Hizb mengartikan Iman berbeda dengan pengertian para ‘ulama pada umumnya. Iman menurut Hizb: التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل “Pembenaran yang bersifat pasti yang sesuai dengan fakta berdasarkan suatu bukti” Iman menurut ‘ulama pada umumnya: التصديق بالقلب والاقرار باللسان والعمل بالجوارح “Pembenaran dengan hati, pernyataan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota tubuh.”
Pengertian Iman oleh Hizb adalah pengertian Iman sesungguhnya secara bahasa dan realita, sedangkan pengertian Iman oleh ‘Ulama pada umumnya adalah Iman yang kaitannya dengan perbuatan seorang hamba. Ungkapan al-qaul bi-l-lisaan dan al-’amal bi-l-jawaarih semata-mata menandakan kesempurnaan Iman, bukan iman itu sendiri. Hal ini karena keimanan yang benar akan meniscayakan ‘amal.
Contoh dalil bahwa iman adalah amalan batin: قال الله تعالى : وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي [ البقرة /260] قال الله تعالى : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا [ النساء /136] قال الله تعالى : يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا... [ المائدة /41] قال الله تعالى : وَأَمَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَى [ الكهف /88] قال ( جبريل ) فأخبرني عن الإيمان قال ، ( النبي ) : أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره [ رواه مسلم ]
Contoh dalil iman dengan konsekwensinya berupa amalan zhahir: قال الله تعالى : لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ [ المجادلة /22] قال النبي صلى الله عليه وسلم : لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن [ رواه البخاري ] قال النبي صلى الله عليه وسلم : من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت [ رواه البخاري ]
قال البخاري : واليقين هو العلم الحاصل للقلب بعد النظر والاستدلال ، فيوجب قوة التصديق حتى ينفي الريب ويوجب طمأنينة القلب بالإيمان وسكونه وارتياحه به ، وقد جعله ابن مسعود الإيمان كله. وكذا قال الشعبي - أيضا. Imam Al-Bukhoriy: “keyakinan adalah ilmu yang sampai di hati setelah pengkajian dan pembuktian, maka ia meniscayakan kuatnya pembenaran sampai pada taraf menafikan keraguan dan meniscayakan ketentraman, ketenangan, dan kelegaan hati dengan keimanan tersebut. Ibnu Mas’ud menganggap keyakinan adalah keimanan itu sendiri. Demikian pula dikatakan oleh Imam Asy- Sya’biy” [Ibn Rojab, Fathu-l-Baariy, jilid I hal. 13]
واتفق أهل السنة من المحدثين والفقهاء والمتكلمين على أن المؤمن الذى يحكم بأنه من أهل القبلة ولا يخلد فى النار لا يكون الا من اعتقد بقلبه دين الاسلام اعتقادا جازما خاليا من الشكوك ونطق بالشهادتين. "Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa seseorang mukmin yang dihukumi sebagai ahli kiblat (muslim) dan tidak kekal di dalam neraka, hanyalah siapa-siapa yang meyakini dienu-l-Islaam di dalamnya hatinya secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat syahadat.” [An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I hal. 149]
واعلم أن مذهب أهل الحق أنه لا يكفر أحد من أهل القبلة بذنب ولا يكفر أهل الاهواء والبدع وأن من جحد ما يعلم من دين الاسلام ضرورة حكم بردته وكفره. “Ketahuilah, bahwa madzhab ‘ulama yang benar adalah bahwa seorang ahlul kiblat tidak dihukumi kafir hanya dikarenakan suatu dosa tertentu, dan tidak pula dihukumi kafir para pengikut hawa nasfsu dan bid’ah.” [An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I hal. 150]
Hizbut Tahrir menolak penggunaan Hadits Ahad dalam masalah Akidah, maka karenanya Hizb dianggap mengingkari Siksa Kubur dan pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, Kemunculan Imam Mahdi dan Dajjal, Turunnya Nabi Isa as, Syafa’at Rasulullah saw, dll., karena semuanya itu landasannya adalah hadits-hadits Ahad. Karena itulah Hizbut Tahrir sama dengan Mu’tazilah
Hizbut Tahrir tidak menggunakan Hadits Ahad sebagai landasan akidah, karena ia bersifat zhanniy (dugaan) tidak qath’iy (pasti). Sementara memunculkan kayakinan tidak bisa kecuali hanya dengan dalil yang bersifat qath’iy, yaitu Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir. Adapun terhadap Hadits Ahad yang shahih, jika terkait syari’at wajib diamalkan, dan jika terkait keyakinan cukup dibenarkan. Hal ini tidak sebagaimana Mu’tazilah yang menolak hadits Ahad dalam hal akidah secara mutlak.
