HUKUM PERSAINGAN INDONESIA dan HUKUM ACARANYA Paripurna P. Sugarda
HUKUM PERSAINGAN INDONESIA Suatu kompromi antara persaingan kepentingan dan ideologi (Pasal 2) - efisiensi ekonomi - perekonomian rakyat dan sifat gotong royong - anti konglomerat - persyaratan IMF Hukum bersifat samar-samar dan tidak jelas - memungkinkan terjadinya interpretasi yang berbeda - kebanyakan makna praktik dari hukum akan tergantung pada peraturan interpretif dan tindakan KPPU
Pasal 2 Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan Pelaku usaha dan kepentingan umum.
TUJUAN Pasal 3 melindungi kepentingan publik dan kesejahteraan rakyat memperbaiki efisiensi perekonomian melindungi kepentingan publik dan kesejahteraan rakyat mencegah monopolistik dan praktik usaha yang ‘tidak sehat’ menjamin terjadinya peluang usaha yang sama, melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif
LARANGAN-LARANGAN kebanyakan dari larangan-larangan berikut memiliki persyaratan bahwa mereka harus: secara potensial mengarahkan pada praktik-praktik monopolistik, atau persaingan usaha yang tidak sehat, ataupun merugikan masyarakat perjanjian, yang bisa mengarahkan pada ‘praktik monopolistik’ atau persaingan usaha yang tidak sehat: - mengendalikan kegiatan produksi dan pemasaran barang dan jasa - rebuttable presumption bahwa telah terjadi kesepakatan tersebut ketika suatu kelompok pelaku usaha mengendalikan lebih dari 75% dari pasar yang ada
Per se Illegal dan Rule of Reason Suatu tindakan dinyatakan melanggar hukum tanpa dibuktikan terlebih dahulu akibat dari tindakan tersebut (berdampak negatif terhadap persaingan atau tidak). Rule of Reason Suatu tindakan baru dinyatakan melanggar hukum apabila tindakan tersebut terbukti mempunyai dampak negatif terhadap persaingan.
Bentuk-Bentuk Larangan Perjanjian Yang Dilarang Perbuatan Yang Dilarang Posisi Dominan
Perjanjian yang Dilarang Oligopoli (Pasal 4) dilarang membuat perjanjian untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau Pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 2 atau 3 PU atau kelompok PU menguasai 75%, patut diduga atau dianggap oligopoli.
Perjanjian yang Dilarang Oligopoli (Pasal 4) Perusahaan minyak goreng A, B, dan C membuat perjanjian untuk secara bersama-sama melakukan pengaturan jumlah produksi minyak goreng dalam suatu pasar sbb: Perusahaan A = 30% Perusahaan B = 40% Perusahaan C = 20% ______ + Total = 90% Dengan kondisi ini mereka menguasai pangsa pasar lebih dari 75%. Terjadi Oligopoli
Perjanjian yang Dilarang Penetapan Harga/ Price Fixing (Pasal 5) Dilarang membuat perjanjian Untuk menetapkan harga Atas suatu barang dan atau jasa Yang harus dibayar konsumen atau pelanggan Pada pasar bersangkutan yang sama. Kecuali: Usaha patungan; didasarkan UU
Perjanjian yang Dilarang Penetapan Harga/ Price Fixing (Pasal 5) A, B, C dan D adalah produsen barang “X” di pasar Y. Produk tersebut dijual per unit oleh: A = Rp. 1.000,00 B = Rp. 1.200,00 C = Rp. 900,00 D = Rp. 1.000,00 Pada suatu kesempatan mereka bertemu dan bersepakat untuk tidak menaikkan harga sampai dengan tahun depan.
Perjanjian yang Dilarang Penetapan Harga Diskriminasi harga (per se illegal) (Art. 6) Predatory pricing (rule of reason) (Art. 7) Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan (rule of reason) (Art. 20) Dilarang membuat perjanjian yang memuat persyaratan; Bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan (rule of reason). (Art.8)
Perjanjian yang Dilarang Diskriminasi Harga/ Price Discrimination (Pasal 6) Perusahaan penerbangan “A” mengadakan perjanjian dengan perusahaan penerbangan “B” untuk menetapkan tarif bagi penumpang asing 30% lebih tinggi dari tarif penumpang dalam negeri untuk rute penerbangan yang sama.
