MEKANISME AGING OLEH: FIKRI FAHRUROJI.

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
Respon imun terhadap infeksi penyakit
Advertisements

Teknologi-teknologi yang mendasari bioteknologi
APOPTOSIS & NEKROSIS MARHENY.
DNA (Gene) Rearrangement
Matrissya Hermita Biopsikologi UG
IMMUNOLOGI Antibodi.
KEMATIAN SEL drh. Herlina Pratiwi.
Imunitas Selular dan Humoral
PENUAAN SEL.
Tiga dari hal2 yg ada dibawah ini terdapat pd klien
ASSALAMU ALAIKUM WW. 1.
Manipulasi Respon Imun Vaksin Polio
RADANG = INFLAMASI HERU SWN.
HORMON Suwandito,dr,MS.
Limfosit dan Jaringan Limfoid.
ERYATI DARWIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RESPON IMUN SEL IMUNOKOMPETEN.
Tumor Immunology Seminar Biologi FKUI, 2005 oleh Rosila Idris Departement Biologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonsia Salemba 6, Jakarta.
Fisiologi dan mekanisme respon imun adaptif
BAB 11 Sistem Imun.
SANTI KARTIKASARI,dr SISTEM IMUNITAS.
Respons Efektor Humoral dan Cell – Mediated, Inflamasi Dr. Fedik A
RESPONS IMUN ALAMIAH ADAPTIF HUMORAL SELULAR HUMORAL SELULAR KOMPLEMEN
Fagositosis Inflamasi Sel-sel yang berperan dalam respon imun
SISTEM PENGATURAN SUHU
Sistem Pertahanan Tubuh
Public Health Department Universitas Padjadjaran
Imunitas humoral Yang bertanggung jawab: sel limfosit B (Bursa fabicus/Bone) Sel B membawa antibodi pada permukaan selnya, juga dapat mengeluarkan antibodi.
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
PENGANTAR BIOLOGI MOLEKULER
Perkembangan Fisik dan Kognitif Masa Dewasa akhir
SISTEM IMUNOLOGI BY. WINDA ELSA
TUGAS BIOLOGI DASAR MANUSIA ELMA SURYANI PANE NIM :151362
Major Histocompatibility Complex (MHC)
Imunologi DISUSUN OLEH: MILA ASTASIA TINGKAT: 1A.
Dr. Henny Saraswati, M.Biomed
Dr. Henny Saraswati, M.Biomed
RESPON IMUN ALAMI (NON SPESIFIK)
“(SISTEM PERTAHANAN TUBUH)”
PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS
PENUAAN SEL Oleh Dr. Hasnar Hasjim.
Assalamualaikum wr.wb.
Wulandari, M.Sc., Apt. Pengantar imunologi.
RESPON IMUN.
MENGAPA PERLU PELAJARI GENETIKA?
KONSEP DASAR KEPERAWATAN GERONTIK
Lisa Andina, S.Farm, Apt. RESPON IMUN SPESIFIK.
KONSEP DASAR IMUNOLOGI
Penangkapan dan presentasi antigen ke limfosit
Idiopatik Diabetes Mellitus (DM)
Imunologi Oleh: Irene Katrin 1A AKBID ALIFAH PADANG.
Dr. Henny Saraswati, M.Biomed
Senjata Cerdas Manusia : “ANTIBODY”
Sistem Kekebalan Tubuh
BAB 11 SISTEM IMUN.
RESPON IMUN PADA LANSIA Anugrah Novianti, SGz, M.Gizi
BIOLOGI SEL.
SISTEM PENGATURAN SUHU
Proses Menua dan Implikasi Klinik
Biologi Sel Kanker.
IMUNOPROFILAKTIK (Tujuan Imunisasi, Imunisasi Aktif)
Kemampuan Patogen Menghindari Respon Imun
Teknologi-teknologi yang mendasari bioteknologi
Sistem Kekebalan Pada Manusia.
ADAPTASI A. Pengertian Sistem Kekebalan Tubuh Sistem kekebalan tubuh atau sistem imun adalah sistem perlindungan dari pengaruh luar biologis yang dilakukan.
IMMUNOLOGY ALLERGIC AND AUTOIMMUNE RESPONSES OF FISH Nn. K. D. Rahalus, S.Pd, M.Si.
BAB 11 SISTEM PERTAHANAN TUBUH
ANTIBODI MONOKLONAL Maya Ekaningtias, S.Si.,M.Biotech.
ANTIBODI MONOKLONAL Nikman Azmin, M.SI. ANTIBODI : Protein yang diproduksi limfosit (sel plasma) sebagai hasil stimulasi suatu antigen yang selanjutnya.
MAGNESIUM INFLUENCE ON STRESS AND IMMUNE FUNCTION IN EXERCISE OLEH : FAQIHATIN AFIFA HENU BEY PUTRI A NIKEN WENING
Transcript presentasi:

