UNIVERSITAS COKROAMINOTO YOGYAKARTA HUKUM PIDANA HARTI WINARNI, S.H., M.H FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS COKROAMINOTO YOGYAKARTA
DEFINISI HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah : bagian dari keseluruhan aturan hukum yang berlaku di suatu negara guna mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan tentang: Perbuatan pidana / delik perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana kapan dan dalam hal-hal apa kepada barang siapa yang melanggar larangan-larangan tersebut dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagamana yang telah diancamkan. 3. Macam pidana / sanksi menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana atau sanksi itu dapat dilaksanakan kepada barang siapa yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut.
PERBUATAN PIDANA/ DELIK Perbuatan pidana / delik/ strafbaarfeit secara garis besar dalam KUHP dibedakan menjadi 2 : Kejahatan / misdrijven ( buku ke 2 KUHP) Pelanggaran / overtredingen (buku ke 3 KUHP) Perbedaan pokok kejahatan dan pelanggaran terletak pada berat ringannya ancaman hukuman. Ancaman hukuman bagi pelaku kejahat lebih berat dibandingkan dengan ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran.
Ada satu asas yang bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu termasuk delik atau bukan yaitu “Asas legalitas” ( Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah: Tiada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak diatur terlebih dahulu dalam undang-undang ( Nullum Delictum Nulla Poena Sine Proevia Lege )
UNSUR-UNSUR DELIK UNSUR SUBJEKTIF Adalah unsur yang berasal dari “diri si pelaku”. Asas dalam hukum pidana menyatakan bahwa “ Tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan “. Kesalahan tersebut yang diakibatkan dari : Perbuatan disengaja / dolus Perbuatan tidak disengaja /kelalaian/kealpaan/ culpa
UNSUR OBJEKTIF Adalah unsur-unsur yang berasal dari “ luar diri pelaku “. Unsur objektif terdiri dari : Perbuatan manusia terdiri dari : a. Act : perbuatan aktif b. Omission : perbuatan pasif yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. 2. Akibat / result perbuatan manusia Akibat tersebut yang bersifat membahayakan atau merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum. Misal : nyawa, badan, kemerdekaan, kesusilaan.
c. Keadaan-keadaan / circumstances Keadaan dibedakan menjadi : 1) c. Keadaan-keadaan / circumstances Keadaan dibedakan menjadi : 1). Keadaan pada saat perbuatan dilakukan 2). Keadaan setelah perbuatan dilakukan d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum 1). Sifat dapat dihukum adalah: berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan pelaku dari pidana /hukuman.
2). Sifat melawan hukum adalah : manakala perbuatan pelaku bertentangan dengan hukum yang berlaku ( berkenaan dengan larangan dan perintah ).
PERBUATAN DISENGAJA/DOLUS PENGERTIAN PERBUATAN DISENGAJA/DOLUS Yaitu : suatu perbuatan di mana pelaku harus menghendaki serta harus menginsyafi atau mengerti akan akibat dari perbuatan tersebut. MACAM PERBUATAN DISENGAJA/DOLUS 1. Perbuatan disengaja sebagai tujuan a. Yaitu : pelaku melakukan perbuatan disengaja tersebut memang untuk mencapai suatu tujuan.
b. Contoh : A berniat membunuh B, untuk mencapai maksud/tujuannya tersebut A melepaskan tembakan terhadap B. Niat menembak tersebut langsung ditujukan pada tujuan menghilangkan nyawa B. Jadi perbuatan disengaja sebagai tujuan adalah perbuatan menembak untuk mencapai tujuan matinya B. 2. Perbuatan disengaja disertai kesadaran, keharusan sekaligus melakukan perbuatan lain.
Yaitu : hanya dapat terjadi jika pelaku berkeyakinan bahwa pelaku tidak dapat mencapai tujuannya jika tidak mengakibatkan suatu perbuatan lain yang sesungguhnya tidak diinginkan. Contoh : A berniat membunuh B yang sedang duduk di warung , di balik jendela kaca. Untuk dapat membunuh B maka A harus melepaskan tembakan yang menerobos kaca jendela. Maka A tidak hanya membunuh B tapi sekaligus juga merusakkan kaca warung. A sadar bahwa untuk mencapai tujuannya ia harus menimbulkan akibat lain yang semestinya tidak diinginkan. Krn kesadaran tsb maka perbuatan merusak kaca itupun merupakan perbuatan disengaja.
3. Perbuatan disengaja dengan kesadaran akan terjadinya suatu “kemungkinan” perbuatan lain yang tidak diinginkan. a. Dolus eventualis 1). Yaitu terjadi manakala pelaku memilih lebih baik menanggung risiko adanya “kemungkinan” menimbulkan akibat lain yang tidak dikehendaki asal tujuannya tercapai. 2). Contoh : A berniat membunuh B dengan menggunakan alat bantu racun.
A mengirimkan makanan beracun ke rumah B A mengirimkan makanan beracun ke rumah B. Di rumah B juga ada istri dan anak B. Jadi ada kemungkinan makanan beracun tersebut juga dikonsumsi oleh istri dan anak B. Namun demikian A memilih menanggung risiko adanya suatu kemungkinan lain asal tujuannya tercapai. b. Kesalahan yang disadari/ BEWUSTE SCHULD 1). Yaitu : terjadi jika pelaku memilih lebih baik tidak berbuat atau membiarkan sesuatu terjadi dengan tidak memperdulikan akibat-akibatnya.
