Surat Balasan Suatu kunjungan ke rumah Bung Hatta yang amat mengesankan ialah waktu saya datang untuk mengambil copy riwayat hidup Sjahrir yang saya minta kepada Bung Hatta, untuk dicek dan dikoreksi bagian-bagiannya yang bersangkutan dengan beliau. Entah bagaimana, pada suatu saat percakapan meluncur ke hal-hal keagamaan dan filsafat. Banyak orang melihat Bung Hatta sebagai seorang yang taat menjalankan syariatnya, tetapi tidak tahu bahwa beliau juga mempunyai perhatian terhadap filsafat (bahkan pernah menulis buku tentang filsafat Yunani), dan juga terhadap hal-hal yang lebih dalam dari ibadah lahiriah. Saya pun menceritakan sedikit mengenai pengalaman-pengalaman saya di tahun-tahun belakangan ini dan beliau mendengarkan dengan penuh perhatian. Saya baru mengerti, mengapa pada kunjungan itu pembicaraan dapat meluncur dari hal-hal sejarah politik dan sebagainya sampai kepada hal-hal of the inner religion. setelah saya membaca ungkapan Bung Hatta sendiri dalam buku Memoir. Di sini dikatakan bahwa seorang ahli Tarikatlah, Ayah Gaeknya, yaitu Syekh Arsjad, yang pertama-tama menanamkan petuah-petuah dan ajaran-ajaran Tauhid, dengan kata-kata sederhana, dalam jiwa Hatta yang masih kanak-kanak. Ajaran-ajaran itu ternyata meninggalkan kesan yang amat mendalam selama hidupnya. Hal itu menjadi bertambah jelas lagi waktu saya baca ucapan-ucapan Bung Hatta yang lain yang dimuat dalam sebuah surat balasan kepada seorang penulis yang mengakui dirinya pejuang untuk Islam, dan yang mau mencoba memancing suatu polemik dengan Bung Hatta dalam mempertentangkan pergerakan nasional dan pergerakan Islam (Karangan Buya Hamka dalam Buku Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta Ke-70, hal. 159). Dalam surat itu Bung Hatta menyebut dua hal yang amat mengesankan, yaitu: “suruhan suara Yang Maha Kuasa dalam dadanya”, dan Iradat (kehendak) Maha Rabbi atas dirinya.” Ucapan-ucapan tersebut mengungkapkan dengan jelas sikap jiwa dan tempat tegaknya Bung Hatta dalam pengabdiannya kepada tanah air, sumber daripada kekuatan moral, keberanian, ketabahan dan tawakalnya yang melandasi segala perbuatan dan amalnya. Tidak lama percakapan kami yang mengesankan itu, kemudian kami kembali ke dunia nyata waktu saat tiba untuk berpamitan; sudah ada orang lain yang menunggu gilirannya masuk. Sungguh, saat-saat yang amat mengesankan dan berharga, dan saya merasa syukur dan bahagia atas kesempatan yang pada diri orang besar ini. Rupanya Bung Hatta terbuka untuk segala macam persoalan duniawi, tetapi seakan-akan menutup diri terhadap orang lain kecuali keluarga dekatnya yang amat dicintainya, untuk perasaan-perasaan dan pikiran yang amat pribadi, sehingga orang umumnya tidak tahu kedalaman jiwanya. Ny. Siti Wahjunah Sjahrir, Pribadi Manusia Hatta, Seri 9, Yayasan Hatta, Juli 2002