MEKANISME AGING OLEH: FIKRI FAHRUROJI

TEORI EVOLUSI TENTANG AGING Teori evolusi dalam aging mencoba menjelaskan kenapa manusia tidak hidup abadi, dan mencari alasan terhadap fenomena variasi life span antar spesies. Pada proses penuaan terjadi penurunan kekuatan seleksi alam. Selain itu, terdapat sejumlah gen yang bermanfaat pada awal kehidupan, tetapi membahayakan pada kehidupan berikutnya (pleitropik). Terdapat dua model teori evolusi yang berkaitan dengan aging. Pertama, model akumulasi mutasi dan genetic drift memicu late-acting gen berbahaya. Model kedua adalah adanya gen pleitropik yang menentukan eksistensi generasi berikutnya.

J.B.S. Haldane, meneliti mutasi dominan penyebab penyakit Huntington’s yang tetap bertahan di dalam populasi, dengan kata lain tidak dieleminasi oleh seleksi alam. late-acting penghilangan mutasi dapat terakumulasi di dalam populasi selama proses evolusi melalui mekanisme genetic drift. Keterlambatan late-acting penghilangan mutasi dianggap sebagai penyebab mortalitas yang berhubungan dengan proses penuaan.3 Teori akumulasi mutasi pada aging diungkapkan juga oleh P. Medawar (1952). Melemahnya seleksi alam dengan bertambahnya usia –ditandai oleh populasi imortal- terjadi hanya apabila telah terpapar oleh bebagai penyebab mortalitas seperti predator, penyakit, dan bencana.

Berdasarkan teori ini, spesies yang yang memiliki mortalitas ekstrinsik sangat tinggi akan lebih cepat menua sehingga life span-nya pun pendek. Hal ini disebabkan oleh terlalu sedikitnya waktu untuk menghilangakan mutasi sebelum terjadi kematian akibat mortalitas ekstrinsik. Korelasi antara ukuran tubuh dengan life span spesies, yaitu yang bertubuh besar lebih mampu bertahan hidup daripada yang bertubuh kecil. Ukuran tubuh itu sendiri menunjukkan kekuatan dalam menghadapi predatornya, sehingga dapat dikatakan bahwa yang bertubuh besar mortalitas ekstrinsiknya lebih kecil.

Sebagai contoh, bayangkan spesies dengan rata-rata longevity-nya dua tahun (gambar 1). Dipastikan hanya sedikit manfaat evolusi dalam tingkat gen pada usia sepuluh tahun karena hanya sedikit fraksi (± 3%) populasi yang dapat mencapi usia tersebut. Sebaliknya, gen yang bermanfaat pada usia satu tahun akan terseleksi oleh evolusi. Dengan alasan yang sama, gen yang membunuh organisme pada usia 20 tahun pun berefek kecil terhadap organisme (± 0,08%). Jadi, generasi muda lebih berkontribusi terhadap pembentukan generasi baru daripada generasi tua, dan kekuatan seleksi alam pun melemah seiring dengan penambahan usia, sehingga dimungkinkan eksisnya late acting gen berbahaya.3