Pasal 8 Dilarang membuat perjanjian yang memuat persyaratan; Bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan (rule of reason).
Perjanjian yang Dilarang Penetapan Harga Vertikal (Pasal 8) Produsen minyak goreng curah “A” menguasai pangsa pasar sebesar 80% di Indonesia. Perusahaan “A” mengadakan perjanjian pemasokan produk dengan perusahaan “B” sebagai penyalur. Di dalam perjanjian tersebut terdapat klausula bahwa perusahaan “B” tidak akan menjual kembali minyak goreng tersebut dengn harga di bawah Rp. 3.000,- per liter di seluruh wilayah Indonesia.
Pembagian Wilayah (Pasal 9) Dilarang membuat perjanjian Bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar Rule of reason
Perjanjian Yang Dilarang Pembagian Wilayah (Pasal 9) Perusahaan “A” dan perusahaan “B” memproduksi barang yang sejenis. Keduanya memiliki pabrik di daerah Jawa Barat Konsumen barang yang diproduksi oleh kedua perusahaan itu ada di Jawa dan Sumatera Dengan alasan agar tidak terlibat dalam perang harga yang dapat merugikan atau bahkan mematikan kedua belah pihak. Perusahaan “A” dan “B” berjanji untuk membatasi wilayah pemasaran “A” akan memasarkan produknya di Jawa dan “B” akan memasarkan produknya di Sumatera
Pemboikontan (Pasal 10) Dilarang membuat perjanjian Yang dapat menghalangi PU lain Untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam dan luar negeri. Dilarang membuat perjanjian dengan PU pesaingnya Untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga: - Merugikan atau dapat diduga akan merugikan PU lain. - Membatasi PU lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Perjanjian Yang Dilarang Boikot (Pasal 10) “A” dan “B” adalah pedagang besar dari produsen “C” dan “D” untuk produk X di pasar tertentu dengan pangsa pasar 80%. “A” dan “B” sepakat untuk tidak membeli barang dari “C” agar dapat mengendalikan harga pembelian dari “D”.
Kartel (Pasal 11) Dilarang membuat perjanjian Yang bermaksud mempengaruhi harga Dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa Rule of reason
Perjanjian Yang Dilarang Kartel (Pasal 11) 3 perusahaan minyak goreng “A”. “B” dan “C” setelah menentukan kuota produksi kemudian menentukan pemasaran (alokasi pasar) Dengan kata lain perusahaan “A”, “B”, dan “C” membuat perjanjian untuk mengurangi persaingan (unfair competition)
Trust (Pasal 12) Dilarang membuat perjanjian Untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, Dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing, Yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa Rule of reason.
Perjanjian Yang Dilarang Trust (Pasal 12) Pemilik perusahaan “A”, “B”, and “C” bersepakat membentuk perusahaan tunggal (bergabung) untuk menentukan produksi, and pemasaran sehingga perusahaan lain sulit untuk menjual di pasar yang dikuasai perusahaan “A”, “B”, dan “C”.
Oligopsoni (Pasal 13) Dilarang membuat perjanjian Bertujuan untuk secara bersama-sama Menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga Rule of reason Menguasai 75% pangsa pasar patut diduga atau dianggap oligopsoni.
Perjanjian Yang Dilarang Oligopsoni (Pasal 13) Perusahaan tapiokan “A”, “B”, dan “C” menguasai pembelian ubi kayu petani yang masing-masing sebesar 30%, 30%, dan 40%. Ketiga perusahaan tersebut kemudian sepakat untuk mengurangi pembelian ubi kayu petani sehingga petani kesulitan memasarkan ubi kayunya Karena menjual ubi kayu ke luar daerah tidak menguntungkan, harga ubi kayu menjadi anjlok
Integrasi Vertikal (Pasal 14) Dilarang membuat perjanjian Untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi Yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau lanjutan Langsung atau tidak langsung Rule of reason
Perjanjian Yang Dilarang Integrasi vertikal (Pasal 14) “A” adalah pabrik sepatu. “B” adalah penyamak kulit yang memasok kebutuhan kulit perusahaan “A” dan pabrik sepatu lainnya Perusahaan “A” adan “B” sepakat untuk merger dan tidak akan menjual kulitnya kepada perusahaan yang lain
Perjanjian Tertutup (Pasal 15) Dilarang membuat perjanjian Dengan syarat pihak yang menerima barang dan atau jasa Hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu atau tempat tertentu (Per se illegal) Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (Per se illegal).
