Beberapa Sistem Filsafat Moral: Hedonisme, Eudemonisme, Utilitarisme, dan deontologi
Hedonisme (1) “Apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia?” Para hedonis menjawab: kesenangan (hedone) Adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita Aristippos (433-355 SM) Sudah sejak masa kecil manusia tertarik terhadap kesenangan Bila telah tercapai, ia tidak mencari yang lain lagi Kesenangan itu bersifat badani belaka karena hakikatnya tidak lain ketimbang gerak dalam badan
Hedonisme (2) Kesenangan adalah kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang Kesenangan badani, aktual, dan individual Manusia harus membatasi diri pada kesenangan yang diperoleh dengan mudah dan tidak perlu mengusahakan kesenangan dengan susah payah serta bekerja keras
Hedonisme (3) Epikuros (341-270 SM): “Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa.” Kesenangan rohani itu hanyalah bentuk yang diperhalus dari kesenangan badani Ataraxia: ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan diri terganggu oleh hal-hal lain
Kritik terhadap Hedonisme Apakah manusia selalu mencari kesenangan? Secara logis hedonisme harus membatasi diri pada etika deskriptif (kebanyakan manusia membiarkan tingkah lakunya dituntun oleh kesenangan) dan tidak boleh merumuskan etika normatif (yang baik secara moral adalah mencari kesenangan) Hedonis berpikir bahwa sesuatu adalah baik karena disenangi, padahal yang sebenarnya terjadi adalah kita dijadikan senang karena memiliki sesuatu yang betul-betul baik Hedonisme mengandung egoisme karena hanya memperhatikan kepentingan diri saja
Penutup Hedonisme muncul lagi dalam berbagai variasi John Locke (1632-1704): “Kita sebut baik apa yang menyebabkan atau meningkatkan kesenangan; sebaliknya, kita namakan jahat apa yang dapat mengakibatkan atau meningkatkan ketidaksenangan apa saja atau mengurangi kesenangan apa saja dalam diri kita.” Hedonisme merupakan “etika implisit” yang— mungkin tanpa disadari—dianut oleh banyak individu pada saat ini
Eudemonisme (1) Aristoteles (384-322 SM): semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi (makna terakhir hidup manusia) adalah kebahagiaan (eudaimonia) Rasio atau akal budi merupakan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain Manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya Ada dua macam keutamaan: keutamaan intelektual dan keutamaan moral Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri Keutamaan moral menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam hidup sehari-hari
Eudemonisme (2) Rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan Keutamaan adalah keseimbangan antara “kurang” dan “terlalu banyak” → phronesis (kebijaksanaan praktis) Phronesis menentukan apa yang bisa dianggap sebagai berkeutamaan dalam situasi konkret Manusia adalah baik dalam arti moral jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual
Tinjauan Kritis Ada sejumlah keutamaan yang berlaku agak umum, selain itu setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah memiliki keutamaan sendiri Apakah keutamaan selalu merupakan jalan tengah antara “kurang” dan “terlalu banyak”? Pemikiran Aristoteles diwarnai suasana elitis karena mencerminkan golongan atas Pemikirannya tidak membantu banyak dalam mencari jalan keluar bagi masalah- masalah moral penting dalam zaman sekarang ini
Utilitarisme: Utilitarisme Klasik (1) David Hume (1711-1776) memberi sumbangan penting bagi aliran ini Bentuk lebih matang berasal dari Jeremy Bentham (1748-1832) Utilitarisme sebagai dasar etis membaharui hukum Inggris, tidak menciptakan teori moral abstrak Tujuan hukum: memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah- perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati Ada dua penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan dan kesenangan
Utilitarisme: Utilitarisme Klasik (2) Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan semakin banyak orang The principle utility: the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar) Prinsip kegunaan tadi harus ditetapkan secara kuantitatif Karena kualitas kesenangan selalu sama, satu- satunya yang bisa berbeda adalah kuantitasnya Bukan saja the greatest number, tapi the greatest happiness dapat diperhitungkan→the hedonistic calculus
Ketidaksenangan (debet) Contoh: Kemabukan Ketidaksenangan (debet) Kesenangan (kredit) Lamanya: singkat Akibatnya: kemiskinan nama buruk tidak sanggup bekerja Kemurnian: dapat diragukan (= dalam keadaan mabuk sering tercampur unsur ketidaksenangan) Intensitas: membawa banyak kesenangan Kepastian : kesenangan pasti terjadi Jauh/dekat: kesenangan timbul cepat
