Hukum Alam DR. Faisal A. Rani,S.H.,M.Hum.. Keadilan (gerechtigheid, rechtvaardigheid) – menunjuk pada pertimbangan nilai yg sangat subjektif. Terdapat.

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
PANDANGAN TENTANG HUKUM (dari masa ke masa)
Advertisements

PROBLEMATIK & TEORI KEADILAN
ASSALAMMUALAIKUM WR.WB
PANCASILA SEBAGAI TATA NILAI HIDUP BANGSA INDONESIA
PENDALAMAN MATERI NORMA DAN HUKUM DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA DADANG SUNDAWA
Apakah Etika Itu?.
PANCASILA 10 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA PENGANTAR
NORMA-NORMA YANG BERLAKU BERMASYARAKAT, BERBANGSA,
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
LAPISAN ILMU HUKUM FILSAFAT HUKUM TEORI HUKUM (Eksplanasi reflektif)
NORMA DALAM MASYARAKAT
1  Bahan 3  Etika Administrasi  FISIP UNS 2011.
Filsafat Pancasila.
HUKUM PERDATA (Pengertian, Asas, Hak-hak Keperdataan Warga Negara, dan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat) Oleh Sudi Prayitno Disampaikan dihadapan.
SEBUAH MATA KULIAH PENGANTAR
KEKUASAAN, DEMOKRASI, & HAK ASASI MANUSIA
BAB IV PERAN ETIKA DAN KEWAJIBAN PROFESI
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
Keadilan ialah kelayakan dari sebuah tindakan (Aristoteles).
PROBLEMATIK & TEORI KEADILAN
ISSUE ETIK DAN MORAL DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
Peraturan Hukum Dalam Masyarakat Mengutamakan 2 Segi Kehidupan
MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Manusia dan pandangan hidup
HUKUM PERIKATAN pertemuan ke 10
HUKUM PERBANKAN INDONESIA
Aliran-Aliran Filsafat Hukum
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN. Tujuan Pembelajaran Siswa mampu mendeskripsikan kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan.
PENGHEGEMONI ALIRAN KRITIS
Dr. Utary Maharany B.,SH.,M.Hum
TUJUAN HUKUM PERTEMUAN - 05.
V. WEWENANG (AUTHORITY)
Etika Dan Regulasi Maria Christina.
Hasim As’ari TEORI ETIKA 1.
Dr. Utary Maharany B, SH.,M.Hum
Tugas persentasi kelompok 5 Manusia Dan Pandangan HIdup
MANUSIA DAN HUKUM.
HUKUM PERDATA.
KEKUASAAN DAN WEWENANG
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR (ISBD)
Perbuatan Melawan Hukum
ETIKA BISNIS DAN PROFESI
KAIDAH-KAIDAH/PETUNJUK HIDUP
BUDAYA POLITIK DI I N D O N E S I A
SEJARAH FILSAFAT HUKUM
PELAKSANAAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM RELASI HUKUM DAN KEKUASAAN SERTA DALAM MENGHADAPI ISU-ISU GLOBAL Kelompok 10 Anesta Ebri Dewanty
Elisabeth Septin Puspoayu, SH., MH
OLEH : SITI HAMIDAH, S.H., MM & AMELIA SRI KUSUMA DEWI, S.H., M.Kn
Kekuasaan Negara.
Pasal 53 UU No.9/Th 2004 : (1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan.
BISNIS : SEBUAH PROFESI ETIS ?
Universitas Esa Unggul
Pembuktian Terbalik DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
TEORI-TEORI ETIKA BISNIS
Nilai nilai pancasila dalam staatsfundamentalnorm
KONSEP ETIKA DAN ETIKET
Masyarakat, Norma dan Hukum
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
ETIKA, NORMA, KAIDAH, DAN ETIKET
UNIVERSITAS ESA UNGGUL FAKULTAS EKONOMI
ALIRAN-ALIRAN HUKUM WINDY SRI WAHYUNI, SH., MH.
PANCASILA 10 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA PENGANTAR
Materi 1 Penemuan Hukum Oleh : Lita Tyesta ALW
TEORI-TEORI ETIKA BISNIS
Bahan ke-2 Sistem Hukum Indonesia
Apakah Etika Itu?.
KEPRIBADIAN, KONSEP & CITRA DIRI
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
KELUARGA - KELUARGA BERIMAN
1 HUBUNGAN ANTAR MANUSIA. 2 Pengetahuan tentang hubungan antar manusia mendasari interaksi dan komunikasi antara Perawat dengan klien dalam pelayanan.
Transcript presentasi:

