Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah ibu kota Kerajaan Sunda Galuh yang pernah berdiri pada tahun 1030-1579 M di wilayah barat pulau Jawa. Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak. Segi Geografis Kerajaan Pajajaran Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta). Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu Kondisi Politik (Politik-Pemerintahan) Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
Daftar raja Pajajaran • Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang) • Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan • Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan • Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan • Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf • Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda) • Rahyang Niskala Wastu Kencana • Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana) • Sri Baduga MahaRaja • Hyang Wuni Sora • Ratu Samian (Prabu Surawisesa) • dan Prabu Ratu Dewata.
Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat. Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan. Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman. Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Kehidupan Sosial di Kerajaan Pajajaran dibedakan kedalam 4 golongan masyarakat yaitu: 1. Golongan seniman seperti pemain gamelan, pemain wayang, penari. 2. Golongan petani 3. Golongan pedagang 4. Golongan yang dianggap jahat, seperti tukang copet, tukang rampas, begal, maling dan sebagainya
RUNTUHNYA KERAJAAN PADJAJARAN Ketika Syarif Hidayatullah (putra Rarasantang) bermukim di Cirebon, ia diangkat menjadi guru agama menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat. Oleh uanya, yakni Walangsungsang dinobatkan menjadi Tumenggung Cirebon.Pangeran Walangsungsang mendapat restu dari ayahnya, yakni Sri Baduga Maharaja untuk menjadi penguasa Cirebon. Namun karena kecintaannya terhadap adiknya (Rarasantang) maka ia menyerahkan tahtanya kepada Syarif Hidayatullah, putra Rarasantang. Pangeran Walangsungsang selanjutnya bertindak sebagai pelindungnya.Syarif Hidayatullah atas dukungan para wali lainnya, pada tahun 1404 Saka (<span>+</span> bulan april 1482 M) memproklamirkan Cirebon sebagai kerajaan merdeka, sebelumnya Cirebon termasuk bawahan Galuh.Berita ini tentunya sangat menganggu perasaan Sri Baduga Maharaja sebagai penguasa di tatar Sunda, iapun mengutus Tumenggung untuk menyelesaikan masalah ini
Konon kabar SangTumenggung tidak pernah kembali, pasukannya di Gunung Sembung disergap oleh gabungan pasukan Cirebon – Demak. Karena utusannya tersebut tidak kembali maka Sri Baduga mempersiapkan pasukannya untuk melakukan penyerangan ke Cirebon.Niat Sri Baduga tersebut dapat dicegah oleh Ki Purwagalih, seorang Purohita (pendeta tertinggi kerajaan), dengan pertimbangan Syarif Hidayatullah adalah masih cucu Sri Baduga dan diangkat oleh Walangsungsang, putra Sri Baduga Maharaja. Saran Ki Purwagalih tersebut sangatlah dapat dipertimbangkan, seperti yang ditulis dalam buku rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, ia menyarakan, bahwa :”Seorang kakek yang memerangi anaknya (walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayatullah) tentu akan dicemoohkan orang”.Demikian pula dari pihak Cirebon, ada keengganan dari Walangsungsang dan Syarif Hidayaytullah untuk memerangi Sri Baduga Maharaja yang masih dianggap leluhurnya. Perasaan- perasaan dari kedua belah pihak inilah yang dapat meredakan perseteruan Sri Baduga Maharaja dengan para penguasa Cirebon.Perjanjian DamaiSetelah Sri Baduga Maharaja wafat keengganan rasa hormat Cirebon terhadap Pajajaran mulai hilang.
Mungkin pula karena desakan untuk melakukan ekspansi perdagangan, sebagaimana dalam pelaksanaan, gabungan Cirebon – Demak pertama-tama menaklukan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai kerajaan Pajajaran.Cirebon memerangi Pajajaran yang waktu itu telah di perintah oleh Surawisesa, saudara se ayah Walangsungsang, dari Kentring Manik Mayang Sunda. Peperangan diperkirakan terjadi lima tahun. Menurut Cartita Parahyangan, peperangan tersebut terjadi 15 kali dan berakhir di sebelah barat Citarum. Kedua belah pihak saling menunggu, bahkan gabungan pasukan Demak – Cirebon tidak mampu menembus jantung pertahanan Pajajaran, demikian pula pasukan Pajajaran, ia tidak mampu merebut kembali pelabuhannya yang telah dikuasasi pasukan gabungan Cirebon – Demak.Di sebelah timur Galuh berupaya menguasai Cirebon, iapun mengirim surat kepada Syarif Hidayatullah untuk bergabung dengan Galuh, sebagai negara yang memiliki hak sejarah atas Cirebon
Namun permintaan tersebut di tolaknya, bahkan Syarif Hidayatullah dan meminta bantuan Fadillah Khan untuk memperkuat Pakungwati. Fadillah Khan mengirim 700 orang pasukan bantuannya untuk mempertahankan Cirebon.Kekalahan Pajajaran yang sangat fatal terjadi di front timur. Cirebon mampu mengalahkan Galuh di daerah Bukit Gundul Palimanan. Untuk kemudian merebut jantung pertahanan Galuh di Talaga. Peperangan antara Cirebon dengan Galuh yang diperkirakan terjadi pada tahun 1528 sampai dengan 1530 M Cirebon. Pada tahun itu pula Cirebon praktis berhasil menguasai Galuh.Kekalahan pasukan Sunda di front timur menyebabkan Surawisesa untuk mengambil langkah politis melalui perjanjian perdamaian Niat tersebut dilakukan dengan cara mengirimkan duta ke Pakungwati, dan Susuhunan Cirebon menerima tawaran tersebut, maka pada tahun 1531 terjadilah perdamaian.Isi dari perjanjian damai tersebut menyetujui, bahwa : “kedua belah pihak (Cirebon – Pajajaran) saling mengakui kedaulatan masing-masing, sederajat dan bersaudara sebagai akhli waris Sri Baduga Maharaja.Serangan Pertama Banten ke PakuanPada tahun 1535 M Surawisesa wafat digantikan oleh puteranya Sang Ratu Dewata. Pewaris tahta Pajajaran ini cenderung mengabaikan urusan duniawi
Ia lebih memilih untuk mengambil jalan untuk menjadi raja resi, berpuasa, hanya memakan buah-buahan dan minum susu. Mungkin ia merasa jemu dengan urusan duniawi, seperti peperangan yang tidak ada hasilnya yang dilakukan oleh ayahnya. Disisi lain iapun sangat percaya sepenuhnya terhadap jaminan perjanjian damai Pajajaran – Cirebon 29 Juni 1531 M yang dilakukan oleh ayahnya.Peristiwa tersebut disindir Carita Parahiyangan, “Ya hati-hatilah orang- orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang karena rajin puasa.” Mungkin amanah tersebut dimasa kini dapat dipahami sebagai perlunya menjaga keseimbangan antara dunia dan masalah akherat.Disisi lain pihak Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon. Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Ia menyetujuinya, karena harus taat kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk pasukan khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane),
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.Perundingan Yang Sangat MenentukanSatu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 15687 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1568). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing- masing.
Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. : Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala.(Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau 8 Mei 1579 M)….cag
Gambar yang mendukung
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.
itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci PakancilanDari sumber kuno ". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang berarti "peucang".