Dari Digul ke Bandaneira Pada akhir Februari 1934 saya ditangkap di Bandung oleh seorang camat PID (polisi rahasia Belanda). Ditahan beberapa hari di kantor polisi, kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin dan ditempatkan di kamar karantina yang terpisah dari sel-sel tempat orang-orang hukuman. Setelah tiga malam dalam penjara, saya baru tahu bahwa Saudara-saudara Burhanuddin dan Soeka berada di kamar sebelah yang jaraknya terhalang antara dua kamar (kira-kira delapan meter). Sekalipun karantina itu di tingkat II, jendela kaca dipaku dari luar. Mungkin Belanda khawatir kalau-kalau kami dapat melakukan kontak dengan orang lain. “Belanda ini hati-hati benar menjaga orang politik,” pikir saya. Setelah ditahan delapan bulan, pada suatu hari saya diminta datang ke kantor direktur penjara. Waktu saya tiba di kantor, terlihat di sana sudah menanti asisten residen Priangan Tengah, kepala PID Albrecht dan Camat Djuhara. Saya harus menjawab 14 vraagpunten (daftar pertanyaan) yang diajukan oleh asisten residen. Setelah saya jawab satu per satu, pada penutupnya masih diajukan pertanyaan, yang maksudnya untuk mengetahui apakah saya mempunyai hal-hal lain yang akan dikemukakan. Pertanyaan ini membikin saya dongkol karena mengandung tawaran apakah saya akan minta ampun, agar tidak dibuang ke Digul. Karena itu saya minta kepada asisten residen agar vraagpunten itu dapat segera saya tandatangani saja. Akan tetapi asisten residen menjawab bahwa vraagpunten baru dapat ditandatangani apabila telah diketik baik. Untuk sementara cukup paraf saja. Pada bulan Desember 1934 saya mendapat berita bahwa gubernur jenderal Hindia Belanda telah mengeluarkan surat keputusan bahwa Drs. Mohammad Hatta, Moh. Bondan, St. Sjahrir, Maskun, Burhanuddin, Soeka, dan Moerwoto dibuang ke Boven Digul berdasarkan exorbitante rechten pemerintah Hindia Belanda. Saya mengetahui kemudian bahwa Saudara Moerwoto ditahan di penjara Banceuy. Pada awal Januari 1935 kami diberangkatkan dari Tanjung Priok dengan kapal KPMT Melchior Treub menuju Tanah Merah Boven Digul, lewat Surabaya dan Ujung Pandang. Dari Ujung Pandang dengan kapal Van der Wijck menuju Ambon. Dari Ambon dengan kapal Albatros menuju Digul, kemudian sampai di Tanah Merah, ibu kota Boven Digul pada tanggal 28 Januari Selanjutnya kehidupan di Tanah Merah tidak akan saya uraikan di sini, karena sudah banyak penulis yang menerangkannya, antara lain dalam buku Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan, seri Perjuangan Eks Digul yang diterbitkan oleh Departemen Sosial Republik Indonesia. Setelah hampir satu tahun berada di Tanah Merah, Saudara Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Bandaneira. Hubungan kami selanjutnya hanya dengan surat-menyurat. Setelah pecah Perang Dunia II hubungan putus sama sekali. Kami tidak tahu bagaimana nasib kawan-kawan masing-masing. Tahun 1943 saya dan kawan-kawan buangan lainnya dipindahkan ke Merauke, dan setelah enam bulan di sana lalu dipindahkan ke Australia. Pada akhir Maret 1946 kami kembali ke Indonesia dengan kapal Australia, Manoora, dan tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Maskun Sumadiredja, Pribadi Manusia Hatta, Seri 7, Yayasan Hatta, Juli 2002