PERSPEKTIF TEORI KOMUNIKASI
I. PARADIGMA POSITIVISME Sejarah Paradigma Positivisme Positivisme dicetuskan oleh pemikir-pemikir Perancis, Henry Sain Simon sebagai penggagas utama dan muridnya Auguste Comte sebagai penerus dan pengembang gagasan. Positivisme yang dikembangkan oleh Comte adalah positivisme sosial yang meyakini kehidupan sosial hanya dapat dicapai melalui penerapan ilmu-ilmu positif. Pemikiran Comte merupakan reaksi terhadap revolusi di Perancis. Revolusi Perancis menghasilkan perubahan sosial dan anarkisme.
Tiga tahap perkembangan sejarah manusia menurut Comte, yaitu: Tahap teologis (Tahap kanak-kanak). Manusia memahami gejala-gejala alam sebagai hasil campur tangan langsung kekuatan Ilahi. Tahap metafisik (Tahap remaja). Gejala alam diyakini berjalan berdasarkan prinsip-prinsip metafisika yang spekulatif. Tahap positivis ilmiah (Tahap kedewasaan). Cara memahami kehidupan dan semseta dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemikir yang meyakini positivisme sosial ini antara lain : Jeremy Bentham, James Mill dan John Stuart Mill di Inggris; Carlo Cattaneo dan Gioseppe Ferarri di Italia; Ernest Laas, Friedrich Jodl, dan Eugene Duhring di Jerman. Selain itu muncul pula Positivisme evolusioner yang dipelopori oleh Charles Lyell, Charles Darwin, Herbert Spencer, Ernst, Hackel dan Wilhem Wundt. Perbedaan dengan positivisme sosial adalah , keyakinan pada interaksi masnusia semesta sebagai penentu kemajuan. Pada tahun 1920-an muncul paham positivisme logis atau positivisme Wina yang berkembang di Austria. Aliran ini memfokuskan pada logika dan bahasa ilmiah. Tokoh-tokohnya antara lain : Rudolph Carnapp, Alfred Ayer, CL Stevenson, Gilbert Ryle, Susan Stebbing, John Wisdom, Bertrand Russel, dan Wittgenstein.
B. Prinsip dan Ciri Paradigma Positivisme Prinsip dari positivisme adalah penggunaan sifat-sifat ilmu alam yang kaku dalam meneliti kejadian sosial. Positivisme adalah aliran filsafat ilmu yang didasarkan pada keyakinan atau asumsi-asumsi dasar: Ontologi : realisme; pemikiran yang menyatakan semua fenomena muncul karena ada hubungan kausalitas Epistemologi: dualisme; fenomena di alam semesta terjadi bebas dari nilai-nilai subjektif peneliti. 3. Metodologi: eksperimental; hipotesis menjadi langkah awal dalam penelitian yang akan diuji kebenarannya.
Beberapa ciri positivisme (Gahral Adian, 2002: 68), yaitu a. Bebas Nilai yaitu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai subjektif peneliti, b. Fenomenalisme; yang diamati adalah fenomena, hal-hal dibalik fenomena tidak terlibat, c. Nominalisme; kebenaran berdasarkan nama atau ukuran, d. Reduksionisme; terjadi penyederhanaan kenyataan menjadi fakta-fakta yang bisa dipersepsi, e. Naturalisme; semua gejala berjalan secara alamiah tanpa campur tangan hal-hal metafisis, f. Mekanisme; semua gejala dapat dijelaskan secara mekanis-determinis layaknya sebuah mesin.
C. Kesimpulan dan Kaitan Paradigma dengan Ilmu Komunikasi. Sosiologi merupakan ilmu sosial pertama yang dikembangkan peradaban manusia,sehingga prinsip-prinsip sosiologi yang positivisme menjadi dasar ilmu komunikasi. Positivisme logis memiliki pengaruh yang cukup penting pada perkembangan ilmu komunikasi. Paradigma positivisme menarik metode ilmu alam ke ilmu sosial. Paradigma positivisme mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab akibat, yang mencerminkan pengirim pesan komunikator untuk mengubah pengetahuan penerima pesan yang pasif (Mulyana,2000:58).