Perjanjian Tetutup (Lanjutan) Pasal 15 Dilarang membuat perjanjian Mengenai harga atau potongan harga tertentu Yang memuat syarat bahwa pelaku usaha yang menerima a. harus bersedia membeli atau menjual dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok
Perjanjian Yang Dilarang Perjanjian Tertutup (Pasal 15) “A” sebagai produsen televisi mengadakan perjanjian penjualan produk-produknya kepada pembeli “B”. Di dalam perjanjian itu terdapat klausula yang menyatakan bahwa “B” bisa membeli produk-produk “A” (televisi) hanya apabla “B” bersedia membeli juga spare part dari “televisi “A”. (Pasal 15[12])
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16) Dilarang membuat perjanjian Dengan pihak lain di luar negeri Yang memuat ketentuan Rule of reason
Perjanjian Yang Dilarang Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16) “A” ingin mengimpor obat anti virus AIDS (HIV) dari USA. Pangsa pasar “A” untuk obat ini di Indonesia adalah 80%. “A” mengadakan perjanjian dengan produsen “B” dari Amerika Serikat yang salah satu klausulnya mnyatakan bahwa “A” tidak boleh menjual lebih dari jumlah tertentu untuk setiap bulannya di Indonesia. Di samping itu tedapat klausula lain yang menyatakan bahwa “B” tidak akan menjual produk tersebut kepada importir Indonesia lainnya selain “A”
Perbuatan yang Dilarang Monopoli Monopsoni Penguasaan Pasar Persekongkolan
Monopoli: Pasal 17 (1) Dilarang melakukan Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran Barang dan atau jasa Rule of reason
Monopoli: Pasal 17 (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap Melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran bila Barang dan atau jasa ybs belum ada substitusinya; atau Mengakibatkan Pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama;atau Satu Pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
Perbuatan yang Dilarang Monopoli (Pasal 17- rule of reason) Perusahaan “Maju” mengembangkan peternakan kerang mutiara di Pulau Hijau. Perusahaan ini satu-satunya perusahaan di bidang tersebut yang menghasilkan biji mutiara yang dipasarkannya sendiri sampai ke luar negeri. Pemasaran salak manis dikuasai oleh perusahaan keluarga Paimin, sehingga harga salak menjadi mahal, tetapi karena salak tersebut tersohor sampai ke pelosok, banyak orang yang membeli meskipun harganya mahal.
Perbuatan yang Dilarang Monopoli (Pasal 17- rule of reason) Kelompok usaha “Sobat” di Propinsi “X” terdiri dari 4 pengusaha besar yang mendirikan perusahaan barang dengan truk yang diberi nama “Bagasi”. Jumlah truk telah mencapai 100 buah dengan jaringan trayek khusus ke ibukota propinsi. Dengan adanya “Sobat” tiga perusahaan sejenis di propinsi itu bangkrut karena tidak mampu bersaing. Kini perusahaan “Sobat” menjadi satu-satunya perusahaan angkutan barang dengan truk. Ongkos angkutan kini naik dari Rp. 5.000,00 menjadi Rp. 7.500,00 per km per m3.
Monopsoni (Pasal 18) Dilarang Menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal Dalam pasar bersangkutan Rule of reason Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal apabila satu pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Perbuatan yang Dilarang Monopsoni (Pasal 18 – rule of reason) A dan B adalah produsen kopi bubuk di kota X. Biji kopi diperoleh dari petani setempat. A dan B masing-masing menyerap 40% biji kopi dari petani tiap kali panen. Untuk efisiensi manajemen A melakukan merger dengan B sehingga mereka menjadi pembeli tunggal.