Apakah hadits ahad yang Shahih berfaedah ‘ilm (keyakinan) atau zhann (dugaan) perbedaan ulama sejak dulu: 1.Hadits ahad berfaedah ‘ilm (keyakinan) a.Secara mutlak imam ibn hazm azh-dzahiri b.Jika ada qorinah imam al-amidi c.Jika telah disepakati umat untuk diterima (shahih Bukhari dan shahih Muslim) imam ibnu shalah 2.Hadits ahad berfaedah zhann (dugaan) tidak berfaedah ‘ilm (keyakinan) imam an-nawawi dan jumhur ulama
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 1/131: فالذى عليه جماهير المسلمين من الصحابة والتابعين فمن بعدهم من المحدثين والفقهاء وأصحاب الاصول أن خبر الواحد الثقة حجة من حجج الشرع يلزم العمل بها ويفيد الظن ولا يفيد العلم. “dan yang merupakan pendapat mayoritas kaum muslim dari kalangan sahabat, tabi’ien dan siapa-siapa setelah mereka dari kalangan ulama hadits, ulama fiqh, dan ulama ushul, bahwa khabar ahad yang terpercaya (sahih) merupakan hujjah di antara hujjah- hujjah syara’ yang wajib diamalkan, dan bahwa dia berfaedah zhann (dugaan) tidak berfaedah ‘ilm (keyakinan).”
وذهب بعض المحدثين إلى أن الآحاد التى فى صحيح البخارى أو صحيح مسلم تفيد العلم دون غيرها من الآحاد وقد قدمنا هذا القول وابطاله فى الفصول وهذه الأقاويل كلها سوى قول الجمهور باطلة... “Sebagian ‘ulama hadits berpendapat bahwa hadits ahad di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim berfaeah ‘ilm (yakin), tidak hadits ahad selainnya. Dan kami telah menjelaskan pendapat ini beserta bantahan terhadapnya di banyak fashal. Semua pendapat-pendapat ini selain pendapat jumhur adalah batil (salah) …
... وأما من قال يوجب العلم فهو مكابر للحس وكيف يحصل العلم واحتمال الغلط والوهم والكذب وغير ذلك متطرق إليه. والله أعلم. … Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad meniscayakan ‘ilm maka dia telah berpaling dari kenyataan. Bagaimana bisa hadits ahad menghasilkan ‘ilm sementara kemungkinan adanya penyimpangan, kealpaan, pemalsuan dan yang lainnya ada padanya. Wallahu ‘alam.” [An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I hal. 132]
Bahwa khabar ahad tidak berfaedah ilmu = pendapat jumhur ‘ulama bukan klaim Imam An-Nawawi فصل هل يوجب خبر الواحد العدل العلم مع العمل أو العمل دون العلم قال أبو محمد قال أبو سليمان والحسين عن أبي علي الكرابيسي والحارث بن أسد المحاسبي وغيرهم أن خبر الواحد العدل عن مثله إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوجب العلم والعمل معا ، وبهذا نقول ، وقد ذكر هذا القول أحمد بن إسحاق المعروف بابن خويز منداد عن مالك بن أنس. وقال الحنفيون والشافعيون وجمهور المالكيين وجميع المعتزلة والخوارج إن خبر الواحد لا يوجب العلم ، ومعنى هذا عند جميعهم أنه قد يمكن أن يكون كذبا أو موهوما فيه واتفقوا كلهم في هذا ، وسوى بعضهم بين المسند والمرسل.... ( لينظر الإحكام في أصول الأحكام لابن حزم - دار الحديث - القاهرة - ج 1 / ص 131)