Batasan komunikasi pada paradigma ini berlangsung satu arah, yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau lembaga) kepada seseorang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perspektif yang berusaha memadatkan fenomena sosial dalam bentuk ilmiah membuat hasil penelitian fenomena menjadi dangkal. Pada komunikasi, paradigm ini hanya memfokuskan pada saluran sebagai cara mendapatkan komunikasi yang efektif.
II. PARADIGMA POST-POSITIVISME A. Sejarah Paradigma Post-Positivisme Penyamarataan ilmu –ilmu manusia dengan ilmu-ilmu alam mendapat tantangan keras dari filsuf-filsuf sesudah muncul aliran positivisme. Hal ini dikarenakan manusia bukanlah benda mati atau makhluk yang statis. Manusia selalu berubah, tindakannya tak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti. Gugatan - gugatan ini muncul dengan nama Postpositivisme yaitu pada tahun 1970/1980-an. Pemikiran ini muncul dari Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf dari Frankfurt School, Feyerabend dan Richard Rotry. Pemikiran ini banyak dipengaruhi oleh penemuan Neils Bohr, Werer Heisenberg, dan Einstein. Pemikir Postpositivisme , salah satunya Popper mengkritik objektivisme Comte, namun tetap mengikuti prinsip-prinsip lain yang ada pada positivisme.
B. Prinsip-prinsip Post-Positivisme Meski terdapat perbedaan pemikiran antara aliran positivisme dengan aliran post-positivisme, untuk prinsip dari alirannya tetap sama meski terdapat kritisasi dari aliran post-positivisme. Prinsip-prinsip post-positivisme, meliputi : 1. Ontologi ; bersifat critical realism yaitu memandang realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal yang mustahil bila peneliti dapat melihat realitas itu secara benar(apa adanya). Ontologi kalangan post-positivis lebih menekankan kepada kepercayaan tentang keteraturan dan pola dalam interaksi manusia dengan yang lainnya. Bentuk ontologi paradigma ini meliputi realism, nominalisme, dan konstruksionisme sosial.
Epistemologi dan Aksiologis; meyakini bahwa subjek tidak mungkin dapat mencapai atau melihat kebenaran, apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. C. Struktur dan Fungsi Teori Post-Positivisme Struktur teori dalam tradisi post-positivisme mensyaratkan bahwa teori-teori yang ada mesti menyediakan penjelasan abstrak fenomena empiris dalam bentuk konsep-konsep spesifiik ataupun definisi-definisi, relasi-relasi spesifik antara konsep-konsep tersebut, serta hubungan eksplisit antara konsep-konsep abstrak dan observasi empiric suatu fenomena.
Stuktur seperti ini menekankan pendekatan deduktif dalam teori dimana abstraksi tentang dunia diolah untuk kemudian diuji melalui observasi dalam dunia sosial. Fungsi-fungsi teori yang diyakini kaum Post-positivisme: a. Fungsi explanation, berarti teori harus dapat menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi. b. Fungsi prediction, upaya teori menyediakan penjelasan abstrak mengenai suatu fenomena yang akhirnya digunakan untuk memprediksi hal serupa. c. Fungsi control, upaya teori mampu mengontrol peristiwa yang akan terjadi.
D. Kesimpulan dan Hubungannya dengan Komunikasi Perspektif post-positivisme mambawa pengaruh yang besar pada ilmu sosial termasuk Ilmu Komuniasi. Melalui kritik yang mendasar terhadap positivisme yang terlalu realis, bebas nilai, dan memisahkan subjek dan objek penelitian, post-positivisme memberikan model penelitian khas ilmu sosial. Post positivisme memberikan andil dalam memberikan pemikiran bahwa tidak semua hal di bumi ini bisa ditentukan secara pasti dengan penelitian. Fenomena sosial adalah fenomena yang paling sulit untuk ditentukan secara pasti, karena unsur utama pembentuk fenomena sosial adalah manusia.
