Pemikiran: Dasar Ekonomi Islam Kesan saya, yang lebih menarik perhatiannya adalah peranan sosio-ekonomis Islam dalam masyarakat Indonesia. Pada tanggal 4 Mei 1949, dalam salah satu pembicaraan kami di Bangka, dia pertama kali mengemukakan masalah ini. “Dasar pemikiran Islam,” katanya, “Mengarah kepada sosialisme, dan di Indonesia sintesis antara keduanya mungkin terlaksana; seseorang dapat saja menjadi pemeluk Islam dan sekaligus menjadi seorang sosialis.” Dia selanjutnya mengatakan: “Keadilan sosialis dan persaudaraan merupakan tiang-tiang agama Islam; kalau saya hanya mempunyai sebatang roti untuk hari ini dan besok, saya harus memberikan separuhnya kepada orang yang hampir mati kelaparan; itulah dasar ekonomi agama Islam.” Ketika kami membicarakan masalah itu lebih lanjut, dia menyatakan bahwa yang paling cocok untuk Indonesia adalah sistem ekonomi campuran dengan sektor sosialis yang besar, sektor koperasi yang luas terutama pada tingkat pedesaan dan lingkungan kapitalis yang terbatas sehingga usaha kecil dapat terus hidup berdampingan dengan sektor-sektor yang lebih besar itu. Dia berpendapat bahwa “Tidak perlu dikembangkan kelas menengah kapitalis sebelum masyarakat yang pada dasarnya sosialistis dapat dimantapkan, atau pun untuk memperoleh tenaga administratif yang diperlukan untuk menjalankan aparat masyarakat sosialis”. Yang dicita-citakannya adalah sistem ekonomi campuran yang sangat sosialis atas dasar landasan politik yang demokratis. Menurut catatan saya, dia menutup pembicaraan itu dengan pandangan bahwa dia merasa Indonesia akan menjadi masyarakat seperti itu dalam masa hidupnya. Tentu saja dia kecewa karena harapannya tidak terwujud, dan dalam tahun-tahun sesudahnya dia terpaksa melunakkan pendiriannya. Namun, dia tidak pernah meninggalkan keyakinannya bahwa: Islam dapat memainkan peranan sosio-ekonomis yang progresif Yang membawa Indonesia kepada keadilan sosial yang lebih besar. Gagasan itu banyak menguasai jalan pikirannya dalam pembicaraan kami pada tahun 1967. Saya dapat memahami kekecewaan dan kekesalannya, karena pemerintah menolak keinginannya untuk mendirikan dan memimpin partai politik untuk mencapai tujuan itu. Kenyataan bahwa seorang dari dua orang pendiri suatu bangsa tidak diberi kesempatan seperti itu, tentu merupakan suatu tragedi dalam sejarah bangsa ini. George McT. Kabin, Pribadi Manusia Hatta, Seri 8, Yayasan Hatta, Juli 2002