Utilitarisme: Utilitarisme Klasik (3) Tambahan dari John Stuart Mill (1806- 1873): Kualitas kebahagiaan dapat juga diukur secara empiris, yaitu kita harus berpedoman pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam bidang ini Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama
Tinjauan Kritis Kesenangan/ketidaksenangan bersifat psikologis yang tidak dijelaskan bagaimana loncatan besar ke jumlah orang terbesar dilakukan Tidak ada paham untuk hak, padahal hak merupakan suatu kategori moral yang penting Prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga secara adil
Utilitarisme Aturan Stephen Toulmin (1922- ): prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan (utilitarisme klasik), melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan kita Bukan bertanya: “Apakah akan diperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling banyak orang jika seseorang menepati janjinya dalam situasi tertentu?” Melainkan: “Apakah aturan moral ‘orang harus menepati janjinya’ merupakan aturan yang paling berguna bagi masyarakat atau, sebaliknya, aturan ‘orang tidak perlu menepati janji’ menyumbangkan paling banyak untuk kebahagiaan paling banyak orang?”
Deontologi Semua sistem etika di atas (teleologi) memperhatikan hasil perbuatan → teleology (dari kata Yunani telos [tujuan, akhir] dan logos [wacana atau doktrin]) Konsekuansialistis: baik-tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya Bersifat teleologis (terarah pada tujuan) Deontologi: sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib-tidaknya perbuatan dan keputusan kita Deon: apa yang harus dilakukan, kewajiban Deontology, dari kata Yunani deon (keharusan, kewajiban), yang dapat diartikan “teori tentang kewajiban”
Deontologi Menurut Immanuel Kant (1) Menurut Kant (1724-1804), yang disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik Kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban Belum cukup suatu perbuatan dilakukan sesuai dengan kewajiban, seharusnya perbuatan dilakukan berdasarkan kewajiban Legalitas: bertindak sesuai dengan kewajiban, memenuhi norma hukum Suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata “karena hormat untuk hukum moral”
Deontologi Menurut Immanuel Kant (2) Imperatif kategoris: imperatif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat Imperatif hipotetis selalu melibatkan sebuah syarat: “kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka engkau harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan itu” Jika hukum moral harus dipahami sebagai imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral kehendak harus otonom dan bukan heteronom Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri, bersifat heteronom jika membiarkan diri ditentukan oleh faktor luar (kecenderungan atau emosi)
Tinjauan Kritis Sistem moral Kant adalah etika yang suram dan kaku Apakah tidak mungkin juga jika kita berlaku dengan bak karena kita senang berbuat baik? Sulit juga diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai moralitas perbuatan kita, misalnya dalam situasi perang Jika orang lain menjadi korban dari kewajiban saya, maka itu bukan tanggung jawab saya Bukan saya yang mencelakakan dia
Pandangan William David Ross (1) William David Ross (1877-1971) menerima teori deontologi, tapi ia menambahkan nuansa yang penting Kewajiban selalu merupakan kewajiban prima facie (pada pandangan pertama) Suatu kewajiban-untuk-sementara dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban yang pertama tadi
Pandangan William David Ross (2) Sejumlah kewajiban prima facie W.D. Ross: Kewajiban kesetiaan: kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi hutang moral dan hutang material Kewajiban terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita Kewajiban mengembangkan dirinya: kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat kita di bidang keutamaan, intelegensi, dst Kewajiban untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif)
Tidak ada satu sistem etika yang sama sekali memuaskan Penutup Tidak ada satu sistem etika yang sama sekali memuaskan Masing-masing memiliki kelemahan Utilitarisme dan deontologi juga mengalami hal yang sama Tidak ada utilitarisme murni dan deontologi murni Diadakan sintesis antara pendekatan utilitaristis dan pendekatan deontologis
Tugas Pilih salah satu Buat makalah tentang: Hedonisme Eudemonisme Utilitarisme Deontologi Etika kewajiban Etika keutamaan Jangan lupa daftar pustaka