Manusia adalah makhluk yang paling dinamis, terkait fisik memang masih lebih mudah untuk diukur seperti berat badan atau tinggi badan, tetapi akan sangat sulit untuk menentukan perilakunya dari satu masa ke masa yang lain. Inilah yang menjadi fokus dari paradigm post-positivisme yang juga berprinsip bahwa perlu memperhitungkan penyebab dari suatu fenomena sosial yang terjadi.
III. PERSPEKTIF INTERPRETIF Sejarah Perspektif Interpretatif Perspektif interpretatif timbul sebagai reaksi terhadap objektivitas dan dualisme subjek-objek yang dibangun positivism. Pada pertengahan abad-18, idealisme Jerman mengawali sebuah semangat dalam ilmu sosial yang mempertimbangkan subjektifitas dan intuisi . Gagasan ini sempat meredup, namun timbul kembali di permulaan abad 20 berkat jasa Max Weber yang menyatakan bahwa metode positivisme dalam ilmu alam tidak tepat untuk dijadikan sebagai sebuah metode pemahaman. Ia menawrkan gerakan interpretasi sosial yang dapat mencatat makna-makna subjektif .
B. Metateori interpretatif B1. Ontologi Realitas sosial hadir dalam beragam bentuk konstruksi mental, berdasar pada situasi sosial dan pengalamannya, bersifat lokal dan spesifik, kemudian bentuk dan formatnya bergantung pada orang yang menjalaninya (Guba, 1990). Ontologi yang dipegang adalah gagasan bahwa realitas tidak akan bisa dimengerti tanpa mempertimbangkan proses sosial dan mental yang terus menerus membangun realitas tersebut . B2. Epistemologi Epistemologi intepretatif merupakan epistemologi subjektif. Kaum interpretatif meyakini tidak adanya hukum universal atau hubungan kausal yang bisa dijadikan kesimpulan mengenai dunia sosial. Kaum interpretatif berupaya mengusahakan pemahaman lokal dari kelompok sosial yang khusus dan kejadian yang khusus pula
B3. Aksiologi Kebanyakan teoretisi interpretatif mengikuti argumen ketidakmungkinan pemisahan nilai dari pengetahuan. Nilai-nilai personal dan profesional adalah sebuah lensa yang melauinya sebuah fenomena sosial diamati. Perspektif interpretatif mendasari metode ilmu sosial dengan memberikan peran subjek dalam menentukan fakta sosial sekaligus memperlakukan manusia tidak sebagai benda-benda sebagaimana positivisme. Ada tiga pandangan dasar yang membentuk perspektif interpretatif yaitu: 1. Hermeneutika Hermeneutika mengajukan metode pemahaman (verstehen) terhadap dunia kehidupan.Hermeneutika menegaskan bahwa fenomena khas manusia adalah bahasa, dan karena itu memahami manusia dapat dimulai dari bahasa.
Inti dari tradisi hermeneutika adalah konsep sebuah teks Inti dari tradisi hermeneutika adalah konsep sebuah teks. Maka subjek dari studi hermeneutika dapat mencakup karya klasik Plato, pernyataan yang dibuat oleh politisi kontemporer, upacara dan ritual khusus dari budaya tertentu, dll. Kontribusi pemikiran hermeneutika untuk teori interpretatif kontemporer dalam komunikasi, diantaranya: Hermeneutika menegaskan pentingnya pemahaman (verstehen) sebagai sebuah oposisi terhadap metode penjelasan (eklaren) Hermeneutika menekankan konsep sentral teks sebagai objek Melalui siklus heremenutika, teori ini menentang pemilahan antara subjek yang mengetahui dan objek/pengetahuan .
