FILSAFAT PENDIDIKAN
Pengertian Filsafat Pendidikan • Filsafat Pendidikan merupakan bagian dari Epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu pendidikan (pengetahuan ilmiah tentang pendidikan). • Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan yang melekat pada dirinya, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, sehingga terjadi proses pendewasaan dan peningkatan kemampuannya dalam beradaptasi. 4 pilar pendidikan: learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together/with others.
Filsafat pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi yang ideal dari pendidikan. Peran filsafat dalam dunia pendidikan ialah memberi kerangka acuan bidang filsafat pendikan, guna mewujudkan cita-cita pendidikan yang diharapkan oleh suatu masyarakatdan bangsa. Filsafat pendidikan dapat didefinisikan sebagai teori yang mendasari alam pikiran ihwal pendidikan atau suatu kegiatan pendidikan.
HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN Siapa dan apakah manusia itu? Hal-hal yang bersifat fisis sudah banyak diketahui meskipunbelum seutuhnya, tetapi hal-hal yang bersifat spiritual-kualitatif masih misteri. Secara umum tahu bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan (causa prima), tetapi jika ada kesempatan manusia cenderung berperilaku bertentangan dengan ajaranNya. Semua orang tahu bahwa korupsi akan menyengsarakan banyak orang, tetapi kenapa jika ada kesempatan manusia cenderung melakukannya. Ada kesenjengan antara pengetahuan manusia dengan perilakunya.
1. Manusia adalah makhluk berpikr dan berpengetahuan Manusia lahir dengan kodratnya memiliki cipta (kebenaran), rasa (keindahan), dan karsa (kebaikan). Ketiga potensi ini menyebabkan manusia memiliki rasa ingin tahu (curiousity) atas realitas yang ada. Ketiganya membentuk sistem nilai yang melahirkan ‘filsafat hidup’ , ‘pedoman hidup’ dan aturan dalam bersikap dan berperilaku. Ketiganya mendorong manusia berpikir dan memperoleh pengetahuan.
2. Manusia adalah makhluk berpendidikan Dengan pengetahuan yang benar, manusia berusaha menjaga kelangsungan hidupnya. Pengetahuan diamalkan dalam bentuk sikap dan perilaku sehari-hari. Perilaku melahirkan moral dan etika kehidupan, yang melahirkan tanggung jawab atas kelansungan hidup dan kehidupan. Sejak lahir manusia terlibat dalam proses pendidikan. Pendidikan dilakukan untuk mencapai kedewasaan dan kematangan. Persoalan pendidikan seluas lingkup kehidupan manusia itu sendiri
3. Manusia adalah makhluk berbudaya Hasil oleh pikir, rasa, dan karsa melahirkan pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Makin tinggi kemajuan ipteks suatu masyarakat, makin tinggi budaya dan peradabannya
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN Titik temu antara asal usul kehidupan dengan pendidikan Titik temu antara tujuan hidup dengan pendidikan Titik temu antara eksistensi kehidupan dengan pendidikan
Hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan sangatlah penting sebab ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan dan mengharmoniskan serta menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin di capai.
PERKEMBANGAN BEBERAPA ALIRAN FILSAFAT YANG MENOPANG PENDIDIKAN 1. Materialisme: Herakleitos dan Parmenides Herakleitos :berpendapat ‘api’ adalah azas pertama yangmerupakan dasar (arche)segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu bisa ‘berubah’ menjadi abu. Api adalah lambang ‘perubahan’. Penyebab terdalam dari segala sesuatu adalah perubahan. Ada gerakan ‘menjadi’ secara terus menerus. Tidak ada sesuatu yang kekal, definitif, dan sempurna. Realitas sesunggguhnya dalam keadaan mengalir, sedang mengali perubahan, bergerak menjadi, yang disebut pantarei.
Filsafat Herakleitos terkenal dengan ‘filsafat menjadi’ (to become) Filsafat ini tidak mengakui adanya pengetahuan umum yang bersifat tetap. Hanya mengakui kemampuan indera dan menolak kemampuan akal, karena perubahan terjadi dalam realita konkret, dalam ruang dan waktu tertentu. Otoritas dari pemikiran ‘filsafat menjadi’ adalah pengamatan inderawi.
