Pencatatan Perkawinan Dalam hadis Rasul, yang diriwayatkan oleh al- Tirmidzy berasal dari Siti Aisyah, dimana dinyatakan bahwa Rasul berkata: “I’lanun nikaaha wardhribu alaihi bil gaarbaali”, artinya: “umumkanlah perkawinan itu dan pukullah gendang dalam hubungan dengan pengumuman itu” Dalam hadis Rasul, yang diriwayatkan oleh al- Tirmidzy berasal dari Siti Aisyah, dimana dinyatakan bahwa Rasul berkata: “I’lanun nikaaha wardhribu alaihi bil gaarbaali”, artinya: “umumkanlah perkawinan itu dan pukullah gendang dalam hubungan dengan pengumuman itu” Tim Pengajar Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Islam
Dalam al-Qur’an tidak diatur secara tegas mengenai kewajiban mencatat perkawinan (nikah); Dalam Q.S. al-Baqarah (2): 282 Allah berfirman : “….Jika kamu bermuamalah, maka catat dan hadirkan 2 orang saksi…..” Menurut M. Idris Ramulyo bukti autentik terjadinya perkawinan sesuai dengan analogi (qiyas) ketentuan dalam Q. S. 2: 282. Namun sebagian ahli berpendapat bahwa ayat ini hanya untuk utang piutang.
Selain perlu dicatat, peristiwa perkawinan sebaiknya diumumkan. Para ahli hukum berpendapat, sebaiknya perkawinan dicatat. Walaupun perkawinan itu telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, perkawinan itu sah menurut agama tapi tidak diketahui negara. Selama perkawinan belum dicatat atau belum terdaftar, negara menganggap tidak ada perkawinan. Akibatnya maka tidak ada hubungan hukum antara suami, istri dan anak-anak yang dilahirkan. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Istri tidak dapat menuntut haknya melalui jalur hukum negara. Selain perlu dicatat, peristiwa perkawinan sebaiknya diumumkan.
Menurut hukum Islam pencatatan perkawinan hanya proses administrasi saja, tidak mempengaruhi sahnya perkawinan. Jika melihat manfaat pencatatan, maka pencatatanperkawinan sangat perlu dilakukan bahkan diwajibkan. Selain dicatat, dianjurkan pula untuk diumumkan.
Dalam hadis Rasul, yang diriwayatkan oleh al- Tirmidzy berasal dari Siti Aisyah, dimana dinyatakan bahwa Rasul berkata: “I’lanun nikaaha wardhribu alaihi bil gaarbaali”, artinya: “umumkanlah perkawinan itu dan pukullah gendang dalam hubungan dengan pengumuman itu” Manfaatnya untuk memberi tahu masyarakat bahwa telah terjadi perkawinan sehingga dapat terhindar dari fitnah.
UU Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk Berdasar Pasal 29 UUD 1945 Di Indonesia pada tahun 1946 dibentuk Kementrian Agama Dengan UU No. 22 tahun 1946 yang mulai berlaku di seluruh Indonesia pada tanggal 2 Nov. 1954 melalui (berdasar) UU No. 32 tahun 1954 diatur tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
Dengan berlakunya UU tersebut, Peraturan perundangan mengenai pencatatan nikah yang telah ada d i c a b u t, Yaitu: Huwelijks Ord. Stbl. 1929 – 348, Vorstenlandsche Huwelijks Ordonantie Stbl. 1937 – 98, Huwelijks Ordonantie Buitengewesten Stbl. 1932 - 482
Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No 22 tahun 1946 jo Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No 22 tahun 1946 jo. UU No 32 tahun 1954 ditentukan nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh menteri agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.
UU Perkawinan menempatkan pencatatan suatu perkawinan pada tempat (kedudukan) yang penting sebagai pembuktian telah diadakan perkawinan Pasal 2 ayat( 2): tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan bukanlah sesuatu hal yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan.
Perkawinan adalah sah bila telah dilakukan menurut ketentuan agamanya masing-masing walaupun tidak atau belum didaftar. Dalam SK Mahkamah Islam Tinggi tahun 1953 No. 23/19 ditegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftar maka nikah tersebut adalah sah, sedang yang bersangkutan dikenakan denda karena nikah tidak didaftar
Dalam Bab 3 PP No 9 tahun 1975 mengenai Tatacara Perkawinan, Pasal 10 : ( 1)Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat, dengan cara menempelkan surat pengumuman pada kantor pencatat perkawinan. (2)Tatacara Perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
(3)Dengan mengindahkan Tatacara perkawinan menurut agama dan kepercayaannnya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh 2 orang saksi. Pasal 11 (1)Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 10 PP, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh Wali nikah atau yang mewakilinya. (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Mengenai Tugas dan Tanggung Jawab Pegawai Pencatat Nikah diatur dalam Peraturan Menteri Agama No 3 tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama Dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam. Kemudian pada tahun 2004 dikeluarkan Keputusan Menteri Agama RI No 477 tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah.
Pada tahun 2007 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama RI no 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Pada Bab 2 Pasal 2, 3 dan 4 diatur mengenai Tugas Pegawai Pencatat Nikah, yaitu: Pasal 2: Ayat (1): Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.
Ayat (2): PPN dijabat oleh Kepala KUA. Kepala KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta rujuk. Pasal 3 PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya dapat diwakili oleh Penghulu atau Pembantu PPN.
Ayat (1): Pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugas Pembantu PPN dilakukan dengan surat keputusan Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota atas usul Kepala KUA dengan mempertimbangkan rekomendasi Kepala Seksi yang membidangi urusan agama Islam. Ayat (2) : Pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugas Pembantu PPN diberitahukan kepada kepala desa/lurah di wilayah kerjanya.
Pasal 4 Pelaksanan tugas Penghulu dan Pembantu PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 dilaksanakan atas mandat yang diberikan oleh PPN.
Dalam Kompilasi Hukum Islam ditentukan dalam Pasal 5 yang berbunyi sbb: Ayat (1): Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat Ayat (2): Pencatatan perkawinan dilakukan oleh PPN sebagaimana diatur dalam UU No 22 tahun 1946 jo. UU No 32 tahun 1954
Pasal 6 Ayat (1): Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN Ayat (2): Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum
Pasal 7 ayat (1): Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN Ayat(2): Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat nikahnya ke pengadilan agama
Isbat Nikah: Penetapan tentang nikah Diatur dalam Pasal 7 ayat (3). Diajukan ke PA dan hanya berlaku bila: Pada penyelesaian perceraian; Hilangnya Akta Nikah; Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlaku UU No 1 tahun 1974; Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No 1 tahun 1974
Ayat (4) : Yangberhakmengajukanpermohonan isbat nikah adalah: Suami atau istri, Anak-anak mereka, Wali nikah dan Pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Hukuman bagi Pelaku Pelanggar Hukum Pencatatan Perkawinan: UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan NTR Pasal 3 menetukan hukuman denda bagi seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan tidak di hadapan PPN, sebanyak-banyaknya Rp 50,00. Jadi yang kena hukuman denda hanya suami. PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 45 menentukan bahwa perkawinan yang yang dilakukan tidak di hadapan PPN dikenakan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,00. Yang kena hukuman denda : mempelai yaitu suami dan isteri.
UU No. 23 Tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 90 hukuman denda Rp 1.000.000,00. Dalam Pasal 36,37 jo Pasal 90 dinyatakan bahwa perkawinan wajib didaftarkan.