2). Bewuste schuld erat kaitannya dengan kelalaian/kealpaan. 3) 2). Bewuste schuld erat kaitannya dengan kelalaian/kealpaan. 3). Contoh : - Pasal 188 KUHP : karena kelalaiannya mengakibatkan kebakaran. - Pasal 359 KUHP : karena kelalaiannya mengakibatkan matinya orang lain. - Pasal 360 KUHP : karena kelalaiannya mengakibatkan luka-luka berat orang lain.
4). Hakim harus bisa mengkualifisir apakah sikap diam pelaku disebabkan karena overmach/daya paksa atau memang karena kesalahan yang disadari/bewuste schuld. 4. a. Dolus Determinatus 1). Dolus determinatus terjadi manakala pihak yang akan dijadikan korban sudah pasti. 2). Contoh : A berniat melakukan penganiayaan terhadap B .
b. Dolus indeterminatus 1) b. Dolus indeterminatus 1). Dolus indeterminatus terjadi manakala pelaku tidak memperdulikan siapa-siapa yang akan menjadi korbannya asal tujuannya tercapai. 2). Contoh : A hendak merampok bank – di dalam bank ada satpam, petugas bank, nasabah – A tidak peduli siapapun yang akan menghalangi niatnya akan disingkirkan. 5. a. Dolus alternatives
1). Yaitu : perbuatan disengaja di mana pelaku mempunyai maksud bercabang. 2). Contoh : A mempunyai niat /maksud melakukan pencurian sekaligus pembunuhan atau hanya mencuri saja. Pelaku akan pilih mana yg lebih menguntungkan dirinya. b. Dolus generalis 1). Yaitu : perbuatan disengaja yang ditujukan/ korbannya banyak orang.
2). Contoh : A melempar granat/bom di pasar. Weberse Dolus Generalis a. Yaitu terjadi manakala pelaku melakukan perbuatan disengaja yg direncanakan dan perbuatan disengaja yang tidak direncanakan (ripentimus/impetus). b. Contoh : A menembak B dengan maksud untuk membunuhnya – ternyata B tidak meninggal tapi hanya luka dan pingsan –
A menyangka B telah meninggal – muncul niat secara “spontan” untuk menghilangkan jejak dengan membuang B ke sungai – hasil visum membuktikan bahwa matinya B bukan karena tembakan tapi karena ditenggelamkan ke sungai. 7. Dolus Premiditatus a. Yaitu: perbuatan disengaja yang sifatnya lebih berat karena sudah direncanakan terlebih dahulu.
b. Contoh : A berniat melakukan pembunuhan yang b. Contoh : A berniat melakukan pembunuhan yang sudah direncanakan terlebih dahulu. KEKELIRUAN DALAM MELAKUKAN PERBUATAN DISENGAJA/DOLUS Kekeliruan pada pokoknya/ Feitelijk Dwaling a. Yaitu jika karena kekeliruan tersebut ternyata tidak ada kesengajaan yang ditujukan pada salah satu unsur dari perbuatan pidana yang bersangkutan – pelaku tidak dapat dipidana.
b. Contoh : A membeli televisi dari B – di tangan A televisi tsb rusak (terjatuh dan pecah) – C mengklaim bahwa televisi miliknya – A tidak dapat dituntut telah merusakkan barang milik orang lain (Pasal 406 KUHP). 2. Kekeliruan mengenai pemahaman hukumnya/ Rechts Dwaling a. Kekeliruan mengenai pemahaman hukumnya tidak dapat dijadikan alasan untuk melepaskan
pelaku dari tuntutan – ada asas bahwa “setiap orang dianggap tahu akan undang-undang sejak diundangkan”. b. Contoh : A berburu di hutan – menembak satwa yang dilindungi – tidak dapat berdalih dengan alasan tidak tahu kalau undang-undangnya mengatur demikian. 3. Kekeliruan mengenai objek dan orang a. Perbedaan terletak pada ada tidaknya“niat” pada diri pelaku melakukan perbuatan disengaja.
b. - Kekeliruan mengenai objek/Error in objecto – pelaku “tidak mempunyai niat” untuk melakukan perbuatan disengaja. - Contoh : A berburu di hutan – menembak pada suatu benda bergerak yang disangkanya satwa – ternyata orang dan meninggal – tidak terjadi perbuatan pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHP) – melaikan bisa dengan Pasal 359 KUHP (mengakibatkan matinya orang lain karena kesalahannya/kelalaiannya).
c. - Kekeliruan mengenai orang/ Error in Persona – pelaku “mempunyai niat” untuk melakukan perbuatan disengaja. - Contoh : A bermaksud membunuh B yang tidak dikenal dengan dekat – yang terbunuh C – tidak dapat meloloskan A dari pasal 338 KUHP. 4. Aberratio Ictus a. Yaitu adanya penyimpangan sasaran karena adanya hal-hal di luar perhitungan.
