MARI BELAJAR FILSAFAT AWALNYA saya penasaran mengapa bangsa Eropa demikian hebat memiliki ilmu pengetahuan hingga akhirnya menguasai dunia. Saya coba membaca latar belakang orang-orang top dunia dalam “Kamus Penemu”. Ternyata banyak mereka yang prestasi tersebut, akademiknya biasa‑biasa saja bahkan banyak yang putus sekolah. Albert Einstein (1879‑1955) tamat SMP tanpa mendapat ijazah alias tidak lulus. Thomas Alva Edison (1847‑1931) penemu terbesar di dunia (dengan 3.000 penemuannya), saat di SD dikeluarkan karena gurunya berpendapat dia tak dapat menerima pelajaran apa pun. “Dia terlalu bodoh,” kata gurunya dan masih banyak contoh lainnya.
Rasa penasaran bertambah sebab ternyata hampir semua ilmuwan barat mempelajari filsafat hingga saya coba belajar secara otodidak dengan satu pertanyaan: “Sehebat apakah ilmu filsafat sehingga mampu mengantar ke jenjang pemikiran yang lebih maju?” Aristoteles (384‑322 SM) mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Bagi Immanuel Kant (1724‑1804) yang sering disebut raksasa pikir barat, menempatkan filsafat sebagai ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan.
Di dalamnya mencakup tiga persoalan yaitu apakah yang dapat kita ketahui, apakah yang dapat kita kerjakan dan sampai di manakah pengharapan kita? Dalam sejarah filsafat barat, jelas bagaimana tradisi pemikiran Yunani kuno (ratusan tahun SM) mulai dari Thales, Anaximander, Anaximenes, Pythagoras, Heraclitus, Copernicus, Parmenides, Democritus, Protagoras, Zeno, Epicurus, Cicero sampai Sokrates, Plato dan Aristoteles. Mereka banyak mewamai cara berpikir barat yang lebih bertumpu pada ontologi, ephistemologi, logika, etika, dan estetika.
Produk dari filsafat melahirkan beragam ilmu pengetahuan yang melimpah di antaranya yang diajarkan oleh Hegel, Spinoza, Karl Marx, Engels, Fritjof Capra dan lainnya. Dari Arab yang berguru pada filsafat Yunani kuno antara lain Al Kindi, Al Razi dan Al Farabi, Ibn Miskawaih dan Ibnu Sina. Jika ada filsafat barat tentu ada filsafat timur, namun saya kurang tahu siapa atau filsafat mana yang lebih banyak memengaruhi perkembangan pemikiran orang‑orang timur khususnya bangsa Indonesia. Tampaknya, cara pandang atau cara pikir bangsa kita masih didominasi oleh hal‑hal yang bersifat mistisisme yang produknya melahirkan agama dan budaya ramalan.
Barangkali Jayabaya, Ronggowarsito, Ken Arok (dalam ranah politik) termasuk guru filsafat bangsa ini. Terlepas dari itu semua, untuk memajukan keterampilan berpikir akan lebih optimal apabila pelajaran filsafat Yunani kuno bisa secara sistematis diajarkan lebih awal.