Transmisi Digital Pita Dasar
Kenapa harus menerapkan transmisi digital? Memiliki kekebalan lebih baik terhadap: noise kanal, interferensi & distorsi Memiliki proses Regeneratif Data Mampu dikodekan dengan laju error sangat kecil. Mudah beradaptasi dengan kanal yang berbeda karakter
Definisi Transmisi Digital Pita Dasar adalah pengiriman informasi digital melalui kanal komunikasi tanpa modulasi.
Blok Sistem Transmisi Digital pita dasar
Format Transmisi & Penerima Digital Pita Dasar
Contoh Format 1: Pesan, Karakter & Simbol 8 -ary
Contoh Format 2: Pesan, Karakter & Simbol 32 -ary
Karakteristik Transmisi Digital Pita Dasar Mentransfer deretan bit 0 dan 1 dari sisi pemancar ke sisi penerima. Memiliki laju transmisi dinyatakan dengan bit rate (bps). Kemampuan kanal untuk mentransfer frekuensi yang dinyatakan sebagai fungsi penguatan (gain) terhadap frekuensi Adanya perubahan bandwidth kanal
Fakta terkait Transmisi Digital Pita Dasar Setiap kanal memiliki bandwidth yang terbatas. Semakin tinggi data rate, maka durasi pulsa digital akan semakin pendek, maka semakin lebar bandwidth yang digunakan. Perubahan sinyal yang semakin cepat, maka spektrumnya akan melebar sehingga bandwidth juga akan melebar.
Ilustrasi sistem Pulsa keluaran yang diharapkan Pulsa keluaran Jika B=2*1/T Pulsa keluaran Jika B=1*1/T Kanal Transmisi dengan Bandwidth B Pulsa keluaran Jika B=(1/2)*1/T Pulsa keluaran Jika B=(1/4)*1/T Pulsa keluaran akan semakin terdistorsi bila bandwidth kanal transmisi semakin kecil
Dampak bandwidth transmisi sangat kecil Kanal Transmisi dengan Bandwidth B = (1/4)*1/T Inter symbol interference (ISI) Dampak bandwidth transmisi sangat kecil ISI akan menyebabkan kesalahan pendeteksian sinyal di penerima (bit ‘0’ bisa disangka bit ‘1’) dan sebaliknya.
Dampak bandwidth transmisi diperbesar Kanal Transmisi dengan Bandwidth B = 2*1/T Dampak bandwidth transmisi diperbesar Transmisi data dengan rate tinggi harus menggunakan kanal transmisi yang bandwidth-nya lebar supaya efek ISI tidak terasa.
Simbol Rate & Bit Rate Simbol-simbol berbentuk pulsa sebagai representasi informasi. (a) (b) (a) : 4 simbol yang digunakan untuk merepresentasikan 2 bit informasi (b) : penggunaan simbol di dalam mengirimkan deretan bit 011011000110
Hubungan antara bit rate dengan jumlah simbol rate adalah sbb: Secara umum, “jumlah simbol (M) ditentukan oleh jumlah bit informasi (k) yang diwakilinya”, yaitu: M = 2k Hubungan antara bit rate dengan jumlah simbol rate adalah sbb: Bit rate = r log2 M [bps] Contoh: jumlah simbol ada sebanyak M = 2k = 22 = 4; r =1, maka bit rate = r log2 M = r log2 4 = 2 bps, Ingat log2 2n = n Nilai baud rate bisa lebih kecil daripada bit rate Jadi, kita bisa terus menaikkan bit rate dengan cara menambah jumlah simbol (dengan kata lain memperbanyak jumlah bit yang dibawa oleh satu simbol).