b. Contoh : A berniat membunuh B dengan cara b. Contoh : A berniat membunuh B dengan cara menembak – tembakan mengebai benda keras, mental mengenai C – C meninggal – A dituntut mencoba melakukan pembunuhan terhadap B juga dituntut karena kelalaiannya mengakibatkan matinya C. PERUMUSAN PERBUATAN DISENGAJA DALAM KUHP Rumusan “perbuatan disengaja” dalam KUHP
menggunakan beberapa istilah, di antaranya adalah : Dengan maksud – Pasal 362 KUHP Dengan sengaja – Pasal 338 KUHP Mengetahui atau diketahuinya – Pasal 480 KUHP Dengan rencana lebih dahulu – Pasal 340 KUHP Di samping itu rumusan perbuatan disengaja ada juga yang telah tercakup dalam “arti/makna” suatu kata. Artinya hal tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa sengaja. Kata tersebut antara lain adalah :
Dengan paksa – Pasal 167 KUHP Melawan – Pasal 212 KUHP Menghasut – Pasal 160 KUHP
KEALPAAN/KELALAIAN/CULPA Pengertian Culpa Yaitu : bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan/dolus – ancaman pidanya lebih ringan. Bentuk-bentuk kealpaan/culpa 1. Bewuste schuld/kesalahan yang disadari (sudah dijelaskan). 2. On bewuste schuld/kesalahan atau kealpaan yang tidak disadari. a. Yaitu: pelaku tidak membayangkan bahwa kealpaannya akan timbulnya suatu akibat yang
dilarang dan diancam dengan pidana. b. Contoh : penjaga palang pintu kereta api yang sedang bertugas tertidur – mengakibatkan kecelakaan kereta api terjadi. Culpa bisa terjadi karena 3 hal, yaitu : Perbuatan disengaja – sengaja membuang puntung rokok di semak-semak- mengakibatkan kebakaran. Perbuatan tidak disengaja – penjaga palng pintu kereta api tertidur saat tugas –mengakibatkan kecelkaan kereta api.
3. Membiarkan sesuati terjadi tanpa berpikir akibatnya – satpam mengetahui akn terjadi pencurian di tempatnya bekerja – diam saja tidak bertindak untuk mencegah.
PERTANGGUNGJAWABAN DALAM HUKUM PIDANA Pada prinsipnya barang siap yang melakukan perbuatan pidana/delik maka ‘wajib” mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana “tidak dapat dialihkan” kepada pihak lain. Namun demikian ada orang-orang yang “ dikecualikan” dari pertanggungjawaban pidana / STRAFUITSLUITINGSGRONDEN, yaitu : 1. Kurang sempurna akal/sakit ingatan – Pasal 44 KUHP
2. Overmach/daya paksa – Pasal 48 KUHP a 2. Overmach/daya paksa – Pasal 48 KUHP a. Yaitu : melakukan perbuatan pidana di bawah ancaman/paksaan pihak lain, di mana pelaku sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar/berkelit. b. Contoh : dipaksa untuk menandatangani keterangan palsu dengan ancaman todongan pistol di jidat. 3. Keadaan terpaksa/Noodtoestand a. Yaitu : keadaan ketika suatu kepentingan hukum
dalam keadaan bahaya dan untuk menghindarkan bahaya tersebut , terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain. b. Contoh : kecelakaan kapal – ada dua penumpang yang mengapung berpegangan pada satu balok kayu – balok kayu hanya mampu untuk menopang 1 orang – dengan terpaksa salah satu mendorong penumpang yang lain – tenggelam dan mati. c. Syarat noodtoestand :
a. Harus ada perimbangan antara kepentingan yang dipertahankan dengan kepentingan yang dikorbankan. b. Orang yang bertindak dalam keadaan terpaksa harus sudah tidak mempunyai alternatif lain sebagai solusi. c. Orang yang bertindak dalam keadaan terpaksa tidak boleh orang yg karena pekerjaan/ kewajibannyaharus menentang segala bahaya (misal: nahkoda, petugas pemadam kebakaran).
4. Pembelaan Terpaksa/ Noodweer – Pasal 49 KUHP a 4.Pembelaan Terpaksa/ Noodweer – Pasal 49 KUHP a. Yaitu: terpaksa melakukan perbuatan pidana dalam rangka melakukan pembelaan. b. Syarat , harus ada: - “serangan” ( mengancam dan datang dengan mendadak serta bersifat melawan hukum). - “pembelaan” ( bersifat terpaksa, seimbang antara serangan dan pembelaan, yang dibela meliputi diri sendiri, orang lain, kehormatan, harta benda).
c. Contoh : pelaku pencurian mendadak menyerang pemilik rumah yang terbangun dan mengetahui terjadi pencurian – pemilik rumah terpaksa harus melakukan pembelaan karena adanya serangan dari pelaku pencurian. 5. Melaksanakan peraturan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan –Pasal 50 KUHP a. Ada orang-orang tertentu yang diberi kewajiban untuk melakukan perbuatan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan.
b. Contoh : polisi terpaksa harus melakukan penembakan dikarenakan orang yang diduga melakukan perbuatan pidana berusaha kabur pada saat akan dilakukan penagkapan. 6. Perintah Jabatan – Pasal 51 KUHP a. Prof Satochid : pelaksanaan perintah jabatan harus juga seimbang, patut dan tidak boleh melampaui batas-batas keputusan pemerintah. b. Mr Hazewingkel Sinaga : ketaatan yang membabi buta tidak meniadakan dapat dipersalahkannya
suatu kesalahan. c. Prof. Mr. J.M van Bemmelen : seorang bawahan atau staf terhadap perintah jabatan harus bersikap kritis. Perluasan dasar penghapusan pidana/hukuman antara lain : 1. Hak mendidik – dalam batas kewajaran –jangan sampai membahayakan dan melalaikan kepentingan anak (melarang anak keluar kamar pada jam belajar)
2. Hak jabatan dokter – misal aborsi dengan alasan pertimbanagn medis demi kesehatan si ibu. 3. Perbuatan seorang ahli – perbuatan ahli dalam rangka penelitian harus menggunakan hewan – bukan merupakan penganiayaan terhadap hewan yang diatur dalam Pasal 302 KUHP. 4. Ijin dan mengurangi kepentingan orang lain – misal membuat luka orang lain dalam pertandingan tinju – dibebaskan dari hukuman karena para pihak dianggap telah memberi ijin satu sama lain.