Gambar 1: Kurva ketahanan hidup yang menunjukkan presentase organisme pada rentang usia.3

Stochastic Theory

Aging Hilangnya struktur & fungsi sel-jaringan akibat injury seiring bertambahnya usia, terjadi sangat lambat dan dalam jumlah sangat kecil (akumulasi) —> wear & tear

Mekanisme kematian sel Inadekuat transport nutrien essensial Kegagalan mengeluarkan produk sisa/sampah Perubahan kerja enzim intraseluler Transmisi informasi genetik (DNA, RNA, sintesis protein)

Error-Catastrophe Theory Mengacu pada “error” DNA, RNA, dan sintesis protein Produk protein abnormal produk atau kemampuan degradasi

Mutasi Somatik & DNA repair Akurasi replikasi DNA —> ≠ 100% (error 10-9) —>perubahan/kerusakan DNA o/ konstituen selluler (oksigen aktif). Organisme yg hidup mempunyai kemampuan utk memperbaiki kerusakan DNA tsb.

Kerusakan DNA Deaminasi basa2 pd DNA (C mgalami deaminasa mjd U, A mjd hypoxantine, G mjd xantine) Depurinasi; pembukaan ikatan glycosyl dg purin, yg selanjutnya berikatan dg backbone (2000-10.000 purin suatu sel hilang dlm 24 jam) —> abasic or AP site Oksidasi oleh oksigen reaktif —> perubahan basa2 DNA Radiasi UV matahari Procarcinogens —> aktif o/ proses metabolik.

Mutasi Perubahan sikuens DNA yg diwariskan (keturunan): Point mutations, transitions. Missense mutations Nonsense mutations Frameshifts Triplet expansion

Excision Repair Mekanisme umum utk memperbaiki bergabai jenis kerusakan DNA: Base excision repair Nucleotide excision repair —> Xeroderma Pigmentosum Coupling of repair and transcription —> repair tjd lebih cepat drpd pembentukan lesi. Mismatch repair

Blok Replikasi oleh adanya Lesi Daughter-Strand Gap Repair Bypass Synthesis Double-Strand Break Repair

Impair enzymatic protection Free Radicals Theory Free Radicals terbentuk scr normal dlm metabolisme seluler (superoxide anion, hydrogen peroxide, hydroxyl radicals) —> reaktifitas tinggi thd komponen sekitar (lipid, protein, DNA sel) Protective enzymes —> mencegah kerusakan Impair enzymatic protection Aging-assosiated: alteration in growth (cancer), transport (atherosclerisis), cognitive processes (dimentia)

The Cross-Linking Theory Peningkatan usia —> penurunan elastisitas pemb darah, kulit & tendon Pembentukan cross-links dari nukleoprotein & enzim dengan atau antar molekul kolagen (protein ekstraseluler) —> mengurangi active site utk reaksi kimia.

AGING CHANGES IN ORGANS AND SYSTEMS Immunity and Senescence There is a progressive quantitative and qualitative diminution in the capacity to produce antibodies. There is a commensurate tendency for aggregates of lymphocytes to appear in the bone marrow and other sites, and an increase in the development of autoimmune reactions and diseases. There is a profound decline in T-lymphocyte function with age. Neuroendocrine Senescence age-related development of hypertension possibly related to increased sympathetic system activity impaired glucose intolerance diminished thyroid function decline in gonadal function The Brain and Senescence selective loss of isolated neurons no evidence that the function of the brain significantly deteriorates with aging benign senescent forgetfulness vs. dementia