Membedakan antara At-Tashdiiq (Pembenaran Saja/Tidak Bersifat Pasti) dan At-Tashdiiqu-l-Jaazim (Pembenaran yang Bersifat Pasti) Misalnya anda membeli beras dari sebuah toko seberat 3 kilogram dan penjual menimbang beras tersebut di hadapan mata kepala anda langsung. Jika di perjalanan pulang anda ditanya berapa berat beras yang anda bawa? Tentunya anda akan langsung menjawab 3 kilogram! Tapi jika ditanya lebih lanjut: beranikah anda bersumpah bahwa beras tersebut benar-benar 3 kilogram, tidak lebih dan tidak kurang walau hanya 1 miligram pun? Tentu anda tidak akan berani, karena timbangan penjual beras tadi berpeluang salah, bisa karena takaran timbangannya dikurangi, rusak, penjual yang lalai, atau yang lainnya. Pembenaran anda terhadap 3 kilogram di sini baru pembenaran saja yang tidak bersifat pasti. Kecuali jika kemudian anda membuktikan berat beras tersebut dengan timbangan- timbangan lainnya hingga jumlah timbangan yang memustahilkan terjadi kesalahan bahwa berat beras tersebut benar-benar 3 kilogram persis, tidak kuarang dan tidak lebih. Maka pembenaran anda atas 3 kilogram yang terakhir inilah pembenaran yang bersifat pasti dan anda akan berani bersumpah atasnya!
Hizb dianggap telah mengkafirkan umat islam serta para pemimpin mereka, lantaran Hizb menyebut negeri-negeri kaum muslim yang ada saat ini dengan sebutan Daaru-l-Kufr (negara kufur), karena tidak menerapkan sistem islam, yakni Khilafah Islamiyyah. Serta menyebut kematian kaum muslimin saat ini dengan mati dalam keadaan jahiliyah, di mana kondisi jahiliyyah identik dengan kesyirikan dan kekufuran.
Dalam pandangan Hizb, negeri-negeri kaum muslim saat ini adalah daaru-l-kufr (negara kufur) karena tidak berhukum dengan hukum Allah swt. Hal ini sesuai dengan pandangan jumhur ‘ulama, bahwa negara yang tidak memberlakukan hukum Islam bukanlah daaru-l- islaam (negara islam), melainkan daaru-l-kufr.
قال الجمهور دار الإسلام هي التي نزلها المسلمون وجرت عليها أحكام الإسلام. وما لم تجر عليه أحكام الإسلام لم يكن دار إسلام وإن لاصقها. فهذه الطائف قريبة إلى مكة جدا ولم تصر دار إسلام بفتح مكة. “Jumhur ‘ulama berkata: daaru-l-islaam adalah negara yang dihuni oleh kaum muslim dan berlaku di dalamnya hukum-hukum Islam. Setiap yang tidak berlaku di dalamnya hukum-hukum Islam, bukanlah daaru-l-islaam meski ia berdekatan dengannya. Dan ini negeri Thaif, sangat dekat dengan Mekah, tapi tidak secara otomatis menjadi daaru-l-islaam dengan peristiwa Fathu Makkah.” (Ibn Qoyyim Al- Jauziyyah, Ahkaamu Ahli-dz-Dzimmah, 2/728)
Akan tetapi, penyebutan terhadap suatu negeri dengan sebutan daaru-l-kufr, tidak berarti menganggap semua penghuninya kafir. Istilah daaru-l-kufr hanya menandakan bahwa negeri tersebut tidak berhukum dengan hukum-hukum Islam. Demikian sebaliknya, sebutan daaru-l-islaam tidak berarti menganggap semua penghuninya muslim, karena daaru-l-islam pada faktanya juga dihuni oleh non-muslim, baik berstatus sebagai kafir dzimmiy maupun kafir musta-min. Adapun penguasa yang tidak menerapkan hukum islam, Hizb memandang: jika perbuatannya disertai keyakinan maka dia kafir, jika tidak disertai keyakinan maka dia brdosa (zhaalim/faasiq).