MACAM PIDANA /SANKSI Pidana /sanksi dalam KUHP dibedakan – Pasal 10 KUHP : a. Pidana pokok terdiri dari : pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda. b. Pidana tambahan terdiri dari : pencabutan hak- hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim. 2. Pidana pokok bersifat “mandiri” – dapat diancamkan tanpa pidana tambahan. 3. Pidana tambahan harus diancamkan bersamaan
dengan pidana pokok. PIDANA MATI Ancaman pidana mati selalu berbarengan dengan ancaman pidana penjara seumur hidup –hakim dapat memilih. Eksekusi pidana mati dengan cara ditembak oleh regu tembak. Eksekusi pidana mati hawus menunggu putusan grasi dari presiden.
PIDANA PENJARA Macamnya : a. penjara sementara waktu (paling pendek 1hari, paling lama 15 tahun berturut-turut – Pasal 12 ayat 2 KUHP). b. Penjara seumur hidup 2. Penjara sementara waktu dapat dijatuhkan 20 tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih – Pasal 12 ayat 3 KUHP.
PIDANA KURUNGAN Jangka waktu paling sedikit 1 hari. Paling lama 1 tahun – Pasal 18 ayat 1 KUHP. Jika terjadi pemberatan pidana disebabkan karena perbarengan/pengulangan , pidana kurungan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan – Pasal 18 ayat 2 KUHP. PIDANA DENDA Hakim punya kewenangan untuk melakukan intepretasi/penafsiran – kurs emas/dolar.
PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU Hak-hak terpidana yang dapat dicabut berdasarkan putusan pengadilan – Pasal 35 KUHP Jangka waktu pencabutan hak-hak tertentu tergantung pada jenis pidana pokoknya – Pasal 38 KUHP : a. Pidana mati/penjara seumur hidup – lama pencabutan hak seumur hidup. b. Pidana penjara sementara waktu/kurungan – lamanya pencabutan hak min 2 tahun max 5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
c. Pidana denda – lamanya pencabutan hak min 2 tahun max 5 tahun. d. Pencabutan hak-hak tertentu mulai berlaku sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. PERAMPASAN BARANG-BARANG TERTENTU Barang - barang yang bisa dikenakan perampasan – Pasal 39 KUHP : a. Barang-barang terpidana yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan atau b. Yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan
PENGUMUMAN PUTUSAN HAKIM Tidak setiap putusan hakim harus diumumkan. Kewajiban mengumumkan putusan hakim hanya berlaku untuk perbuatan pidana tertentu. Misal : Pasal 202 ayat 1 KUHP, Pasal 361 KUHP, Pasal 377 ayat 1 KUHP, Pasal 395 ayat 1 KUHP, Pasal 405 ayat 2 KUHP. Cara menjalankan pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP.
SAMENLOOP/CONCURCUS Yaitu : perbarengan atau bersamaan Macam concurcus : 1. Concurcus Idealis – Pasal 63 KUHP Terjadi jika pelaku melakukan satu perbuatan pidana tapi melanggar dua atau lebih aturan hukum. 2. Concurcus Realis – Pasal 65, Pasal 66,Pasal 70 KUHP Terjadi manakala pelaku sekaligus melakukan lebih dari satu perbuatan pidana.
3. Perbuatan Lanjutan – Pasal 64 KUHP Terjadi manakala pelaku melakukan perbuatan pidana yang sama berulang kali, saling berkaitan sehingga rangkaian perbutan pidana tersebut harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan.
TUJUAN HUKUM PIDANA Teori Absolut Hukuman dijatuhkan sebagai “pembalasan”terhadap pelaku karena telah mengakibatkan kesalahan pada orang lain. Teori Relatif Hukuman dijatuhkan guna : a. “Menjerakan” bagi pelaku maupun orang lain supaya tidak melakukan perbuatan pidana. b. Memperbaiki pribadi terpidana sehingga tidak mengulangi lagi perbuatan pidana.
c. Membinasakan terpidana dengan hukuman mati c. Membinasakan terpidana dengan hukuman mati atau membuat terpidana tidak berdaya dengan pidana seumur hidup.
INTERPRETASI/PENAFSIRAN Yaitu: menafsirkan makna /arti suatu kata atau suatu rumusan dalam undang-undang. Metode interpretasi : Gramatika /tata bahasa Jika arti suatu kata dalam undang-undang sudah jelas maka arti kata tersebut tidak boleh disimpangi. Sistematika Jika arti suatu kata dalam undang-undang kurang jelas maka bisa dicari artinya dalam undang-undang lain. Historis Arti/makna suatu kata dalam undang-undang dapat diketahui dengan melihat sejarah pembentukan undang-undang tersebut.