Aging and the Cardiovascular System diminished heart rate cardiac output is maintained by adaptive mechanisms such as cardiac dilatation and greater stroke volume isolated cardiac muscle appears to suffer little age dependent change in function progressive rise in basal systolic blood pressure, possibly due to a loss of compliance of the aorta and major arteries with age Aging and the Kidney progressive decrease in renal blood flow and glomerular filtration rate as much as a 40% reduction in renal function in older persons Aging and the Lungs less elastic and compliant with aging tend to become expanded secondary to qualitative changes in elastin and collagen

Aging and Body Composition loss in muscle and bone mass, accompanied by an increase in fat mass elderly who remain physically active have only moderate loss of skeletal muscle, mainly type II "fast twitch" fibers ligaments and tendons stiffen bone loss occurs in almost all postmenopausal women and elderly men magnitude of bone loss is dependent on physical activity, nutrition, and hormonal changes Aging and Other Systems liver mass decreases with age, as does hepatic blood flow loss of melanocytes in hair follicles skin changes: thinning, random decrease in melanocytes, atrophy of subcutaneous fat, and loss of elasticity and wrinkling

THEORIES OF AGING DEVELOPMENTAL GENETIC THEORIES Longevity gene Accelerated aging syndrome Neuroendocrine theory Celullar senescence

Longevity gene Diyakini terdapat beberapa gen yang mengontrol faktor-faktor penyebab reaksi aging. Faktor-faktor penyebab tersebut dipengaruhi oleh : - lingkungan - stress - diet

Hasil-hasil penelitian (1) Cohen th 2004 - SIRT1 melakukan proses deasetilasi terhadap faktor DNA repair yaitu Ku70 - Ku70 diketahui berfungsi dalam proses regulasi lokalisasi protein Bax. - SIRT1 menghambat kematian sel yang diinduksi oleh apoptosis (stress induced apoptotic cell death) - Proses deasetilasi dapat menyebabkan peningkatan life span dengan mempromosi kemampuan hidup sel- sel yang bersifat irreplaceable. - Tahap penting dari proses apoptosis yang diinduksi oleh stress adalah adanya relokalisasi protein Bax .

Hasil-hasil penelitian (2) SIRT1 dan KU70 bekerja sama dalam proses determinasi suseptibilitas sel terhadap apoptosis akibat stress. Dengan menggunakan sel yang meng-overexpresi SIRT1, Cohen menemukan bahwa Bax yang memediasi apoptosis disupresi dan dengan sel yang tidak mengekspresikan SIRT1, jumlah sel yang mengalami mediasi oleh Bax meningkat. Dengan mengetahui SIRT1 melakukan deasetilasi, Cohen membuat hipotesa bahwa SIRT1 mengasetilasi KU70. KU70 mengalami deasetilasi pada 2 gugus L ysin di atom C terminal yang penting untuk regulasi Bax protein.

Hasil-hasil penelitian (3) Berdasarkan penelitian Cohen didapatkan pemahaman bhw proses reduksi kalori menstimulasi produksi SIRT1 berinteraksi dengan Ku70 bersama-sama SIRT dan Ku70 meregulasi proses lokalisasi protein Bax mendeterminasi suseptibilitas sel dalam programmed cell death

Teori Neuroendokrin (1) Dikemukakan pertama kali oleh Vladimir Dilman dan Ward Dean dengan mengelaborasi teori wear and tear. Merupakan proses kompleks yang melibatkan proses biokimiawi dalam pengaturan penglepasan hormon-hormon oleh hipotalamus Hipotalamus mengontrol berbagai reaksi berantai yang memerintahkan organ-organ dan kelenjar lain untuk melepaskan hormon. Hipotalamus juga berrespon terhadap kadar hormon tubuh sebagi guide bagi seluruh aktifitas hormonal

Teori Neuroendokrin (2) Semakin bertambah usia, terjadi gejala-gejala sbb: kemampuan regulasi hipotalamus semakin berkurang dan reseptoryang menguptake hormon menjadi kurang sensitif. sekresi berbagai hormon menurun dan efektifitasnya berkurang dalam mengupteke hormon. Terjadi penurunan kemampuan regulasi hipotalamus disebabkan oleh hormon kortisol (disekresi oleh kel adrenal) yang juga menjadi penyebab stress. Karena kortisol merusak hipotalamus, semakin lama menjadi lingkaran vicious yang terus merusak.