وقد أمر الله السلطان أن يحكم بما أنزل الله على رسول الله، وجعل مَن حكم بغير ما أنزل الله كافراً إن اعتقد به واعتقد بعدم صلاحية ما أنزل على رسوله، وجعله عاصياً إن حكم به ولم يعتقده. “Allah swt telah memerintahkan penguasa untuk berhukum dengan apa yang Allah swt turunkan atas Rasulullah saw, dan menjadikan siapa-siapa yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah swt sebagai kafir jika menyakininya, dan meyakini tidak adanya kemaslahatan pada apa yang diturunkan atas Rasul-Nya, serta menjadikannya bermaksiat jika berhukum dengannya (selain hukum Allah swt) tanpa meyakininya.” [Syaikh Taqyuddin An-Nabhaaniy, Muqaddimatu-d-Dustuur, hlm 6]
وقال عكرمة ومن لم يحكم بما أنزل الله جاحداً به فقد كفر ومن أقر به ولم يحكم به فهو ظالم فاسق وهذا قول ابن عباس أيضاً. “Berkata ‘Ikrimah ra: siapa-siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah swt karena keingkaran terhadapnya maka dia benar-benar telah kafir, dan siapa-siapa masih mengakuinya tapi tidak mau berhukum dengannya maka dia zhalim lagi fasiq. Ini juga perkataan Ibn ‘Abbas ra.” [ Tafsiir Al-Khaazin, 2/289]
والمراد بالميتة الجاهلية وهي بكسر الميم حالة الموت كموت أهل الجاهلية على ضلال وليس له امام مطاع لأنهم كانوا لا يعرفون ذلك وليس المراد أنه يموت كافرا بل يموت عاصيا “Yang dimaksud dengan kematian jahiliyah [dengan mim dibaca kasroh] adalah keadaan kematiannya seperti kematian masyarakat jahiliyyah di atas kesesatan dan tidak memiliki seorang pemimpin yang ditaati, karena mereka belum mengenal hal tersebut. Bukan dimaksudkan mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat.” [Ibn Hajar, Fathu-l-baariy, 13/7]
ومن مات وليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهلية ، ووجه الاستدلال بهذا الحديث هو أن الرسول أوجب على كل مسلم أن تكون في عنقه بيعة لخليفة ولم يوجب أن يبايع كل مسلم الخليفة “… Aspek argumentatif dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah saw mewajibkan atas setiap muslim untuk mengadakan di lehernya bai’at untuk seorang khalifah, dan tidak mewajibkan agar setiap muslim membai’at khalifah.” [Taqyuddiin An-Nabhaaniy, Muqaddimatu-d-Dustuur, 100]
Hizb dianggap menafikan Qadar, sehingga tidak ada bedanya dengan mu’tazilah Hizb menyalahkan pemahaman Ahlus Sunnah dalam bab Qadha dan Qadar dan menyamakannya dengan Jabriyyah
Firoq Konsep al-iraadah & khalqu-l-af’aal Konsep tawalludu-l-af’aal Qadariyah Manusia punya kebebasan berkehendak dan menciptakan perbuatannya sendiri Manusia yang menciptakan tawalludu-l-af’aal Jabariyah Manusia terikat dengan kehendak Allah swt dan perbuatannya ciptaan Allah Allah yang menciptakan tawalludu-l-af’aal Ahlu Sunnah (Asy’ariyyah) Manusia memiliki kasb ikhtiyari tapi terikat dengan kehendak Allah dan perbuatannya ciptaan Allah Allah yang menciptakan tawalludu-l-af’aal Hizb Perbuatan yang bersifat pilihan terjadi atas kehendak manusia dengan memanfaatkan khashiyyat benda Tawalludu-l-af’aal timbul dari khashiyat benda yang dikenai perbuatan manusia