Perbuatan yang Dilarang Penguasaan Pasar (Pasal 19, 20, 21 – rule of reason) Perusahaan A sebagai pedagang besar minyak goreng curah yang menguasai pangsa pasar 70% di wilayah Jakarta memasok produknya ke wilayah Jakarta dengan harga Rp. 2.500,00 per liter. Perusahaan A membeli minyak tersebut dari produsen minyak B seharga Rp. 2.750,00 per liter. Harga minyak goreng curah dari semua pedagang lainnya (30%) di wilayah yang sama tidak ada yang di bawah Rp. 3.500,00 per liter (Pasal 20).
Perbuatan yang Dilarang Pesekongkolan (Pasal 22, 23, 24 – rule of reason) Sebuah instansi Pemerintah akan membangun gedung untuk kantor. Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut, instansi ini mengundang kontraktor untuk mengajukan tender. PT. “A”, PT “B”, dan PT “C” merupakan kontraktor yang tertarik untuk melakukan pekerjaan pemborongan. Ketiga perusahaan tersebut saling mengetahui bahwa ketiganya akan mengajukan tender. Penawaran diatur. (Bid rigging)
Posisi Dominan Penggunaan Posisi Dominan (Ps. 25) per se illegal Jabatan Rangkap (Ps. 26) Pemilikan Saham (Ps. 27) Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan (Ps. 28)
Posisi Dominan Penggunaan PD (Pasal 25) 5 pabrik roti menguasai 99% pasar roti di kota X. Setelah dipidana karena melakukan price fixing kelima pabrik tersebut melakukan perang harga. Tetai setahun kemudian perang harga tidak lagi berlangsung dan tercapai suatu harga bersama (tanpa kesepakatan). 20 tahun kemudian pabrik roti A, dengan pangsa terbesar, menaikkan harga hampir 2x lipat. Kenaikan itu diikuti oleh kompetitornya dan dalam satu minggu menjadi sama. Setahun kemudian pabrik roti Y, masuk ke pasar di kota X dengan membangun pabrik roti yang canggih di kota itu. Mendadak roti A (pangsa pasar 50%) menurunkan harga roti 20% dan diikuti oleh empat pabrik roti yang lain, sehingga roti Y mengalami kesulitan untuk memulai operasi pabriknya.
Posisi Dominan Jabatan Rangkap (Interlocking Directorate) (Pasal 26) (Rule of Reason) Tuan A adalah salah satu anggota Dewan Komisaris pada PT. X yaitu perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha Wartel. Pada saat bersamjaan A juga merangkap sebagi salah seorang anggota Dewan Komisaris pada PT. Y, yakni perusahaan distributor peralatan komputer. Meskipun tidak bertindak sebagai anggota komisaris pada perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama tetapi antara kedua perusahaan tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dalam bidang atau jenis usaha yang berkaitan.
Posisi Dominan Pemilikan Saham (Pasal 27) Per se Illegal Tuan A memiliki saham 60% saham perusahaan minyak kelapa sawit X di Indonesia. Pangsa pasar perusahaan X adalah 35% Pada waktu yang bersamaan Tuan A juga mempunyai saham 65% pada perusahaan kelapa sawit Y yang juga ada di Indonesia. Pangsa pasar perusahaan Y adalah 30%
A dan B adalah produsen barang X di pasar yang sama. Posisi Dominan Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan (Pasal 28) Rule of reason. A dan B adalah produsen barang X di pasar yang sama. A menguasai pangsa pasar 40% sedangkan B menguasai pangsa pasar 45% Untuk mengurangi persaingan, A dan B merger. Untuk menguasai 75% pangsa pasar produk X, perusahaan A yang menguasai 40% pangsa pasar mengakuisisi perusahaan B.