4. Teleologis penafsiran kata-kata dalam perumusan undang-undang dilakukan dengan meneliti maksud pembentukan undang-undang tersebut dan kondisi masyarakat pada waktu pembentukan undang-undang tersebut. 5. Analogi Metode ini semata mata hanya menggunakan logika/pemikiran – sebisa mungkin dihindari- dapat menyesatkan atau tidak menjamin kepastian hukum tentang perbuatan pidana/delik –metode analogi bertentangan dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP)
POGING/PERCOBAAN PENGERTIAN Yaitu : perbuatan pidana di mana pelaku tidak dapat mencapai maksud/tujuannya – niat jahatnya tetap harus dipertanggungjawabkan. Ada beberapa poging melakukan kejahatan yang tidak dipidana, yaitu: 1. Poging penganiayaan ringan terhadap hewan – Pasal 302 ayat 2 KUHP. 2. Poging penganiayaan – Pasal 351 ayat 5 KUHP.
UNSUR-UNSUR POGING – Pasal 53 ayat 1 KUHP 1. Niat/maksud/kehendak/voornemen. a. Niat untuk melakukan kejahatan (Pasal 54 KUHP) b. Dalam unsur niat terkandung adanya kesengajaan (lihat materi sebelumnya). 2. Permulaan Pelaksanaan a. Permulaan pelaksanaan dari kejahatan. b. Kapan dikatakan sudah ada permulaan pelaksanaan ?
1). Ajaran Subyektif Menganggap bahwa pelaku poging harus dipidana – karena sifat berbahayanya “orang” tersebut – menitik beratkan pada “subyeknya” – subyek/pelaku yang mempunyai “niat/maksud” melakukan kejahatan. 2. Ajaran obyektif Menganggap pelaku poging harus dipidana – karena berbahayanya “perbuatan” pelaku – menitik beratkan pada “obyeknya”.
Menurut ajaran obyektif perbuatan pelaku yang bersifat berbahaya dua dibedakan menjadi dua : Delik Formil a. Perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal-pasal yang mengatur tentang delik. b. Contoh : Poging pencurian dengan jalan membongkar – sudah terjadi pembongkaran namun ketahuan – permulaan pelaksanaan pada saat pelaku melakukan pembongkaran.
2. Delik Materiil a. Perbuatan-perbuatan pelaku harus ada “hubungannya secara langsung” dengan delik yang hendak dilakukan dan disyaratkan adanya “akibat” yang bisa dilihat dari perbuatan pelaku. b. Contoh : Poging pembunuhan dengan alat bantu pistol – pelaku sudah menembakan pistolnya ke arah korban – tembakan meleset – korban hanya luka-luka – terjadi poging pembunuhan.
c. Permulaan pelaksanaan pada saat pelaku c. Permulaan pelaksanaan pada saat pelaku “menembak” dan ada akibat yang bisa dilihat korbanya luka-luka. Permulaan pelaksanaan menurut Prof. Moeljatno,S.H. Meliputi tiga hal, yaitu : Secara obyektif perbuatan pelaku mendekatkan pada kejahatan yang dimaksud/berpotensi untuk mewujudkan delik yang dimaksud. Secara subyektif sudah tidak ada lagi keragu-raguan pada pelaku untuk melakukan delik.
c. Perbuatan pelaku merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum c. Perbuatan pelaku merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. * “Perbuatan persiapan” adalah semua perbuatan yang “mendahului” permulaan pelaksanaan. * Perbuatan persiapan “tidak termasuk” perbuatan pidana. * Contoh : A punya niat untuk membunuh b dengan alat bantu racun – A akan membeli racun, menyimpannya,meramu racun pada makanan/minuman, memberikan makanan atau
minuman beracun pada B. Dari contoh tersebut yang termasuk sebagai a minuman beracun pada B. * Dari contoh tersebut yang termasuk sebagai a. Perbuatan persiapan adalah sejak A membeli sampai meramu racun pada makanan atau minuman. b. Permulaan pelaksanaan adalah pada saat A memberikan makanan/minuman beracun tersebut pada korbannya.
3. Pelaksanaan tidak selesai karena adanya hal-hal di luar kehendak pelaku. a. Mempunyai kedudukan khusus yang bersifat mempertegas bentuk poging dan melengkapi permulaan pelaksanaan. b. Hal-hal yang menjadi penghalang untuk tidak selesainya suatu delik adalah : 1). Halangan fisik dari alat yang dipergunakan – contoh : A berniat membunuh B dengan cara
menembak – saat akan ditembakkan pistol macet/rusak. 2) menembak – saat akan ditembakkan pistol macet/rusak. 2). Halangan yang disebabkan oleh keadaan-keadaan khusus pada obyek yang dituju – contoh : berniat mencuri uang di brangkas – tidak dapat membuka brangkas tersebut.
TINGKATAN-TINGKATAN POGING Poging Sempurna a. Terjadi manakala permulaan pelaksanaan sudah mendekati terlaksananya kejahatan yang dimaksud. b. Contoh : A menembak B tapi tembakan meleset. 2. Poging Tertangguh a. Terjadi manakala akan melakukan permulaan pelaksanaan tertangguhkan disebabkan karena adanya hal-hal di luar kehendak pelaku.
b. Contoh : A berniat membunuh B dengan jalan menembak – pada saat hendak menembak – tangan dipukul oleh C – mengakibatkan permulaan pelaksanaan (menembak) tertangguhkan. 3. Poging Berjenis a. Jika kejahatan yang dimaksud tidak selesai /tidak berhasil tapi apa yang dilakukan pelaku justru mengakibatkan kejahatan lain. b. Contoh : A berniat menembak B dengan niat
untuk membunuh – tembakan meleset – B hanya luka-luka – A dapat dituntut dengan poging pembunuhan terhadap B, melakukan penganiayaan terhadap B. 4.Poging yang tidak berfaedah/kejahatan sia-sia a. Bersifat : * Nisbi/relatif * Mutlak/absolut b. Dapat mengenai alat yang digunakan, benda/obyek yang dituju.