Hizb mengimani Qadar yang berarti ketetapan Allah atas benda-benda dan ‘ilmu-Nya yang tertulis di Lauhi-l-Mahfuuzh : ( إذا ذُكِرَ القَدَرُ فأمْسِكُوا ) أي إذا ذُكر علم الله وتقديره للأشياء فلا تخوضوا في ذلك ، لأن كون تقدير الأشياء من الله يعني أنه كتبها في اللوح المحفوظ وهذا يعني أنه علمها ، وكون الله عالماً بها هو من صفات الله التي يجب الإيمان بها (Hadits Nabi): “Jika dituturkan (tentang) Qadar maka diamlah” yakni jika disebut ilmu Allah dan ketetapannya atas benda-benda maka jangan larut dalam membicarakannya, karena ketetapan atas benda-benda oleh Allah yaitu bahwa Dia telah menulisnya di Lauhu-l-Mahfuuzh, ini berarti Dia mengetahuinya. Dan kemahatahuan Allah terhadapnya adalah diantara sifat-sifat Allah yang wajib diimani. [Taqyuddin An-Nabhaaniy, Asy-Syakhshiyyatu-l-Islaamiyyah, 1/78] Tidak sebagaimana disangkakan bahwa Hizb sama dengan Mu’tazilah, karena mu’tazilah mengingkari Qadar secara mutlak.
yang beranggapan bahwa Al-Asy’ariyyah termasuk Jabariyyah dalam bab ini bukan hanya Syaikh Taqyuddin. Berikut berkata Imam Al-Aiji (data original): Kelompok ke-Enam, Al-Jabriyyah … Al-Jabr (paksaan) adalah menisbatkan perbuatan hamba kepada Allah swt. Al-Jabriyyah ada yang pertengahan, yaitu menetapkan adanya usaha pada diri hamba, seperti kelompok Asy’ariyyah. Dan ada yang murni, yang tidak menetapkan itu tadi, seperti kelompok Jahmiyyah, mereka adalah pengikut Jahm bin Shafwaan. … [al-Iji, Al-Mawaaqif, 3/712]
Juga Imam Al-Jurjaniy (data original): Kata Al-Jabriyyah berasal dari kata Al-Jabr yaitu menisbatkan perbuatan hamba kepada Allah swt. Dan Al- Jabriyyah ada dua: Pertengahan, yaitu menetapkan adanya usaha pada diri hamba dalam melakukan perbuatan, seperti kelompok Asy’ariyyah. Dan Murni (pure), yang tidak menetapkan itu tadi, seperti kelompok Jahmiyyah. [Al-Jurjaniy, Al-Ta’riifaat, hlm 101]
Hizb dianggap membolehkan laki-laki dan wanita yang bukan suami-isteri dan bukan mahramnya untuk saling berciuman.
Anggapan tersebut tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diadopsi oleh Hizb. Hizb mengatakan: فقبلة الرجل لامرأة أجنبية يريدها ، فقبلة المرأة لرجل أجنبي تريدها هي قبلة محرمة “Ciuman seorang laki-laki terhadap wanita asing yang diinginkannya, atau sebaliknya, adalah ciuman yang diharamkan” [Taqyuddin An- Nabhaniy, An-Nizhaamu-l-Ijtimaa’iy fi-l-islaam, 55]
Hizb dianggap membolehkan laki-laki dan wanita yang bukan suami-isteri dan bukan mahramnya untuk berjabat tangan, sehingga siapa pun boleh menjabat tangan siapa saja dari kalangan wanita yang bukan mahramnya.
Hizb memang mengadopsi pendapat yang menganggap berjabat tangan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah mubah (boleh), tapi dengan syarat: tidak disertai syahwat dan aman dari fitnah.