LARANGAN-LARANGAN (lanjutan) perjanjian mengikat (tying agreement) - baik berbagai pihak atau barang menciptakan suatu monopoli, yang; - bisa menyebabkan terjadinya praktik monopolistik atau persaingan usaha yang tidak sehat - rebuttable presumption bahwa seorang pelaku usaha merupakan suatu monopoli, bilamana pihak-pihak tidak dapat mendapatkan barang dan jasa yang ditawarkan sumber lain pelaku tersebut mencegah pihak lain untuk masuk ke dalam persaingan usaha dengannya pelaku, atau kelompok, mengendalikan lebih dari 50% dari pasar
LARANGAN-LARANGAN (lanjutan) monopsoni perjanjian untuk mengendalikan pasar, dengan - menghambat masuknya pesaing - mencegah konsumen untuk melakukan ‘dealing’ dengan pesaing predatory pricing determinasi unfair pricing (?) (Art.21) bid-rigging konspirasi untuk mendapatkan informasi rahasia pesaing konspirasi untuk mengintervensi kegiatan produksi dan pemasaran pesaing - bertujuan untuk mengurangi kualitas, kuantitas, ataupun timeliness (ketepatan waktu) dari barang dan jasa yang diproduksi
POSISI DOMINAN seorang pelaku usaha memiliki suatu ‘posisi dominan’, ketika; - seorang pelaku tunggal mengendalikan lebih dari 50% dari pasar barang dan jasa - sekelompok pelaku usaha mengendalikan lebih dari 75% dari pasar pelaku yang memiliki posisi dominan bisa tidak menggunakannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk - melarang konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa yang bersaing - membatasi perkembangan pasar dan teknologi - melarang pesaing potensial untuk memasuki pasar
INTERLOCKING DIRECTORATES direksi dan komisaris perusahaan tidak boleh memiliki posisi yang sama di perusahaa lain, yang - perusahaannya bersaing di pasar yang sama - ‘memiliki suatu ikatan erat di area dan/atau aktivitas bisnis’ (??) - perusahaan-perusaan bersama-sama mengendalikan ‘pangsa pasar’ (market share) apakah ini artinya memiliki posisi dominan?
CROSS SHAREHOLDING & MERGER pelaku usaha tidak bisa memiliki saham mayoritas dari perusahaan-perusahaan yang bersaing di pasar yang sama, bilamana kepemilikan tersebut menyebabkan - satu pelaku usaha, atau kelompok lebih dari 50% dari pasar - dua atau tiga pelaku usaha, atau suatu kelompok yang mengendalikan lebih dari 75% dari pasar merger untuk memonopli atau merger, atau akuisisi saham di perusahaan lain, yang menyebabkan praktik monopolistik atau persaingan usaha yang tidak sehat, dilarang
PENGECUALIAN (EXEMPTIONS) tindakan atau perjanjian yang mengimplementasikan dan regulasi perjanjian yang terkait dengan hak atas kekayaan intelektal dan waralaba (franchises) perjanjian untuk menetapkan standar teknis perjanjian riset bersama kartel ekspor usaha skala kecil kerja sama yang bertujuan secara khusus melayani anggota-anggotanya badan usaha milik negara ditetapkan sebagai pengecualian