c. Contoh : * Poging tidak berfaedah secara nisbi mengenai alat yang digunakan – A berniat meracun B – dosisnya kurang – ada kemungkinan B tidak mati – bisa juga kemungkinan B mati karena kondisi badannya sedang lemah – racun bersifat nisbi secara relatif. * Poging tidak berfaedah secara mutlak mengenai benda/obyek yang dituju – A berniat membunuh B –saat B tidur A menusukkan pisau di
jantung B – B meninggal – hasil visum membuktikan bahwa matinya B bukan karena luka tusukan namun karena serangan jantung sebelum terjadi penusukan – perbuatan A menusuk B menjadi sia-sia secara mutlak mengenai benda/obyek yang dituju. POGING DAPAT DIBEDAKAN : Poging Mampu a. Yaitu : jika perbuatan dan alat yang
dipergunakan berdasrkan sifatnya mampu untuk mewujudkan delik yang dimaksud. b. Contoh : A berniat membunuh B dengan cara menembak , dengan pistol yang sudah diisi dengan peluru – berdasrkan sifatnya menembak dengan pistol yang sudah diisi dengan peluru “mampu” untuk mewujudkan delik yang dimaksud. 2. Poging Tidak Mampu a. Yaitu : jika perbuatan dan alat yang dipergunakan
berdasarkan sifatnya tidak mampu untuk mewujudkan delik yang dimaksud berdasarkan sifatnya tidak mampu untuk mewujudkan delik yang dimaksud. b. Contoh : A berniat membunuh B dengan alat bantu serbuk racun – oleh C racun diganti dengan gula halus tanpa sepengetahuan B – A meracun B dengan gula yang disangkanya racun - gula berdasarkan sifatnya tidak mampu untuk mewujudkan delik yang dimaksud.
DEELNEMING/DELIK PENYERTAAN Dasar Hukum : Pasal 55 dan Pasal 60 KUHP Pengertian : suatu perbuatan pidana/delik di mana pihak yang terkait didalamnya lebih dari satu orang, masing-masing mempunyai batas pertanggungjawaban yang berbeda. Bentuk-bentuk deelneming Mereka yang melakukan delik / DADER/PLEGER – Pasal 55 KUHP
2. Turut serta melakukan delik/MEDEPLEGER = Pasal 55 KUHP 3 2. Turut serta melakukan delik/MEDEPLEGER = Pasal 55 KUHP 3. Menyuruh lakukan delik/ DOENPLEGER – Pasal 55 KUHP 4. Menganjurkan melakukan delik/ UITLOKKER – Pasal 55 KUHP 5. Membantu melakukan kejahatan/ MEDEPLICHTIGE – Pasal 56 KUHP
DADER/PLEGER Manakala masing-masing pihak sama-sama memenuhi unsur perbuatan dalam pasal yang mengaturnya. Masing-masing pihak mempunyai batas pertanggungjawaban yang sama, karena sama-sama dikategorikan sebagai pelaku. Contoh : delik pencurian dengan jalan membongkar – pihak yang satu membongkar dan pihak yang lain melakukan delik pencurian.
TURUT SERTA MELAKUKAN/MEDEPLEGER masin-masing pihak mempunyai batas pertanggungjawaban yang berbeda. Contoh : delik penggelapan –Pasal 372 KUHP – B menyerahkan sepedanya pada A secara “sukarela” untuk dijualkan – A mengajak C untuk mengantarkan menjual sepeda –sepeda laku – uang dipakai A – C dikasih upah dari uang hasil jual sepeda B. a. A pelaku delik penggelapan karena A
mempunyai “kuasa penuh”terhadap obyek delik penggelapan. b. Sedangkan C masuk kategori turut serta karena C tidak mempunyai kuasa penuh terhadap obyek delik penggelapan namun C turut menikmati hasil dari delik penggelapan. MENYURUH LAKUKAN/DOENPLEGER 1. Terdiri dari pelaku langsung (pihak yang disuruh) dan pelaku tidak langsung (pihak yang menyuruh).
2. Hanya pelaku tidak langsung ( pihak yang menyuruh) saja yang dapat dituntut. 3. Pelaku langsung tidak dapat dituntut karena termasuk MANUS MANISTRA/MANUS DOMINA yaitu pihak yang diperalat ( tidak mengetahui/tidak menyadari bahwa perbuatan yang disuruh lakukan tersebut termasuk delik). 4. Contoh : kuli pengangkut barang di stasiun kereta api – disuruh A untuk menurunkan 3 koper dari kereta api – setelah diturunkan ternyata ada
penumpang lain yang meneriaki si kuli telah mengambil kopernya. 5. a penumpang lain yang meneriaki si kuli telah mengambil kopernya. 5. a. Secara teori kuli tidak dapat dituntut dengan delik pencurian karena kuli tersebut termasuk manus manistra/manus domina (harus dibuktikan). b. A yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya menyuruh si kuli menurunkan koper. 6. Batas pertanggungjawaban pelaku tidak langsung : a. Tidak lebih dari apa yang dilakukan oleh pelaku
langsung meskipun niat/maksud dari pelaku tidak langsung lebih dari itu ( disuruh menurunkan 3 koper, baru 2 koper sudah ketahuan. Tanggung jawab pelaku langsung hanya sebatas 2 koper). b. Tidak lebih dari apa yang dikehendaki oleh pelaku tidak langsung ( disuruh menurunkan 3 koper, kuli menurunkan 4 koper. Koper ke 4 tanggungjawab si kuli karena kelalainnya).