Proses Digitalisasi Sinyal Analog Pencuplikan (Sampling) Kuantisasi Pengkodean (Encoding)
Pencuplikan (Sampling) Definis: Proses pengambilan beberapa sampel dari sinyal kontinu masukan oleh sinyal pencupliknya. Sebagai tahap awal proses untuk mengubah sinyal kontinu ke digital Aturan yang baku terkait proses sampling ini adalah “Kaidah Nyquist”, yaitu: 𝑓 𝑠 ≥ 2𝑓 𝑚
Bentuk pencuplikan
Frekuensi pencuplik ( 𝒇 𝒔 ) Representasi sinyal pencuplik dinyatakan oleh sebuah unit sinyal impuls 𝑥 𝛿 (𝑡) yang dinyatakan oleh:
Proses pencuplikan (dalam domain waktu) 𝒇 𝒎 𝒙(𝒕) X 𝒙 𝜹 (𝒕) 𝒇 𝒔 𝒙 𝒔 (𝒕)
Proses pencuplikan (dalam domain frekuensi) 𝒇 𝒎 X 𝒇 𝒔 𝒙 𝒔 (𝒇)
Aliasing 𝑓 𝑠 < 2 𝑓 𝑚 , akan terjadi aliasing yang menghasilkan spektrum overlap)
Tipe Pencuplikan Pencuplikan Ideal Pencuplikan Natural Pencuplikan Rataan (Flat Top)
Pencuplikan Ideal Prosesnya: Domain Waktu Domain Frek.
Pencuplikan Natural Prosesnya:
Pencuplikan Rataan (Flat Top) Proses konvolusi sinyal hasil pencuplikan ideal dengan sebuah amplitude pulsa rectangular merupakan teknik pembangkitan pencuplikan flat top Teknik ini digunakan untuk merealisasikan operasi sample and hold (S/H)
Prosesnya: Time Domain
Prosesnya:
Contoh soal: Tentukan laju Nyquist dari persamaan sinyal berikut ini: a. b.
To be cont…
Format sinyal line coding Bit stream Unipolar NRZ Polar RZ/NRZ Unipolar RZ Bipolar RZ Split-Phase /Kode Manchester
Split-phase/ Kode Manchester Unipolar RZ: Komponen DC tdk mengandung inormasi, daya tak terpakai NRZ; memiliki lebih energi per bit & sinkronisasi lebih sulit. Polar RZ (NRZ): Tidak ada komponen DC jika ´0´ & ´1´ persis sama (simetris) Bipolar NRZ Tidak ada komponen DC Split-phase/ Kode Manchester Komponen DC terpisah dari deretan pesan yang ditransmisikan Proses sinkronisasi lebih sederhana Memiliki bandwidth lebar
Pengiriman simbol rate Level sinyal maksimum selalu terbatas Pengiriman simbol rate 4 level simbol 4 level simbol noise Note: Semakin banyak jumlah simbol, deteksi simbol semakin sulit dilakukan dan pengaruh noise akan semakin signifikan mengganggu (bisa menyebabkan perubahan level simbol)
KAPASITAS KANAL TRANSMISI Noise memunculkan error pada komunikasi digital Ukuran noise relatif terhadap sinyal dinyatakan oleh “S/N (Signal to Noise Ratio)”. S/N biasanya dinyatakan dalam decibel: (S/N)dB = 10 log (S/N) [dB]
Pada tahun 1948, Claude Shannon, “mempublikasikan suatu kajian mengenai data rate maksimum teoritis pada kanal komunikasi yang terganggu noise” Dengan mempertimbangkan sekaligus bandwidth dan noise, Shannon menyatakan bahwa “error-free bit rate (bit rate yang tidak mengakibatkan error) pada suatu kanal transmisi tidak dapat melebihi kapasitas maksimum C”.