PROSES PENANGANAN LAPORAN PENELITIAN PEMERIKSAAN PENDAHULUAN PEMERIKSAAN LANJUTAN PUTUSAN & PELAKSANAAN PUTUSAN Selesai Selesai Selesai Selesai Menerima/Meninjau kembali Tdk. Ada Pelanggaran/ Menerima & Melaksanakan Putusan Kelompok Kerja Tidak ditemukan bukti permulaaan Menerima Kasasi Laporan Lengkap Ditemukan bukti permuln Putusan Pengdln. Negeri Sekretariat Komisi Pelaku Usaha MA RAPAT KOMISI Majelis Komisi Pelapor Permoh pentpn eksekusi Lap. Tdk. lengkap Didaftr di BUKU PERKARA/ BUKU LAPORAN Fakta Inisiatif Nota Tim Penyidik Polisi Jaksa Sekretariat Komisi Sekretariat Komisi Penyerahan perkara Sekretariat Komisi Menerima, tidak melaksanakan Sekretariat Komisi Sekretariat Komisi
PROSEDUR PEMERIKSAAN (Pasal 38-46) KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Laporan (Pasal 38) Inisiatif PEMERIKSAAN PENDAHULUAN < 30 hari (Pasal 39 ayat 1) TIDAK DILANJUTKAN PEMERIKSAAN LANJUTAN (a) 60 hari (Pasal 43 ayat 1 Apabila Diperlukan PEMERIKSAAN LANJUTAN (b) 30 hari (Pasal 43 ayat 2) KEPUTUSAN < 30 hari (Pasal 43 ayat 3) Keberatan dalam 14 hari (Pasal 44 ayat 2) DITERIMA <30 HARI (Pasal 44 ayat 1) DITOLAK PENGADILAN NEGERI Diperiksa dalam waktu 14 hari (Pasal 45 ayat 1) PUTUSAN < 30 HARI (Ps. 45 ayat 2) KEBERATAN Kasasi dalam 14 hari (Pasal 45 ayat 3) PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG <30 hari (Pasal 45 ayat 4)
SANKSI Penetapan Pembatalan (ayat 2a dan 2c) Administratif (Ps. 47) Penghentian (ayat 2b, 2c, dan 2d) Pembayaran Ganti Rugi (ayat 2f) Denda 1-25 milyar rupiah 25-100 milyar rupiah atau kurungan maksimal 6 (enam) bulan (Ps.4; Ps. 9-14; Ps. 16-19; Ps. 25; Ps. 27; dan Ps. 28) 5-25 milyar rupiah atau kurungan maksimal 5 (lima) bulan (Ps. 5-8; Ps. 15; Ps. 20; Ps. 24; dan Ps. 26) 1-5 milyar rupiah atau kurungan maksimal 3 bulan Ps. 41) Pencabutan Izin Usaha Larangan Menjadi Direksi/Komisaris Selama 2-5 tahun Penghentian Kegiatan/Tindakan Tertentu Yang Menyebabkan Kerugian Pada Pihak Lain Administratif (Ps. 47) Pidana Pokok (Ps.48) SANKSI Pidana Tambahan (Ps. 49)
Tugas dan Wewenang KPPU Tugas: al. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (ps. 35 UU No.5) Wewenang: al. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tertentu tentang adanya praktek monopoli dan atau persainga usaha tidak sehat
Hukum Acara yang Berlaku Tidak diatur secara jelas UU No. 5: ps 38 s/d ps 46 mengatur tentang tata cara penanganan perkara Berdasarkan tugas KPPU (ps 35 ay. f) untuk menyusun pedoman atau publikasi, maka diterbitkan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penangan Perkara di KPPU.
Proses Pemeriksaan di KPPU “Bernuansa” Pidana Komisi berwenang melakukan penyelidikan dan pemeriksaan. Atas dasar laporan (ps 39), status pelaku usaha yang diperiksa “terlapor” Atas dasar inisiatif KPPU (ps 40), status pelaku usaha yg diperiksa “saksi” Penyelidikan (ps 1 ay 11 Kep. 05): kegiatan anggota majelis KPPU dan atau Tim Penelidik untuk mendaptkan bukti dan atau informasi di lokasi atau tempat tertentu yg diduga atau patut diduga sebagai tempat disimpannya atau beradanya alat bukti. Pemeriksaan (ps 1 ay 8 Kep No 05): tindakan yang dilakukan majelis KPPU untuk memeriksa pelapor, terlapor, saksi, saksi ahli serta pihak lain di kantor KPPU dan atau tempat lain yang ditentukan oleh KPPU sebagai tempat pemeriksaan untuk memperoleh keterangan dan atau bukti yg diperlukan dalam pengambilan keputusan.