2. Fenomenologi “Dunia kehidupan (lebenswelt) adalah dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan”, kata Edmund Husserl. Oleh karenanya fenomenologi menyerukan zuruck zu sachen selbst(kembali kepada benda-benda itu sendiri), yaitu upaya untuk menemukan dunia kehidupan. Prinsip dasar dari fenomenologi adalah: Pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran individu. Makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Dunia dialami –dan makna dibangun- melalui bahasa.
3. Interaksionisme simbolik Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-orang merespons makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang mempengaruhi mereka . Bapak teori interaksionisme simbolik adalah George Herbert Mead (1963-1931).
C. Kesimpulan Sesuai pernyataan Wilbur Schramm bahwa manusia itu tidak mungkin tidak berkomunikasi. Kehidupan sosial dipenuhi berbagai komunikasi dan dalam semua situasi keseharian ini , kita mencari sebuah pemahaman tentang bagaimana dan mengapa komunikasi bekerja. Ilmu komunikasi bukan lagi terbatas pada penelitian mengenai pengiriman pesan, saluran, penerima pesan dan efeknya,; tetapi komunikasi telah mencari makna yang mendasari tindakan komunikasi di dunia sosial.
IV. PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME A. Sejarah Paradigma Post-Positivisme Teori Popper, konstruktivisme meyakini makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran . Popper membedakan tiga pengertian tentang alam semesta : Dunia fisik atau keadaan fisik; Dunia kesadaran atau mental atau disposisi perilaku. Dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni.
Popper mengatkan objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik melainkan selalu melaui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi konstrutivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru mengenai keobjektifan, tetapi juga btasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia. Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glaserfeld dalam Bettencoutr,1989 dan Matthews, 1994).
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan bukanlah tertentu atau deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Pentingnya pengalaman dalam proses pengetahuan ini membuat proses konstruksi membutuhkan beberapa kemampuan sebagai berikut : a. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman; b. Kemampuan membandingkan, mengambil keputusan; Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain. Piaget (1970) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengtahuan ini: a. aspek figuratif berkaitan dengan persepsi,imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap suatu fenomena. b. aspek operatif berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain.
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan (Von Glaserferld dan Kitchener, 1987). 1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. 3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Konstruktivisme memang merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman.
B. Konstruktivisme dalam Ilmu Komunikasi Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekannya (Miller,2002). Konstruktivisme ini lebih berkaitan dengan program penelitian dalam komunikasi antarpersona. Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi : 1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. 2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu dan akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu.
Teori -teori menciptakan dunia. 5. Pengetahuan bersifat sarat nilai. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Aliran ini meyakini bahwa sistem kognitif individu berkembang kompleks. Delia dkk. menegaskan hubungan antara kompleksitas kognitif dengan tujuan dari pesan.
C. Kesimpulan Ilmu komunikasi dalam perspektif kontruktivisme tidak hanya mulai mempertimbangkan konstruksi namun juga menyediakan cara-cara penelitian yang khas. Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Bahasa dalam pandangan konstruktivisme tidak hanya sebagai alat dan dipisahkan dari subjek. Konstruktivisme menganggap subjek sebagi faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap isi pesan.
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material.Konstruktivisme nmenolak pengertian ilmu sebagai "terberi" dari objek pada subjek mengonstruksi ilmu pengetahuan. Pandangan konstruktivis mengakui adanya interaksi antara ilmuwan dengan fenomena yang dapat memayungi berbagai pendekatan atau paradigma dalam ilmu pengetahuan.
V. TEORI KRITIS A. Sejarah Teori Kritis Teori ini dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt,yang digunakan untuk mengkritik keadaan pada masa setelah Renaissance. Pada masa abad 17 dan 18 muncul Immanuel Kant, Hegel, Marx yang oleh Mazhab Frankfurt disebut filsuf-filsuf kritis. Teori kritis dipengatuhi oleh Marxisme, namun dalam beberepa hal dianggap berbeda dengan Marxisme. Teori ini disebut juga Mazhab Frankfurt, penyebutan ini didasarkan pada lembaga pertama yang mengembangkan teori kritis, yaitu Institute fur Sozialforchung di Frankfurt, Main di Jerman. Cara pemikiran Aliran Frankfurt mereka sebut dengan Teori Kritik Masyarakat (Teori Kritis). Maksud teori ini ialah membebaskan manusia dari pemanipulasian para terknokrat modern. Dua tokoh utama teori kritis ialah Max Horheimer (1895- 1973) dan Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969). Tokoh lainnya adalah Herbert Marcuse.