Teori Neuroendokrin (3) Kerusakan hipotalamus menimbulkan ketidakseimbangan akibat hilangya kemampuan dalam mengontrol sistem. Penggunaan kortisol adjuster (DHEA atau phenitoin) diduga dapat membantu memperlambat proses akumulasi kortisol Dimasa mendatang,terapi sulih hormon (hormone replacement) adalah berupa pemberian hormon hipotalamus.

TEORI RADIKAL BEBAS Pertama kali dikemukakan oleh Denham Harman, mengacu pada berbagai molekul yang memiliki elektron bebas yang menyebabkan timbulnya reaksi yang destruktif terhadap molekul normal. Elektron ekstra menimbulkan kelebihan muatan negatif. Ketidakseimbanganenergi menyebabkan radikal bebas berikatan dengan molekul lain yang balance untuk mengambil elektron. Radikal bebas diproduksi secara natural oleh tubuh, terutama oleh mitokondria.

Teori Penyimpangan Mitokondria Mitokondria mrp organel penting dalam mencegah dan memperlambat aging, terutama dalam proses perbaikan jaringan, jika mitokondria suatu sel rusak, maka organ maka dmk juga organnya. Pada kondisi normal mempunyai risiko terpapar oleh radikal bebas Semakin bertambah usia kerja mitokondria semakin kurang efisien, jumlahnya berkurang dan semakin bertambah besar ukurannya

Accelerated Aging Syndrome (1) Disebut syndrome X, merupakan akibat dari perubahan pola makan manusia modern yg banyak mengandung KH, yg akan memicu peningkatan kadar gula, kmd meningkatkan sekresi insulin shg akhirnya menimbulkan resistensi insulin. Resistensi insulin menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia. Reaksi jaringan terhadap peningkatan kadar insulin yang kronis, sbb: Pada jar endotel peningkatan risiko atherosklerosis, trombus, angina dan jantung koroner

Accelerated Aging Syndrome (2) Pada ovarium:peningkatan testosteron menyebabkan ovarium menjadi sensitif: polikistik ovarium sindrom Pembentukan kanker: sindrom X meningkatkan kerusakan jaringan dan prematur aging serta alzheimer Pada ginjal: menyebabkan retensi Na, retensi cairan, kmd peningkatan TD dan risiko Hipertensi.

Kematian Sel Cell Death) 1 Kematian Sel Cell Death) 1. Nekrosis  kematian sel disebabkan oleh kerusakan sel (injury). Sel yang nekrosis ditandai dengan pembengkakan sel, lisis dan melepaskan isi sel ke jaringan / antar sel (burst), bersifat toxic terhadap sel lain disekitarnya. Tahap-tahap nekrosis : kondensasi khromatin  pembengkakan organel  mitokhondria flocculent (menggerombol)  sel mengalami disintegrasi dan disorganisasi.

Nekrosis menyebabkan terjadinya inflamasi : respon berupa rangkaian kejadian pada organ/jaringan disebabkan oleh kerusakan sel (luka atau invasi patogen). Tanda-tanda inflamasi : rubor  memerah tumor  membengkak kalor  panas dolor  sakit  functio lacea  kehilangan fungsi

2. Apoptosis = programmed cell death kematian sel untuk mengontrol suatu sistem (tubuh) tetap dalam keadaan fisiologis  homeostasis. Populasi sel dalam organ/jaringan harus dijaga agar tetap konstan, sehingga organ tsb dapat berfungsi dengan baik (fisiologis)  pembelahan sel secara kontinu harus diimbangi dengan eliminasi sel dibagian lain. Sel mengalami apoptosis karena mendapat informasi berupa stimulasi fisiologis dan prosesnya diatur oleh gen yang berperan mengatur proses tersebut. Apoptosis tidak ditandai disintegrasi & disorganisasi organel dan tidak menyebabkan inflamasi.