PENGANJURAN/PEMBUJUKAN/UITLOKKER Ada pelaku langsung (pihak yang dibujuk) dan ada pelaku tidak langsung (pihak yang membujuk). Uitlokker bisa dilakukan dengan jalan : memberi hadiah, janji-janji, penyalahgunaan kewibawaan, paksaan, ancaman, tipu daya, memberikan kesempatan, alat maupun keterangan. 3. Contoh : a. Membujuk untuk melakukan pembunuhan dengan janjiakan diberikan uang imbalan.
b. Penyalahgunaan kewibawaan – antara atasan dengan staf di mana perbutan pidana yang dibujukkan tersebut harus ada hubungannya secara langsung dengan” kewajiban kerja” si staf tersebut – seorang atasan membujuk bendahara untuk memanipulasi laporan keuangan dengan janji akan dibeikan hadiah/ dinaikkan jabatannya. c. Ancaman/paksaan – pihak yang dipaksa/diancam masih ada kesempatan untuk “menghindar” - tidak bertentangan dengan overmacht -
dibujuk untuk melakukan pembunuhan dengan imbalan sejumlah uang – jika dalam waktu 24 jam belum terlaksana maka taruhannya nyawa pihak yang dibujuk – ada waktu 24 jam untuk menghindar namun tidak dipergunakan. 4. Perbedaan antara : a. Menyuruh lakukan/doenpleger Pelaku langsung tidak dapat dituntut karena manus manistra/manus domina.
b. Penganjuran/pembujukan/uitlokker Pelaku langsung tetap dapat dituntut karena tidak termasuk manus manistra/manus domina. 5. Batas pertanggungjawaban pihak yang membujuk a. Sebatas pada perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja dibujukkan pada pihak lain serta akibat- akibatnya. b. Contoh : A dibujuk untuk menganiaya B dengan imbalan sejumlah uang – dalam perjalanan ke rumah sakit B meninggal -
Batas pertanggungjawaban A adalah membujuk melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban. MEMBERI BANTUAN/MEDEPLICHTIGE Bantuan dapat diberikan “pada saat” kejahatan dilakukan , pada saat “sebelum” kejahatan dilakukan berupa kesempatan, alat maupun keterangan. Pidana pokok bagi medeplichtige adalah
a. Pidana pokok pelaku kejahatan dikurangi sepertiga – Pasal 57 ayat 1 KUHP b. Jika pelaku kejahatan diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup maka bagi medeplichtige paling lama diancam dengan hukuman penjara 15 tahun – Pasal 57 ayat 2 KUHP. 3. Hanya membantu melakukan kejahatan saja yang bisa dipidana – Pasal 60 KUHP. 4. Batas pertanggungjawaban medeplichtige :
* Sebatas pada apa yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. * Contoh : sepakat melakukan pembunuhan – tidak selesai – medeplichtige hanya bertanggungjawab sampai pada poging pembunuhan. * Sebatas pada perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja dipermudah/didukung oleh medeplichtige – Pasal 57 ayat 4 KUHP. * Contoh : sepakat untuk membantu melakukan
penganiayaan – pelaku membunuh korbannya – tanggung jawab medeplichtige hanya sampai membantu penganiayaan. c. * Keadaan pribadi masing-masing pihak yang dapat menyebabkan pihak yang bersangkutan tidak dapat dituntut/tuntutan dikurangi/ditambah, hanya berlaku bagi pihak yang bersangkutan saja – Pasal 58 KUHP. * Contoh : pelaku kejahatan anak di bawah 12 tahun – vonnis dikembalikan ke orang tua –
Pasal 12 ayat 1 huruf a Undang-undang no 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak – medeplichtige yang sudah dewasa ancaman pidananya tetap mengacu pada Pasal 351 KUHP dikurangi sepertiganya. 5. Perbedaan adanya memberikan kesempatan, alat maupun keterangan pada : a. Uitlokker/pembujukan berfungsi untuk membangkitkan niat melakukan delik yang awalnya tidak ada
menjadi ada. b. Medeplichtige Berfungsi memperbesar niat melakukan kejahatan bagi pelaku yang sudah ada sejak awal.
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN ALASAN-ALASAN HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN : Adanya suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap/inkracht – Pasal 76 KUHP. a. Dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum. b. Prinsip dalam pasal 76 KUHP adalah NE BIS IN IDEM : tidak boleh suatu perkara yang sama yang sudah diputus – diperiksa dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh pengadilan. 2. Kematian orang yang melakukan delik – Pasal 77 KUHP.
a. Hak mnuntut hilang oleh karen meninggalnya tersangka. b a. Hak mnuntut hilang oleh karen meninggalnya tersangka. b. Sesuai dengan prinsip dalam pertanggungjawaban pidana bahwa pertanggungjawaban pidna tidak dapat dialihkan ke pihak lain. 3. Daluwarsa –Pasal 78 KUHP a. Satu tahun untuk semua delik yang dilakukan dengan percetakan. b. Enam bulan untuk kejahatan yang diancam dengan pidana denda, kurungan atau penjara
yang lamanya tidak lebih dari tiga tahun. c yang lamanya tidak lebih dari tiga tahun. c. Dua belas tahun untuk kejahatan yang diancam dengan pidana penjara sementara waktu yng lamanya lebih dari tiga tahun. d. Delapan belas tahun untuk semua kejahatan yang diancm dengan pidana mati atau penjara seumur hidup. e. Jika pelaku pada saat melakukan delik tersebut umurnya belum 18 tahun maka tenggang waktu daluwarsa tersebut dikurangi sepertiga.