Hukum Alam DR. Faisal A. Rani,S.H.,M.Hum.

Keadilan (gerechtigheid, rechtvaardigheid) – menunjuk pada pertimbangan nilai yg sangat subjektif. Terdapat hub dan kerja timbal balik antara yg subjektif dg yang lain yg bermacam2 yang kurang subjektif seperti “sesuia dg hukum” dan “sesuai dg undang-undang”.

Suatu pertimbangan keadilan (menurut N.E. Algra, dkk) – berisi suatu pandangan yg pd dasarnya berwarna pribadi terhdp sesuatu yg seharusnya menurut hukum. Pertimbangan keadilan, suatu katagori pertimbangan nilai khusus – “pertimbangan yg seharusnya” – yg tdk hanya meletakkan suatu claim (tuntutan) terhdp tingkah laku sendiri melainkan juga terhadap orang lain.

Keadilan adalah persoalan kita semua dan dlm suatu masyarakat setiap anggota berkewajiabn utk “melayani” itu. Orang tdk boleh bersikap netral, apabila terjadi sesuatu yang tidak adil. Sekarang kita berada dalam masa sesudah Ausklarung – Immanuel Kant disifatkan: “Ausklarung adalah pemebebasan m’sia dr ketdkcakapannya berbuat, yg disebabkan kesalahannya sendiri” – sebagai “ketdkmampuannya utk mempergunakan akalnya tanpa pimpinan orang lain.”

Ausklarung – sesungguhnya berarti bahwa setiap orang pd dasarnya boleh memilih nilai dan cita2nya sendiri dan tidak usah lebih lama menyesuaikan diri dg pemikiran dan skala niali yg dipaksakan padanya. Pemikiran hukum dari jaman sebelum Ausklarung terutama di Eropah Barat sangat dikuasai oleh kepercayaan akan adanya suatu hukum yg abadi dan tdk berubah, yang berlaku utk semua jaman dan semua tempat.

Karena pengaruh Ausklarung – maka keyakinan tentng hukum yang universal mualai mundur. Hukum yg universal, dan tdk kenal batas waktu dan tempat itu, hukum dulu dan sekarang itu – hukum alam – orang melihatnya sbg hukum ideal dan sering dibedakan dari hukum yg berlaku, hukum positif. Dg demikian maka diciptakan suatu perlawanan: hukum alam (yg sempurna) terhdp hukum positif

Tentang nama - dalam “alam” org melihat sesuatu yg asli, yg tdk disalurkan, yg sebenarnya sbg lawan dr “positif”, yg dibuat, yg tdk asli. Kata “positif” bukan kebalikan dari “negatif”. M’sia seharusnya berusaha supaya hukum positif sebanyak mungkin mendekti hukum alam yg ideal. Dlm pandangan ini, hukum alam itu seyokyanya menjadi pedoman bagi mereka, yg berhak menentukan bagaimana seharusnya bunyi hukum yang berlaku itu.

Mereka seharunya menemukan hukum alam itu, memperlihatkan peraturan apa yg terkandung di dalamnya, hal mana dianggap mungkin, sebab hukum alam itu dilihat sbg hukum yg terletak di suatu tempat dan waktu. Cicero dlm De Republica III – suatu UU yg benar adalah akal yg murni, yg selaras dg alam, tersebar dalam semuanya, tetap dan abadi.