Kebolehan ini berdasarkan hadits: عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ عَلَى النِّسَاءِ فِيمَا أَخَذَ أَنْ لَا يَنُحْنَ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَةً أَسْعَدَتْنِي أَفَلَا أُسْعِدُهَا فَقَبَضَتْ يَدَهَا وَقَبَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فَلَمْ يُبَايِعْهَا. Dari Ummu ‘Athiyyah, bahwa Rasulullah saw mengambil bai’at atas kaum wanita untuk tidak melakukan niyaahah (meratapi mayat), berkata seorang wanita: wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang wanita dulu menyertaiku ber-niyahah, tidakkah aku boleh membalasnya, maka ia menarik tangannya, Rasulullah pun juga menarik tangannya dan beliau tidak jadi membai’atnya. [HR. Ahmad – Sahih]
Memperkuat: عن هند بنت عتبة قالت : يا نبي الله ، بايعني. فنظر إلى يدها فقال : لا أبايعك حتى تغيري كفيك كأنهما كفا سَبُع. Dari Hindun binti ‘Utbah berkata: wahai Rasulullah saw, bai’atlah aku. Rasulullah saw melihat ke arah tangan Hindun, kemudian bersabda : “aku tidak mau membai’atmu sebelum kamu merubah kedua telapak tanganmu (dengan pacar), kedua telapak tangan itu seperti kedua telapak tangan binatang buas (seperti tangan laki-laki)”. [HR. Abu Dawud – Hasan] Wajhu-l-istidlaal : jika bai’at terhadap wanita cukup dengan isyarat atau ucapan, maka tidak perlu Nabi saw memerintahkan Hindun berpacar.
كان يصافح النساء في بيعة الرضوان... قيل هذا مخصوص به لعصمته فلا يجوز لغيره مصافحة اجنبية لعدم أمن الفتنة. “Adalah (Rasulullah saw) beliau menjabat tangan wanita pada saat bai’at ridhwan … ada yang mengatakan ini dikhususkan bagi Rasulullah saw saja karena kema’shumannya maka tidak boleh bagi selain beliau untuk menjabat tangan wanita asing dikarenakan tidak ada jaminan aman dari fitnah.” [Al-Haafizh Al-Manawi, At-Taisiir bi-syarhi-l-jaami’ish-shaghiir, 2/538] Di situ Al-Haafizh Al-Manawi menuliskan apa adanya bahwa Nabi saw benar-benar bejabat tangan dengan wanita saat bai’at, hanya saja jika itu merupakan kekhususan bagi Beliau maka harus ada qariinah (indikasi) yang menunjukkan hal tersebut.
جمع الجوامع أو الجامع الكبير للسيوطي - ( ج 1 / ص 16177) لأن يطعن فى رأس أحدكم مخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له ( الطبرانى عن معقل بن يسار ) أخرجه الطبرانى (20/212 ، رقم 487). قال الهيثمى (4/326) : رجاله رجال الصحيح.
سنن النسائي الكبرى - ( ج 6 / ص 473) أبو هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم : إن الله تبارك وتعالى كتب على بن آدم حظه من الزنا أدرك ذلك لا محالة فزنا اليدين البطش وزنا اللسان النطق والنفس تمنى وتشتهي والفرج يصدق ذلك ويكذبه
وتحرم مصافحة المرأة لقوله صلّى الله عليه وسلم « إني لا أصافح النساء ». لكن الجمهور غير الشافعية أجازوا مصافحة العجوز التي لا تشتهى ومس يدها لانعدام خوف الفتنة، قال الحنابلة : كره أحمد مصافحة النساء، وشدد أيضاً حتى لمحرم، وجوزه لوالد، وأخذ يد عجوز شوهاء. وحرم الشافعية المس والنظر للمرأة مطلقاً، ولو كانت المرأة عجوزاً. تجوز المصافحة بحائل يمنع المس المباشر. “Haram hukumnya menjabat tangan wanita berdasarkan sabda Nabi saw: “sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita”, akan tetapi mayoritas ‘ulama selain syafi’iyyah membolehkan berjabat tangan dan menyentuh tangan wanita tua yang tidak menimbulkan syahwat, karena tidak ditakutkan akan timbul fitnah. Berkata ‘ulama hanabilah: Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan berjabat tangan dengan wanita, dan sangat memakruhkannya meski terhadap mahram, namun membolehkannya bagi orang tua, dan membolehkan pula menyentuh tangan wanita tua yang buruk rupa. Ulama syafi’iyyah mengharamkan menyentuh dan melihat wanita secara mutlak, meskipun wanita yang sudah tua, berjabat tangan boleh dengan menggunakan pelapis yang mencegah dari bersentuhan secara langsung.” [Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu-l-islaamiy wa adillatuhu, 4/206]
