HASIL BUDAYA YANG BERKEMBANG PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT PRA AKSARA Syaiful Amin, S.Pd., M.Pd.
Peta Konsep Hasil Budaya Zaman Batu Paleolitikum Mesolitikum Neolitikum Zaman Logam Nekara Kapak Corong Megalitikum Peta Konsep
Pelolitikum Alat-alat yang digunakan terbuat dari batu yang masih sangat sederhana dan kasar pembuatannya. Bahkan tidak mengalami perubahan yang terlalu banyak oleh tangan manusia. Pada zaman ini di Indonesia mengalami dua kebudayaan yaitu Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong. Kebudayaan Pacitan Kebudayaan Ngandong Penemu von Koenigswald, tahun 1935 von Koenigswald Alat yang Ditemukan Kapak genggam; Kapak perimbas; Kapak penetak; Pahat genggam; dan Flakes (alat serpih) Kapak-kapak genggam dari batu; alat-alat serpih (flakes); dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Manusia Pendukung Pithecanthropus erectus Homo soloensis dan Homo wajakensis
Kebudayaan Pacitan Kebudayaan Ngandong
Mesolitikum Mesolitikum berlangsung pada kala Halosen. Zaman ini berlangsung lebih cepat. Hal tersebut dikarenakan beberapa factor antara lain: Pendukung kebudayaan ini adalah manusia cerdas (Homo sapiens). Keadaan alam sudah tidak seliar dan selabil zaman batu tua (Paleolitikum), sehingga dalam waktu kurang lebih 20.000 tahun (sejak permulaan kala Halosen hingga zaman sekarang) manusia telah mencapai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dari apa yang telah dicapai oleh manusia pada zaman Paleolitikum, 600.000 tahun yang lalu.
Kebudayaan Kapak Genggam Sumatera Ditemukan oleh PV van Callenfels (1925) di tumpukan sampah kerang (kjokkenmoddinger) di sepanjang pantai Timur Laut Sumatera. Selain kapak genggam Sumatera ditemukan juga pipisan dan landasannya; serta alu, lesung, dan pisau. Pendukung kebudayaan ini adalah manusia ra Melanosoid.
Kebudayaan Tulang Sampung 1928-1931, van Stein Callenfels mengadakan penelitian di gua Lawa, dekat Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Dari penelitian tersebut ditemukan alat-alat batu antara mata panah dan flake, batu- batu penggiling serta yang terbanyak adalah alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Sebagian besar penemuan di dalam gua Lawa ini adalah alat-alat yang terbuat dari dari tulang sehingga dinamai kebudayaan tulang Sampung (Sampung Bone Culture). Pendukung utama kebudayaan Sampung adalah manusia Papua Melonosoid.
Tahun 1893 sampai 1896, Fritz Sarasin dan Paul Sarasin melakukan penelitian di gua-gua di daerah Lumacong Sulawesi Selatan, yaitu suatu daerah yang pada saat itu masih didiami oleh suku bangsa Toala. Dalam penelitiannya tersebut ditemukan alat-alat serpih (flake), mata panah bergerigi, serta alat-alat dari tulang. Penelitian selanjutnya dilakukan olen van Callenfels (1933-1934), serta van Heekeren (1937) dan berdasarkan penemuannya, merek berkesimpulan bahwa kebudayaan Toala termasuk dalam kebudayaan Mesolitikum yang berlangsung sekitar 3000 sampai 1000 SM. Ciri khas kebudayaan Toala adalah flakes bergerigi. Ciri khas kebudayaan Tala tersebut juga ditemukan di gua-gua Pulau Timor, Flores, dan Roti Nusa Tenggara Timur. Pendukung kebudayaan ini adalah jenis manusia dari keturunan orang-orang Wedda dari Sri Langka dan termasuk ras Weddaid. Kebudayaan Toala
Neolitikum Migrasi secara bergelombang dari bangsa Proto Melayu dari wilayah Yunan di Cina Selatan ke wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Indoensia. Para pendatang baru tersebut membawa kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong serta menyebarkannya ke daerah-daerah yang mereka tempati. Kedua kebudayaan itulah yang menjadi ciri khas kebudayaan neolitikum.
Von Heine Galdern, telah melakukan penelitian terhadap kapak persegi dengan memperhatikan penampang-alangnya yang kadang kala berbentuk per segi panjang atau trapesium sehingga memberinya nama kapak persegi. Satu hal yang istimewa ialah, bahwa diantara penemuan kapak-kapak persegi itu, ada yang terbuat dari batu-batu indah (chalchedon) yang dibuat sangat indah dan halus, sehingga para ahli memperkirakan bahwa benda tersebut kemungkinan tidak untuk bekerja, melainkan hanya sebagai lambang kebesaran, jimat, alat upacara, atau sebagai alat tukar (barter). Kapak Persegi
Kapak Lonjong Kapak lonjong memiliki berbagai ukuran, yang besar disebut walzenbeli dan yang kecil disebut kleinbeli. Namun diluar kedua jenis tersebut, terdapat kapak lonjong yang dikhususkan sebagai alat upacara yakni kapak yang dibuat lebih halus dan indah daripada kapak lonjong yang hanya untuk perkakas biasa. Daerah persebaran kapak lonjong banyak ditemukan di daerah timur Indonesia terutama di Papua. Dikarenakan banyak ditemukan di Papua, sering kali kebudayaan kapak lonjong disebut sebagai Neolitikum Papua.
Kebudayaan Logam Ada dua macam teknik atau cara membuat alat-alat dari logam yang berkembang pada saat itu, yaitu teknik bivalve (setangkap) dan teknik a circle perdue (cetak lilin).
Kapak corong adalah kapak perunggu yang again atasnya berlubang, berbentuk orong yang digunakan untuk memasukkan tangkai kayu. Ada kapak corong yang kecil bentuknya dan halus buatannya yang disebut candrasa. Kerena bentuknya yang kecil dan halus buatanya, kemungkinanan candrasa hanya digunakan unruk tanda kebesaran atau alat upacara saja. Berdasarkan tanda-tanda tang ditemukan pada kapak corong, menunjukkan bahwa benda tersebut dibuat dengan teknik a cire perdue. Kapak Corong
Nekara adalah gendering besar yang dibuat dari bahan perunggu, berpinggang dibagian tengahnya dan tertutup dibagian atasnya. Nekara banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Pulau Sangean, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Berdasarkan hasil penelitian, nekara digunakan sebagai peralatan upacara, sebagaimana hiasan- hiasan pada dinding nekara yang menunjukkan hal tersebut. Ukuran nekara ada yang besar, seperti yang ditemukan di Bali, adapula yang berukuran kecil dan rampaing seperti yang ditemukan di Pulau Alor. Nekara yang kecil dan ramping tersebut dinamakan moko atau mako. Hiasan nekara selain sebagai petunjuk adanya kegiatan keagamaan (kepercayaan), juga dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan dan kebudayaan yang brekembang saat itu. Nekara
Kebudayaan Megalitikum Zaman megalitikum atau zaman batu besar adalah kebudayaan yang menghasilkan benda/bangunan monumental yang terbuat dari batu- batu besar dan masif. Maksud dari pembuatan benda/bangunan tersebut sebagai saranan pemujaan atau penghormatan kepada roh nenek moyang. Kebudayaan ini muncul pada zaman neolitikum dan berlangsung terus hingga zaman logam. Di Indonesia kebudayaan megalitikum banyak ditemukan di Nias (Sumatera), Sumba dan flores (Nusa Tenggara) dan Toraja (Sulawesi).
Kebudayaan megalitikum di Indonesia