Pada jaringan normal apoptosis terjadi dengan frekuensi sangat kecil, tetapi dapat juga terjadi apoptosis masal (massive apoptosis) spt pada atrofi organ/struktur ttt pada embrio, degenerasi/regresi tumor dll. Mikroskopi apoptosis : Sitoplasma mengkerut (shrinkage)  nukleus piknotik (kondensasi khromatin pada membran nukleus)  fragmen sel mengandung organel yg tetap berfungsi (apoptotic bodies)  apoptotic bodies difagosit oleh sel-sel histiosit atau sel-sel fagosit lain.

Perubahan molekuler apoptosis : Apoptosis diawali fragmentasi DNA genom. DNA terputus pada linker yang memisahkan nukleosom secara random  menghasilkan beberapa oligonukleosom  pada elektroforesis DNA apoptotic membentuk gambaran ladder. Fragmentasi DNA apoptosis bersifat irreversibel  tidak dapat direpair  sel akan mati. Penelitian apoptosis : - Perkembangan embrio  metamorfosis larva, fusi palatum, dll. - Atrofi karena destimulasi hormon  atrofi prostat, endometrium, kortex adrenal, dll. - Sistem imun  delesi klon sel T reaktif terhadap self antigen dlm timus, K & NK target cells, dll.

TEORI IMUNOLOGI REVIEW Aging secara biologi: konsekuensi bertambahnya usia pada organisme  perubahan konstan selama hidup. Perkembangan: perubahan konstan mulai sejak berkembangnya fungsi biologis hingga adaptif  akhirnya senescence. Pada senescence  perubahan fisiologi  homeostenosis.

Imunosenescence Imunosenescence  berhubungan dengan ↑ frekuensi infeksi dan neoplastik? Dipastikan ada hubungan antara usia dengan perubahan sistem imun  misal pada limfositik leukemia kronik: terjadi klonal limfosit pada organ limfoid. Aging  involusi timus  ↓ limfosit B dan T.

Aging  ↓ produksi sel T limfosit naif  ↓ imunitas seluler dan humoral. Aging  ↑ interleukin (IL-4 & Il-6)  sedangkan IL-2 ↓. Imunosenescence  ??? ↑ jumlah, distribusi, dan aktivitas subset limfosit/antibodi/sitokin sesuai dengan pertambahan usia. Jadi, Imunosenescence: disregulasi sistem imun.

Lymphosite subsets are defined by clusters of differentiation antigens expressed on the surface of lymphocyte Leucocyte common antigen CD45 γδ T cell receptor TCR-γδ Cortical thymocytes some B cells CD1 Mature γδ T cells γδT19 All T cells CD5 All cells in most species MHC Class I T Helper cells CD4 B cells and activated T cells MHC Class II T cytotoxic cells CD8

Aging terhadap Perkembangan Timosit & Limfosit T Involusi timus: mulai saat maturasi sex hingga usia 50th  ↓ timosit ~ dengan penyakit. Involusi timus menunjukkan: (1) ↓ timosit; (2) ↓ hormon sex; (3) ↓ prekusor timosit; (4) gangguan ekspresi gen TCR β; (5) ↓ produksi IL-7

Aging terhadap Limfosit T Perifer Meskipun menua, limfosit T perifer tetap  karena life span & self renewel-nya (involusi terjadi, klonal terjadi namun lambat). Pada repersoar limfosit T: antigen  respon sel memori  klonal naif sel. Aging  ↓ naif T sel  ~ ↓ repersoar limfosit T. ↑ rasio subset CD4+ / CD8+  rasio sel limfost naif terhadap sel T memori  ekspresi CD45RA/CD45RO. Sel limfosit memori > sel limfosit T naif  produksi sitokin dan aktivatornya berbeda.