Cicero - Hanya ada satu undang2 yg tak berubah dan berlaku untuk semua bangsa dan segala zaman, dan hanya ada satu tuan dan peraturan utk kita semua, yaitu Tuhan, sebab Ia adalah pembuat UU ini (hukum alam), dan yg mengumumkannya serta hakim yg mempertahankannya. Hukum alam itu – suatu batu ujian untuk hukum positif.

Rasionalis Thomas Aquino ( ) Rasionalisme/nasionalistis – yg menonjol dldm pandangan ini adalah adanya dugaan bahwa di atas hukumpositif terdpt hukum yg lebih tinggi lagi, yg dg bantuan akal (rasio) dpt diselidiki dan yg hrs dpt menjadi pedoman bagi “pembentuk hukum” dan sbg suatu batu ujian bagi hukum yg berlaku. Hukum yg lebih tinggi itu – janganlah kita berfikir pada peraturan yg tersedia yg langsung dpt diterapkan – hal itu lebih banyak merupakan asas hukum dari pada aturan hukum.

Contoh dari prinsip yg ditimbulkan dari hukum alam adalah: janji harus ditempai; barang2 hrs mempunyai pemilik; setiap org hendaknya menerima dan mempertahankan bagiannya. Thomas Aquino – melihat m’sia itu primer sbg pemikir, makhluk yg diberkahi akal.

Thomas mencoba mendamaikan wahyu Ilahi dg kebenaran yg timbul dari akal – mencoba membuat sintese antara iman dan akal, anugerah dan alam. Dengan “akal” (Latin: ratio, Prancis: raison, Jerman: Vernunft) – yg biasanya dlm filsafat dimaksud sesuatu yg “lebih tinggi” dari pada “pikiran”.

Jika pikiran mengarah pada pengetahuan dan pandangan, mk akal membawa pikiran manusia pada jalan baru, penemuan, membawa utk mengadakan kombinasi dan deduksi, sehingga sampai kepada pembagian baru. Akal itu biasanya dilihat sbg “tanda hakiki” dr m’sia.

Thomas berjasa memberikan tempat tersendiri kpd akal, berdasarkan sifatnya sendiri yg berbeda drpd sifat kepercayaan. Ia memberikan “sinar hijau” kepada akal sepanjang ia mau menundukkan diri di bawah pengawasan dari kepercayaan

Akal dan kepercayaan termsuk dua bidang yng berlainan. Kebenaran Ilahi sesungguhnya berdasarkan atas wahyu – adalah benar karena Tuhan menyatakannya – tetapi kebenaran ilmiah berdasarkan pengamatan.

Tiga Leges : a) Lex Aeterna – hukum abadi. Tuhan sesungguhnya menciptakan m’sia menurut gambarannya dan oleh sebab itu dlm pembawaan m’sia terdpt suatu pencerminan, (seolah2 suatu tindakan, cetakan, stempel) dari Lex Aeterna itu. b) Cetakan, stempel ini oleh Thomas disebut Lex Naturalis – hukum alam. ======22/12/09 K-D.

 Lex ini mengajarkan kpd m’sia perbedaan antara baik dan buruk, berbuat yg baik dan meninggalkan yg buruk.  Itulah satu2nya peraturan yg tepat, yg berasal dr hukum alam; utk selebihnya hukum ini memberi kpd m’sia hanya petunjuk, bagaimana seharusnya rupa hukum itu.

Indikasi semacam itu a.l. : Nafsu yg diberikan alam utk mempertahankan diri, yg sama2 dimiliki m’sia dan sgl makhluk hidup lainnya; dari sini m’sia menyimpulkan dg akalnya peraturan yg lebih konkret, seperti larangan membunuh. Nafsu utk berkembang biak dan memelihara kerukunan yg dimiliki oleh m’sia dan binatang; dari ini m’sia dg akalnya menyimpulkan peraturan perkawinan, kekuasaan org tua, kewajiban anak utk menghormati org tua; dan

Alam manusia yg khas, berdasarkan mana ia mencari kebenaran (Ilahi), usaha menuntut ilmu, keinginan utk hidup bersama org lain. Krn itu masuk akal bahwa manusia tdk boleh merugikan orang lain, bhw manusia harus menempati janjinya dsb. c. Lex Humana atau hukum manusiawi, hukum positif yg berlaku. Hukum ini seyokyanya merupakan penjelmaan yg konkret dari dasar yg dihasilkan oleh Lex Naturalis.

