HUKUM ISLAM DLM TATA HUKUM NASIONAL
Pendahuluan Sistem Hukum Indonesia sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya bersifat majemuk. Karena sampai sekarang di negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum diantaranya, sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat.
Sejak awal kehadiran Islam pada abad ke-tujuh Masehi tata hukum Islam sudah dipraktekkan dan dikembangkan dlm lingkungan masyarakat dan peradilan Islam. Hamka mengajukan bukti adanya karya ahli hukum Islam indonesia: Shirat al-Thullab; Shirat al-Mustaqim; Sabil al-Muhtadin; Kartagama; Syainat al-Hukm.
Pada era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam peradilan agama sudah hadir secara formal. Ada yang bernama peradilan penghulu seperti di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Islam di Sumatera, Peradilan Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak. Namun pada waktu itu blm disusun buku hukum positif yang sistematik.
Baru pada tahun 1760 VOC memerintahkan D. W Baru pada tahun 1760 VOC memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun hukum yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Compendium ini dijadikan rujukan hukum dalam menyelesaiakan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat Islam di daerah yang dikuasai VOC.
Pemerintah kolonial memberikan peluang bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia sebagai politik hukum kolonial yang kompromis, tapi kenyataannya hukum Islam memang benar-benar berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu Van Den Berg berpendapat bahwa hukum Islam berlaku secara total di Indonesia, karena seluruh unsur-unsurnya sudah menjadi bagian dari kehidupan hukum masyarakat di nusantara ini. Pendapat ini terkenal dengan teori Receptio in Complexu.
Sesuai pasal 175 ayat (3) RR (Regerings Reglement) Staatsblad 1855:2 bahwa hakim di Indonesia hendaknya memberlakukan gods diens ivetten (undang-undang agama) dan kebiasaan penduduk. Bahkan dalam ayat 4 dinyatakan bahwa hukum agama itu harus dipakai oleh para hakim Belanda, jika perkara yang bersangkutan di bawa ketingkat banding (hoger beroep).
Dalam perkembangannya, peraturan-peraturan tersebut dilakukan perubahan secara berangsung-angsur oleh pemerintah kolonial untuk mengurangi berlakunya hukum Islam di Indonesia. Puncak berubahan yakni dengan dikeluarkannya pasal 134 ayat (2) IS (Indische Staats Regeling) yang dinyatakan bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan lain oleh Ordonansi.
Bersamaan dengan ketentuan pasal134 ayat (2) IS tersebut, telah muncul teori “Receptie” oleh Snouck Hurgronje yang isinya sama dengan pengaturan tersebut. Theorie Receptie yang sampai sekarang dirasakan besar pengaruhnya terhadap pola pikir Sarjana Hukum di Indonesia, yang tentunya sebagian besar beragama Islam.
Setelah Indonesia merdeka dan berlaku UUD 1945, Indische Staats Regeling (IS) digantikan fungsinya oleh UUD 1945 yang sekaligus mengakhiri berlakunya theorie Receptie. Menurut Prof. Hazairin Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam UI, sejak proklamasi itulah theorie Receptie sebagai teori “iblis” secara konstitusional tidak berlaku lagi di dalam tata hukum di Indonesia.
Berdasarkan pasal 29 UUD 1945 yang dijiwai oleh semangat “Piagam Jakarta”, kedudukan hukum Islam diakui keberadaannya di dalam sistem hukum di Indonesia. Ini sejalan dengan pemikiran Hazairin bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat di dalam pembukaan UUD 1945 dan dijadikan garis hukum dalam batang tubuh UUD 1945 tersebut dijiwai oleh “Piagam Jakarta”.
Ketentuan pasal 29 ayat (1) UUD 1945 “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, itu hanya terdapat enam kemungkinan penafsiran. Tiga di antaranya yang berhub dengan bahasan ini sebagai berikut: Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, kaidah-kaidah Nasrani bagi umat Nasrani, kaidah-kaidah Hindu bagi umat Hindu dst.
2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, syariat Hindu bagi orang Hindu, syariat Budha bagi orang Budha, yang sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. 3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, setiap pemeluknya wajib menjalankan sendiri.
Kebijakan pemerintah republik Indonesia sejak tahun 1945 bertujuan untuk mencapai kepastian hukum Islam. Namun, Pemerintah Republik Indonesia tidak memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama. Sebaliknya pemerintah Republik Indonesia ingin mencabut dan membatasi wewenangnya.
Kepastian hukum Islam dimulai dengan UU No. 22 tahun 1946 Kepastian hukum Islam dimulai dengan UU No. 22 tahun 1946. UU tersebut mengatur pencatatan nikah, talak, dan rujuk untuk orang Islam dan mencabut peraturan perundangan Belanda yang tidak jelas. Selain itu UU No. 22 tahun 1946 mengandung jadwal penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Di samping itu, Pasal 35 ayat (2) UU No Di samping itu, Pasal 35 ayat (2) UU No. 19 tahun 1948 menyatakan, perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri atas seorang Hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
Setelah Indonesia merdeka, walau aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori Receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Hazairin menyebut teori Receptie ini sebagai teori Iblis Hazairin menyebut teori Receptie ini sebagai teori Iblis. Berdasarkan pendapatnya ini, Hazairin mengembangkan teori yang disebutnya teori Receptie Exit. Pokok-poko pikiran Hazairin adalah: Teori Receptir telah patah, tdk berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945.
Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat (1) maka negara Republik Indonesia berkewajiban, membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya hukum Agama. Negara mempunyai kewajiban kenegaraan untuk itu. Hukum agama yang masuk yang menjadi hukum nasional Indonesia bukan hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di bidang hukum perdata diserap dan hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia.
Di samping Hazairin, ada seorang tokoh yang menentang juga teori Receptie yaitu Sayuti Thalib yang menulis buku Receptie a Contrario; Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Teori ini mengandung pemikiran bahwa, “hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam”. Melalui teori ini jiwa pembukaan dan UUD 1945 telah mengalahkan pasal 134 ayat (2) Indische Staats Regeling itu.
Menurut Ismail Sunny setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku sebagai dasar negara kendati tanpa memuat tujuh kata dari Piagam Jakarta maka teori Receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar hukumnya. Selanjutnya hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam sesuai dengan pasal 29 UUD 1945. era ini di sebut Sunny sebagai periode Penerimaan Hukum Islam sebagai sumber Persuasif (Persuasive source).
Dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekret Presiden RI 5 Juli 1959, maka era ini dapat dikatakan era penerimaan Hukum Islam sebagai sumber Otoritatif (authoritative source). Sehingga sering kali disebut bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.
Kata menjiwai bisa bermakna negatif dalam arti tidak boleh dibuat perundang-undangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Secara positif maknanya adalah pemeluk-pemeluk yang beragama Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam. Untuk itu diperlukan undang-undang yang akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum Nasional.