Parmenides: terkenal dengan bapak ‘filsafat ada’ (philosophy of to be). Realitas bukan yang berubah dan bergerak menjadi bermacam-macam, tapi yang ‘ada’ dan bersifat tetap. Konsekuensinya, yang ada itu tidak berawal dan tidak mengalami akhir. Ada itu satu dan tidak mungkin terbagi-bagi Kebenaran adalah segala sesuatu yang bersifat tetap. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan akal karena bersifat tetap, dan bukan pengetahuan indera. Parmenides merupakan pelatak dasar ‘metafisika’
2. Idealisme: Socrates dan Plato Plato adalah murid Socrates, dan pemikiran Socrates dikembangkan oleh Plato. Socrates: berpendapat, dunia sesungguhnya adalah dunia idea, dunia yang utuh dalam kesatuan yang bersifat tetap. Semua benda yang ada termasuk manusia bersifat semu dan merupakan bayang-bayang dari dunia idea, karena itu bukan kebenaran. Socrates menolak pemikiran kaum sofis yang mengaku sebagai pemilik kebijaksanaan. Manusia hanya mencintai kebijaksanaan, dankebijaksanaan hanya ada dalam dunia idea. Ketidakmampuan manusia terjadi karena jiwa (akal) terpenjara dalam badan. Badan selalui diselimuti nafsu yang mengotori jiwa. Jiwa yang kotor mempengaruhi akal.
3. Realisme: Aristoteles Pandangan Aristoteles bertentangan dengan Plato (gurunya). Menurutnya, duia yang sesungguhnya adalah dunia real, yaitu dunia konkret, yang bermacam-macam, bersifat relatif, dan berubah-ubah. Dunia idea adalah dunia abstrak yang terlepas dari pengalaman. Aristoteles dikenal sebagai ‘Bapak Metafisika’ Filosofinya memfokuskan pada persoalan ‘yang ada’ di balik yang fisis, konkret, dan berubah-ubah.
4. Rasionalis: Rene Descartes Pengetahuan yang benar bersumber dari dunia rasio. Rasio adalah realitas sengguhnya. Ungkapannya yang terkenal ‘cogito ergo sum’ (I think therefore I am). Pengalaman inderawi hanya mampu mengenal dunia empirik dan bukan kebenaran. Substansi (yang ada) hanya dapat dikenali oleh potensi rasio, sedang pengalaman empiris hanya mendapatkan kesan fenomenologis tanpa arti.
5. Empirisme: John Lock Pengetahuan yang benar bersumber dari pengalaman empiris, dunia konkret. Realitas adalah ‘tabularasa’, bagaikan kertas putih yang perlu diisi dengan pengalaman. Semakin banyak pengalaman, semakin banyak pula kebenaran objektif yang didapat. Kemampuan rasio hanya dapat mengetahui secara umum, abstrak, dan bersifat tetap. Pengalaman inderalah yang mampu mengenali yang konkret, dan bersifat berubah.
6. Kritisisme: Immanuel Kant Pengetahuan yang benar ada dalam dunia idea, yang merupakan kritik terhadap kemampuan akal pikiran dan pengalaman. Sesuatu yang nampak, dapat dialami, dan dipikirkan, hanyalah gejala (fenomena), bukan bukan hal-nya sendiri (ding ansich) dan bukan substansinya. Secara fenomenologis pengetahuan yang bersumber dari rasio disebut ‘pengetahuan apriori’, dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman disebut ‘aposteriori’. Kemampuan rasio dan pengalaman tidak dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Pemikiran Immanuel Kant merupakan dasar dari ‘metode ilmiah’ dalam mencari kebenaran, yaitu ‘pengetahuan ilmiah’.
Metode ilmiah merupakan cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh pengetahuan Proses rasional, yaitu kajian terhadap objek penelaahan menggunakan kerangka pemikiran rasional yang mengacu dan konsisten dengan teori (pengetahuan) yang telah ada berkaitan dengan objek yang diteliti. Proses empiris, yaitu verifikasi data empiris (lapangan) untuk menguji kebenaran hipotesis yang diajukan.