Dimana: Secara matematis, C dinyatakan oleh: C = B log2(1+S/N) C = Data rate informasi maksimum dalam satuan bit per detik B = bandwidth dalam satuan Hertz S = daya sinyal N = daya noise S/N = Signal-to-noise ratio, dinyatakan dalam perbandingan daya (bukan dalam dB)
Contoh kasus : Misalkan suatu kanal transmisi yang bebas noise memiliki bandwidth 4 kHz. Maka symbol rate maksimum pada kanal tersebut adalah r ≤ 2B = 8 kbauds. Bila kanal di atas digunakan pada suatu lingkungan yang mengandung noise dengan S/N sebesar 28 dB (bila dinyatakan dalam bentuk perbandingan S/N = 102,8 ≈ 632, maka maksimum bit rate menurut Shannon kapasitas kanal transmisi sebesar: C = B log2(1 + S/N) = 4.000 log2(633) = 37.2 Kbps (Agar batas kapasitas kanal tidak terlampaui, maka jumlah bit persimbol yang diijinkan untuk ditransmisikan pada kanal di atas adalah 4 )
LINE CODING Line coding merupakan metoda untuk merubah simbol dari sumber ke dalam bentuk lain untuk ditransmisikan. Line coding merubah pesan-pesan digital ke dalam deretan simbol baru (ini merupakan proses encoding). Decoding bekerja kebalikannya yaitu merubah kembali deretan yang sudah dikodekan (encoded sequence) menjadi pesan aslinya Sistem yang menggunakan line coding tetapi tidak melibatkan modulasi disebut sistem transmisi baseband Spektrum hasil pengkodean tetap berada di dalam rentang frekuensi pesan asli
Tujuan Line Coding Merekayasa spektrum sinyal digital agar sesuai dengan medium transmisi yang akan digunakan. Untuk proses sinkronisasi antara pengirim dan penerima. Untuk menghilangkan komponen DC sinyal (sinyal dengan frekuensi = 0 Hz) ( Komponen DC tidak mengandung informasi apapun tetapi menghamburkan daya pancar ). Untuk menaikkan data rate & pendeteksian kesalahan.
Sistem proses line coding Contoh di atas menunjukan setiap 2 bit data dikodekan ke dalam 4 level simbol, sehingga bit rate akan menjadi “dua kali dari bit baud rate”.
Line Coding & Spectral Channel
List Simulasi MATLAB: (menampilkan spektrum data transmisi baseband clf ANRZ =1; T =1; f =-20:.05:20; SNRZ =ANRZ^2*T*(sinc(T*f)).^2; areaNRZ = trapz(f, SNRZ) ASP = 1; SSP = ASP^2*T*(sinc(T*f/2)).^2.*(sin(pi*T*f/2)).^2; areaSP = trapz(f, SSP) AURZ = 2; SURZc = AURZ^2*T/16*(sinc(T*f/2)).^2; areaRZc = trapz(f, SURZc) fdisc = -40:1:40; SURZd = zeros(size(fdisc)); SURZd = AURZ^2/16*(sinc(fdisc/2)).^2; areaRZ = sum(SURZd)+areaRZc APRZ = sqrt(2); SPRZ = APRZ^2*T/4*(sinc(T*f/2)).^2; areaSPRZ = trapz(f, SPRZ) ABPRZ = 2; SBPRZ = ABPRZ^2*T/4*((sinc(T*f/2)).^2).*(sin(pi*T*f)).^2; areaBPRZ = trapz(f, SBPRZ) subplot(5,1,1), plot(f, SNRZ), axis([-5, 5, 0, 1]), ylabel('S N R Z(f)') subplot(5,1,2), plot(f, SSP), axis([-5, 5, 0, 1]), ylabel('S S P(f)') subplot(5,1,3), plot(f, SURZc), axis([-5, 5, 0, 1]), ylabel('S U R Z(f)') hold on subplot(5,1,3), stem(fdisc, SURZd, '^'), axis([-5, 5, 0, 1]) subplot(5,1,4), plot(f, SPRZ), axis([-5, 5, 0, 1]), ylabel('S P R Z(f)') subplot(5,1,5), plot(f, SBPRZ), axis([-5, 5, 0, 1]), xlabel('Tf'), ylabel('S B P R Z(f)')
See you next week.....