Hizb dianggap memberontak terhadap penguasa yang sah, padahal hal tersebut tidak dibenarkan dalam Islam
Pemberontakan yang dilarang dalam Islam adalah pemberontakan terhadap penguasa kaum muslim atau khalifah yang berhukum dengan syari’at Islam. Adapun terhadap pengauasa kaum muslim yang mencampakkan syari’at Islam di tengah-tengah perjalanan kekuasaannya maka harus diperangi. Dan terhadap penguasa negara sekular yang tidak berhukum dengan syari’at Islam sejak awal kekuasaannya maka harus berlepas diri darinya, disertai perjuangan untuk mengembalikan kehidupan islami.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم يبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم ، قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف؟ فقال : لا ما أقاموا فيكم الصلاة وإذا رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة [ رواه مسلم ] Lafazh aimmatikum (imam-imam kalian) di situ menunjukkan para khalifah, karena merekalah pemimpin kaum muslim (yang dimaksud “kalian” oleh Nabi saw di hadits itu adalah kaum muslim). Sedangkan para pemimpin selain negara Khilafah tidak bisa disebut atau diklaim sebagai pemimpin kaum muslim. Alasan “selama mereka masih mendirikan shalat” menunjukkan bahwa sistem yang dimaksud Rasulullah saw adalah sistem Islam, karena mengharuskan pemimpinnya muslim ditandai dengan “mendirikan shalat”.
ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المحكم المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله... ومن فعل ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله حتى يرجع إلى حكم الله ورسوله، فلا يحكم بسواه في قليل ولا كثير “Allah mengingkari siapa-siapa (penguasa) yang tidak menerapkan hukum Allah swt yang jelas, konprehensif meliputi segala kebaikan dan mencegah dari segala keburukan, serta berpaling kepada selainnya yang berupa pendapat, hawa nafsu, dan istilah-istilah yang ditetapkan oleh manusia tanpa bersandar kepada syari'at Allah... siapa-siapa dari mereka melakukan hal tersebut maka ia telah kafir wajib diperangi hingga kembali menerapkah hukum Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh berhukum kepada selain hukum Allah, baik sedikit maupun banyak” [Ibnu Katsir, Tafsiru-l-Qur-aani-l-’Azhiim, 3/131]
وأما من عطل منهم شرع الله ولم يحكم به وحكم بغيره ؛ فهؤلاء خارجون عن طاعة المسلمين فلا طاعة لهم على الناس ؛ لأنهم ضيعوا مقاصد الإمامة التي من أجلها نُصبوا واستحقوا السمع والطاعة وعدم الخروج “... Sedangkan siapa-siapa dari mereka (penguasa) yang memberhentikan penerapan syari'at Allah swt, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan selainnya, maka mereka itu keluar dari (tidak layak) mendapat ketaatan kaum muslim, maka tidak ada kewajiban bagi kaum muslimin menaati mereka, karena mereka telah menghilangkan tujuan dari pada imamah (menerapkan syari'at Allah), dimana untuk itulah mereka diangkat serta diberikan ketaatan dan kepatuhan, dan tidak boleh memberontak (terhadap mereka).” [Al- Atsariy, ‘Aqiidatu-s-Salafi-sh-Shaalih Ahli-s-Sunnah wa-l-Jamaa’ah, 132]
Jika kaum muslim tidak lagi memiliki pemimpin (khalifah), maka solusinya berlepas diri dari pemimpin-pemimpin yang menyeru pada kesesatan, selain tentunya mendakwahkan islam semampunya. عن حذيفة بن اليمان يقول كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني فقلت يا رسول الله إنا كنا في جاهلية وشر فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر قال نعم قلت وهل بعد ذلك الشر من خير قال نعم وفيه دخن قلت وما دخنه قال قوم يهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر قلت فهل بعد ذلك الخير من شر قال نعم دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها قلت يا رسول الله صفهم لنا قال هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا قلت فما تأمرني إن أدركني ذلك قال تلزم جماعة المسلمين وإمامهم قلت فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام قال فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك.
