rakyatnya yang mau mendengarkan perintahnya.
Bait 4 “Tetapi betapakah orang dapat menarik rakyat jelata Jika tidak terjun di kalangan mereka Mendengarkan kehendak-kehendak mereka Memnyadarkan mereka akan diri sendiri Membuat revolusi ini revolusi mereka?” politisi yang seharusnya mewakilkan rakyat, mereka tidak dapat memahami dan mewakili rakyat itu sendiri padahal seharusnya politisi tersebut lebih mendengarkan dan menyimak tuntutan-tuntutan yang diminta rakyat jelata, namun yang terjadi adalah para politisi tersebut masih mewakili golongan-golongan mereka saja seperti golongan yang mungkin mempermudah jalan mereka untuk menjadi politisi tanpa mendengarkan aspirasi rakyat secara mendetail, hal tersebut digambarkan jelas dalam puisi tersebut di dalam kata “menyadarkan mereka akan diri sendiri membuat revolusi ini revolusi mereka?” yang menggambarkan bahwa proses menuju kehidupan yang lebih baik hendaknya dialami oleh para politisi saja, sedangkan rakyatnya semakin terpuruk, mungkin benar bahwa istilah wakil rakyat disematkan untuk para politisi.
Kesimpulan Terdapat dua unsur dari teori sosiologi Karl marx, yaitu teori konflik, teori kesenjangan dan teori kelas sosial. Teori konfik digambarkan dengan bertentangannya kepentingan pribadi politikus ,eskipun kepentingan rakyat belum terpenuhi. Teori kesenjangan digambarkan dengan politikus saon yang tidak mau berbaur dengan rakyat. Sehingga, rakyat tidak simpati dan pada akhirnya membangkang. Teori kelas sosial digambarkan dengan kalimat “ tingkatan nasional sekalipun tidak dengan rakyat murba” yang menyiratkan adanya rakyat yang murba (musyawarah rakyat banyak), bahwa terdapat golongan lain yang kedudukannya beda dengan murba.