Dari Lex naturalis dpt disalurkan lex humana: Langsung – suatu aturan disalurkan langsung dari aturan hukum alam, misalnya larangan mencuri yang langsung disimpulkan dari dari tdk boleh merugikan sesama m’sia. Ini merupakan metode yg biasa dipergunakan dlm ilmu dg menarik suatu kesimpulan (conclusio) dari premis (dalil yg tersedia).

Tidak langsung (indirect) – pihak yg menciptakan mengerjakan dasar hukum alam itu menjadi peraturan, sama seperti arsitek, bertitik tolak dr suatu pemikiran yg global, mengerjakan lebih lnanjut menjadi suatu gambar. Demikian, dari peraturan “jangan berbuat jahat terhdp sesamanya” org dpt sampai kpd suatu peraturan yg menentukan pembunuhan harus dihukum sedang sifat hukuman itu juga hanya dpt diturankan secara tdk langsung melalui metode – determinatio.

Melengkapi – hukummanusiawi itu boleh jug diperluas, tanpa menimbulkan ketentuan itu secara langsung atau tdk langsung dari lex naturalis (tdk boleh bertentangan dg lex naturalis). Inilah yg disebut metode additio. 31/12/09 K=A

Voluntaris Thomas Hobbes ( ) Voluntaris – jika rasionalis bertolak dari rasio (akal) sbg sumber pengenal daru hukum alam, maka para voluntaris menerima voluntas (kemauan) sebagai sumber hukum. Dari itu keluarlah pendapat yg sangat berlainan mengenai hukum alam – Kemauan raja adalah UU. Menciptakan hukum dlm pandangan ini bukanlah “pekerjaan berfikir”, tetapi “memerintah”.

Yg penting di sini adalah perintah yg diberikan itu harus dikerjakan, misalnya “Kamu tdk boleh mencuri”. Dg perintah semacam itu sbg titik tolak, selanjutnya dg bantuan akal org dpt menguraikan norma yg diberikan itu. Sebaliknya pada rasionalis, norma itu dikonstruksikan melalui jalan pikiran: akallah yg utama (premair) dan aturan yg kedua (secondair).

Jika rasionalis dpt mengarah kpd usaha kritis “pembuat hukum”, maka para voluntaris sebaliknya biasanya memperkuat hukum yg berlaku dg pendapat mereka. Sesungguhnya perintah itu merupakan suatu dalil (aksioma) yg tak dpt dilanggar, terhadap mana alasan berdasarkan “akal” tdk dpt menandinginya.

Sebagian besar voluntaris – ketertiban alamiah itu menuntut adanya suatu pemerintah, yg memandang sbg tugas alamiahnya, menciptakan hukum dan mempertahankannya.

Fuller – initi dari m’sia bukanlah akalnya dan juga bukan kemauannya, tetapi kemampuannya berkomunikasi dg org lain. Dg demikian tingkahlaku m’sia dapt dikemudikan dan apakah hal itu akan berhasil tergantung dari ketrampilan mengemudi dr org yg menyusun aturan itu.

Teknologis Lon L. Fuller Teknologis – “jus est ars” – pembuatan hukum itu adalah suatu ketrampilan. Para Teknolog – isi hukum ditempatkan dibelakang; bagi mrk hukum yg baik adalah hukum yg timbul menurut aturan kesenian. Untuk pembentukannya berlaku berbagai desiderata (cita2, keinginan), seperti suatu UU haruslah jelas, tdk berlaku surut, dsb. Salah seorang wakil modern aliran ini Lon L. Fuller.