4. Penyelesaian perkara di luar persidangan – Pasal 82 ayat 1 KUHP. a 4. Penyelesaian perkara di luar persidangan – Pasal 82 ayat 1 KUHP. a. Berlaku untuk pelanggaran saja b. Ancaman pidananya hanya berupa denda c. Akan hapus hak penuntutan manakala sudah dengan suka rela dibayar maksimum denda yang diancamkan dan sekaligus sudah dibayar biaya perkaranya.
HAPUSNYA HAK EKSEKUSI Dengan adanya putusan yang inkraht – jaksa mempunyai kewenangan untuk melakukan eksekusi –Pasal 270 KUHAP Ada kalanya jaksa tidk dapat melakukan eksekusi karena beberapa alasan, yaitu : Kematian Terpidana dengan matinya terpidana maka hak eksekusi hapus karena pertanggungjawaban pidana tidak dapat dialihkan ke pihak lain.
2. Daluwarsa – Pasal 84 KUHP a. Hak eksekusi hapus karena daluwarsa b 2. Daluwarsa – Pasal 84 KUHP a. Hak eksekusi hapus karena daluwarsa b. Tenggang daluwarsa : 1). Pelanggaran lamanya 2 tahun 2). Kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan lamanya 5 tahun 3). Kejahatan lain lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana ditambah sepertiga.
c. Tenggang daluwarsa eksekusi tidak boleh kurang dari lamanya hukuman yang dijatuhkan. d. Hak eksekusi pidana mati tidak ada daluwarsanya. 3. Grasi a. Adalah wewenang dari kepala negara untuk menghapuskan seluruh pidana yang telah dijatuhkan atau menukar pidana yang berat dengan pidana yang lebih ringan. b. Dasar hukum : Undang-Undang no 22 Tahun 2002 tentang grasi.
LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA Undang-Undang Tidak Berlaku Surut Sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP : Asas Legalitas. Asas legalitas menjunjung tinggi adanya kepastian hukum. B. Tempat Terjadinya Delik/Locus Delicty Ada beberapa ajaran, yaitu : 1. Ajaran di mana perbuatan dilakukan – locus delicty adalah tempat di mana perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana tersebut dilakukan – contoh : A membunuh B di jakarta – locus delicty di jakarta. 2. Ajaran Berdasarkan Alat – locus delicty adalah : tempat di mana alat yang digunakan untuk melakukan delik itu menimbulkan akibat – Contoh : A meracun B di Bogor dan B meninggal – locus delicty di Bogor. 3. Ajaran Berdasarkan Akibat – locus delicty adalah: tempat di mana akibat dari delik tersebut terjadi -
Contoh : jika mengacu pada contoh butir 2, maka locus delicty di Bogor Contoh : jika mengacu pada contoh butir 2, maka locus delicty di Bogor. 4. Ajaran Lebih Dari Satu Tempat – locus delicty : ada beberapa tempat manakala delik dilakukan di beberapa tempat – Contoh : A menculik B di Jakarta, dibawa ke Bogor dan lanjut dibawa ke Cirebon – locus delicty : Jakarta, Bogor, Cirebon.
C. Asas-Asas Berlakunya Hukum Pidana Asas Teritorial Hukum pidana suatu negara berlaku untuk seluruh wilayah negara tersebut. Hukum pidana berlaku untuk semua warga negara asli maupun warga negara asing. Dasar hukumnya : Pasal 2 KUHP Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan delik di wilayah Indonesia.
d. Perluasan Pasal 2 KUHP adalah Pasal 3 KUHP, yaitu : Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orng yang “luar Indonesia” melakukan delik di “dalam kapal” Indonesia. e. Definisi kapal – Pasal 310 ayat 1 KUHD Yaitu : semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut atau yang ditujukan untuk dipakai demikian.
2. Asas Kebangsaan Undang-undang pidana pada suatu negara diberlakukan bagi setiap warga negaranya di manapun mereka berada, bahkan juga jika berada di luar negeri. Dasar hukum diatur dalam : 1). Pasal 5 KUHP yang dibatasi dengan Pasal 6 KUHP. 2). Pasal 7 KUHP 3). Pasal 8 KUHP
3. Asas Perlindungan Aturan hukum pidana dalam perundangan-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia. Dasar hukum Pasal 3 KUHP. 4. Asas Persamaan a. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban
dunia bersama-sama dengan negara lain. b dunia bersama-sama dengan negara lain. b. Pasal 4 KUHP : asas persamaan hanya berlaku untuk kejahatah-kejahatan tertentu, yaitu : Pasal 4, Pasal 106 – Pasal 108, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 111 bis ke-1, Pasal 127 dan Pasal 131 KUHP. c. Pasal 4 KUHP dibatasi oleh Pasal 9 KUHP Yaitu : berlakunya Pasal 2-5, Pasal 7 dan Pasal 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.
Terima Kasih