Aging terhadap Perkembangan Limfosit B Studi flow cytometri  ? pengaruh usia  ↓ prekusor sel limfosit B di bone marrow. Involusi bone marrow limfoid setelah involusi timus. Aging  defek transisi pro-B menjadi pre-B limfosit  ~ reseptornya (kompleks 3 protein: Ig rantai berat, l5, and VpreB)  apoptosis di bone marrow .

Aging  terganggunya penyusunan gen rantai berat pro limfosit B  ↓ produksi sel limfosit B. Limfosit B perifer tetap  life span & kapasitas self-renewal. ↓ imfosit B naif  diversitas repersoar  limfosit B  aging.

Aging terhadap Subset Limfosit B Perifer 2 subset limfosit B  bergantung ekspresi CD5+  rekombinasi saat germ line. Aging  lebih dominan respon CD5+ (↓ CD5-) terhadap antigen  kuatnya respon antibodi pada lansia. Jika diimunisasi antigen  ↓ antibodi terhadap CD5-

Aging terhadap Antibodi Alami & Induksi ↓ titer antibodi terhadap aglutinogen A & B  efek aging. Respon antibodia lansia terhadap vaksin < individu muda. Masih ada antibodi yang bertahan pada lansia  misal terhadap antigen pneumokokokus  proteksinya lemah  perlu revaksinasi.

Produksi antibodi berafinitas tinggi di germinal centers (GCs)  dipengaruhi mutasi somatik dan switching  ekspansi klonal. Aging  ↓ jumlah dan ukuran GCs  ↓ fungsi antibodi. Pada manusia Ig serum tetap level-nya , kecuali Ig D. Sebaliknya, ↓ Ig  ↑ autoantibodi. Autoantibodi organ spesifik  penyakit kronik  ↓ ketahanan hidup. cross wiring’  hilangnya spesifitas resmon imun terhadap sejumlah antigen  ↓ rasio CD5-/CD5+ ~ aging.

Penyakit autoimun selama aging tidak meningkat Penyakit autoimun selama aging tidak meningkat? Autoantibodi  mensupresi respon imun antibodi  defisiensi imun. Limfosit T ↓  produksi antiidiotipik autoantibodi ↓  sedangkan antibodi ↑

Ekspansi Klonal Limfosit selama Aging Aging  ↓ heterogenitas respon imun  mencakup isotif, afinitas ikatan antigen, idiotif, dan ukuran serta sekuen regio variabel rantai berat Ig. Disebabkan  ↓ produksi limfosit naif pada timus dan bone marrow  serta ↓ difersivikasi sel limfosit B naif ~ mutasi somatik dan isotif switching. Jika repersoar limfosit ↓  sel limfosit memori mempertahankan jumlah limfosit melalui ekspansi klonal (↑ Ig monoklonal serum  melalui sekuensing CDR3 pada mRNA dari TCR/BCR). Ekspansi klonal limfosit berkepanjangan  diikuti limfosit malignan  limfoma dan limfositik leukemia kronik  ekspresi CD5+ (regio variabel BCR)  memicu produksi autoantibodi.

Peningkatan Proteksi Imunitas pada Lansia Imunosenescence  respon imun lansia terhadap vaksinasi. Antigen target  respon limfosit CD5+  dikirim ke organ limfoid  produksi antibodi (mukosa > limfoid sekunder). Dengan imunisasi subkutan/IM  ↑ presentasi antigen. ↓ respon lansia terhadap vaksin  perlu dosis antigen tinggi (komposisi, rute, pemberian). ??? Vaksin virus rekombinan  proliferasinya memicu respon imun  misal pada mencit  ↑ CTLs merespon HA virus influenza

T E R I M A K A S I H