Generasi pertama mazhab ini mengembangkan gagasan Lukacs tentang reifikasi. Lukacs mengembangkan pandangan tentang adanya gejala hubungan –hubungan antarmanusia yang Nampak sebagai hubungan antara benda-benda. Teori kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan konstruktivisme yang kurang sensitive pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Analisis teori kritis tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti konstruktivisme. Analisis kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dengan kekuatan sosial yang ada dalam masyrakat. Bahasa komunikasi tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara.
Teori kritis dapat dianggap sama dengan paradigma konstruktivisme dengan alasan sebagai berikut: 1. Teori kritis meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu dikonstruksi atas dasar kepentingan manusiawi. 2. Dalam praksis peneliatian dibuat sangat bergantung dengan nilai-nilai si peneliti. 3. Standar penilaian ilmiah bukan ditentukan prinsip verifikasi atau falsifikasi melainkan didasarkan konteks sosial historis serta kerangka pemikiran yang digunakan ilmuwan. Aliran teori kritis ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu.
Denzin dan Guba (2001) menyebutkan dilihat dari segi ontologisme, paham perpektif ini sama dengan post-positivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Secara epistemologis, hubungan anrata pengamat dengan realitas merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. B. Pendekatan Teori Kritis pada Komunikasi Kajian komunikasi mulanya mencakup retorika saja, lalu munculla publisistik (ilmu persuratkabaran), maka berita terutama bagaimana menyampaikan gagasan atau pesan melalui tulisan menjadi objek komunikasi. Perspektif ini melihat masyarakat sebagi satu sistem kelas sebagai suatu sistem dominasi dan media adalah salah satu bagian dari sistemm dominasi tersebut.
C. Kesimpulan Perspektif teori kritis adalah upaya membongkar ideologi dominan yang menindas. Ideologi menjadi inti kritiknya. Ideologi dalam hal ini dapat dipahami sebagai relasi kekuasaan yang ada di luar suatu kelas. Misalnya, kaum feminis mengkritik kaum patriarkat yang menindas kaum feminis. Tidak hanya ditentukan oleh konstruksi budaya atau kognisi seseorang, komunikasi juga ternyata mengandung ideologi tertentu.
Positivisme & Post-positivisme Konstruktivisme, (interpretif) Teori Kritis Menempatkan ilmu sosial seperti ilmu alam, yaitu metode terorganisir untuk mengkombinasikan ‘deductive logic’ melalui pengamatan empiris, agar mendapatkan konfirmasi tentang hukum kausalitas yang dapat digunakan bagi memprediksi pola umum gejala sosial tertentu Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis atas ‘socially meaningful action’ melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah, agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana aktor sosial mencipta dan memelihara dunia sosial Mengartikan ilmu sosial sebagai proses kritis mengungkap ‘the real structure’ dibalik ilusi dan kebutuhan palsu yang ditampakkan dunia materi, guna mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan subjek penelitian Contoh Teori Ekonomi Politik Liberal, Teori Modernisasi, Teori Pembangunan Negara Berkembang, Interaksionisme Simbolik (Iowa School), Agenda Setting, Teori Fungsi Media Konstruktivisme Ekonomi Politik (Golding & Murdock), Fenomenologi, Etnometodologi, Interaksi Simbolik (Chicago School), Konstruksionisme (Social Construction of Reality Peter L . Berger) Strukturalisme Ekonomi Politik (Schudson), Instrumentalisme Ekonomi Politik (Chomsky, Gramsci dan Adorno), Teori Tindakan Komunikasi (Jurgan Habermas)