Dari Hudzaifah bin Yaman berkata, orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir akan menimpaku, maka aku katakan: wahai Rasulullah saw, kami dahulu berada dalam masa jahiliyyah dan keburukan, kemudian Allah swt datangkan kebaikan ini (Islam), lalu apakah setelah kebaikan ini ada keburukan? beliau berkata: “Ya”. aku berkata: dan apakah setelah keburukan tesebut ada kebaikan lagi? beliau berkata: “Ya, dan di masa itu ada asap (bertanda polusi)”. aku bertanya: apa asapnya? beliau menjawab: “kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku, kamu mengenali di antara mereka dan mengingkarinya”. aku bertanya: apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? beliau menjawab: “Ya, para pendakwah di depan pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang memenuhi seruan mereka maka mereka akan melemparkannya kedalamnya (Jahannam)”. aku bertanya: gambarkanlah (tentang mereka) kepada kami wahai Rasulullah saw. Beliau berkata: “mereka adalah dari kalangan kita, berkata- kata dengan bahasa kita pula”. aku bertanya: lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku ada di masa itu? beliau bersabda: “Berpegang teguhlah terhadap jama'ah kaum muslimin dan imam mereka (khalifah)”. aku berkata: bagaimana jika mereka tidak lagi memiliki jama'ah dan imam? beliau berkata: “Maka jauhilah kelompok-kelompok (yang menyeru kepada kesesatan) tersebut seluruhnya, sekalipun kamu harus menggigit akar pohon hingga kematian menjumpaimu sedangkan kamu dalam kondisi seperti itu”. [HR. Al-Bukhori]
Hizb dianggap tidak mewajibkan jihad sebelum berdiri Khilafah Hizb dianggap tidak akan bisa menegakkan khilafah tanpa menggunakan jihad
Hizb berpendapat bahwa jihad baik yang bersifat offensive maupun ketika musuh datang menyerang adalah wajib. Disebutkan di dalam kitab Asy-Syakhshiyyatu-l-Islaamiyyah jilid II sebagai berikut: والجهاد فرض كفاية ابتداء ، وفرض عين إن هجم العدو على من هاجمهم ، وفرض كفاية على غيرهم. “Jihad (hukumnya) fardhu kifayah jika bersifat offensive, dan fardhu ‘ain atas mereka yang diserang musuh dan fardhu kifayah atas selain mereka yang diserang musuh.” [Taqyuddin An-Nabhaaniy, Asy- Syakhshiyyatu-l-Islamiyyah, 2/151]
Kewajiban berjihad berlaku terus hingga hari kiamat tiba. Dalam kitab Muqaddimatu-d-Dustur, Syaikh Taqyuddin mengutip hadits berikut: قال النبي صلى الله عليه وسلم :... والجهاد ماضٍ منذ بعثنى الله إلى أن يقاتل آخر أمتى الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل... Rasulullah saw bersabda: “… (kewajiban) jihad berlaku sejak Allah swt mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi Dajjal, kezhaliman dan keadilan seseorang (peguasa) tidak bisa menggugurkannya,...” [HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi]
Akan tetapi dalam penerapannya, baik menurut ketentuan syara’ maupun secara faktual, jihad yang bersifat offensive tidak bisa dilakukan tanpa keberadaan khalifah. Jihad yang saat ini bisa dilakukan baru jihad yang berisfat diffesive, yaitu ketika musuh datang menyerang negeri-negeri kaum muslim. Sedangkan perkara Hizb tidak mendirikan khilafah dengan jihad, itu dikarenakan jihad bukanlah metode yang dicontohkan Nabi saw untuk mendirikan suatu negara. Metode yang beliau contohkan adalah thalabu-n-nushrah, bukan jihad.