Alat-alat Bukti: Dalam pemeriksaan komisi alat bukti yg digunakan (ps 42 UU No.5, sama dengan alat bukti dalam ps.184 KUHAP: Keterangan saksi Keterangan ahli Surat dan atau dokumen Petunjuk Keterangan pelaku usaha
Tahap-tahap Pemeriksaan Komisi a. Pemeriksaan pendahuluan Suatu tindakan KPPU utk meneliti dan atau memeriksa laporan guna menilai perlu atau tdk perlu dilakukannya pemeriksaan lanjutan (ps 1 ay 14 Perat KPPU 1/2006) Jangka waktu 30 hari sejak ditetapkan dimulainya pemeriksaan pendahuluan (ps 39 ay 1 UU No 5) b. Pemeriksaan lanjutan (jika ada indikasi adanya praktek monopoli dan atau persainga usaha tidak sehat.) Serangkaian pemeriksaan dan atau penyelidikan yg dilakukan oleh majelis KPPU sbg tindak lanjut pemeriksaan pendahuluan (ps 1 ay 10 Kep No 05). Jangka waktu 60 hari sejak berakhirnya pemeriksaan pendahuluan (ps 43 ay 1 UU No 5) dan dpt diperpanjang 30 hr lagi (pa 43 ay 2 UU No 5).
Pemeriksaan dalam Sidang KPPU a. Prosedur administratif - Pemeriksaan identitas - Pembacaan hak dari pelaku usaha, saksi atau pihak lain. b. Pemeriksan pokok permasalahan - Pemeriksaan saksi - Pemeriksaan ahli - Pemeriksaan surat/ dokumen - Pemeriksaan pelaku usaha
Pembacaan Putusan 30 hr setelah jangka waktu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan berakhir, KPPU memutuskan perkara (ps 43 at 3) Putusan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untk umum dan segera diberitahukan pada pelaku usaha
Terhadap Keputusan KPPU yang Menyatakan Telah Terjadi Pelanggaran Terhadap UU No 5 ada Dua Kemungkinan: Pelaku usaha menerima keputusan KPPU, wajib melaksanakan dalam wkt 30 hr sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan (ps 44 ay 1 UU No 5). Tidak menerima putusan dan mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 hr setelah menerima pemberitahuan putusan (ps 44 ay 2 UU No 5) Jika tidak mengajukan keberatan dan tidak melaksanakan putusan KPPU, maka KPPU menyerahkan keputusan kpd penyidik (ps 44 ay 4 UU No 5)
Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Harus diperiksa dalam wkt 14 hr sejak diterima keberatan (ps 45 ay 1 UU No 5) Memberikan putusan dalam waktu 30 hr sejak dimulainya pemeriksaan Keberatan adalah upaya hukum pelaku usaha yang tidak menerima keputusan KPPU (ps 1 ay 1 Perma 03 th 2005 ttg tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU) Pasal 2 Perma 03 th 2005 keberatan hanya dapat diajukan oleh Pelaku Usaha Terlapor kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum pelaku usaha tersebut.
Alat Bukti di Pengadilan Negeri Dasar hukum: pasal 164 HIR/ 284 Rbg Surat Keterangan saksi2 Persangkaan-persangkaan Pengakuan, dan Sumpah
Pemanggilan thd Pihak-pihak Menggunakan prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 122 HIR dan seterusnya
Proses Pemeriksaan Para pihak hadir Upaya damai (ps 130 HIR yo Perma No 02/2003 ttg proses mediasi) Pasal 5 ayat 2 dan pasal 6 Perma 03/2005: pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan dan berkas perkara dari KPPU Pasal 6 ayat 1 Perma No 03 th 2005: hak pd Pengadilan Negeri apabila dipandang perlu utk memerintahkan KPPU utk melaksanakan pemeriksaan tambahan dgn menjatuhkan putusan sela.
Upaya Hukum Kasasi Pihak yg tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri berhak mengajukan kasasi ke MA RI (ps 45 ay 3 UU No 5). Pasal 43 UU No 5 th 2004 ttg MA : permohonan kasasi dpt diajukan hanya jika pemohon thd perkaranya tdk mengajukan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain. MA harus memberikan putusan dalam waktu 30 hr sejak permohonan kasasi diterima.
Eksekusi Jika pelaku usaha tdk melaksanakan secara sukarela putusan KPPU, akibat hukumnya: a. KPPU meminta penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (ps 46 ay 2 UU No 5) b. KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan - Menerapkan sanksi pidana: 1. Pidana pokok (ps 48 UU No 5): pidana denda atau pidana kurungan pengganti denda. 2. Pidana tambahan (ps 49 UU No 5): pencabutan ijin usaha dll.