Perspektif-Perspektif Tentang Orde Baru
Memahami Negara Kuat Apabila dilihat dari perspektif hubungan negara dan masyarakat, negara Orde Baru itu kuat (ordinat) dan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat itu lemah (sub-ordinat). Negara adalah pengontrol kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat; Tetapi, bagaima memahami realitas semacam itu, para Indonesianis memiliki perspektif yang tidak sama.
The State-Qua-State Benedict Anderson (1983) merupakan Indonesianis yang menempatkan negara sebagai aktor utama di dalam Orde Baru; Dia mencoba menganalisis kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Orde Baru; Negara memiliki kepentingan sendiri di dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan itu; Kepentingan-kepentingan negara tidak paralel dengan kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat;
Menurut Anderson, negara modern Indonesia pada masa Orde Baru memiliki karaketristik: melayani entitasnya sendiri dan mencapai kepentingan-kepentingan itu atas ‘baiaya’ dari berbagai kelompok kepentingan yang ada di dalam masyarakat; Negara Orde Baru dikatakan Anderson rakus, menikmati sumber-sumber yang ada; Konstruksi negara Orde Baru semacam itu merupakan keberlanjutan dari negara pada masa kolonial, di mana kebijakan-kebijakan merupakan refleksi kepentingan negara dan bukan kepentingan masyarakat; Kekuasaan negara sendiri ada di tangan militer.
Bureaucratic Polity Konsep bureaucratic polity dipakai oleh Karl D. Jackson (1978). Konsep ini dipinjam dari Fred Riggs yang menjelaskan fenomena di Thailand pada 1950an dan 1980an; Bureaucratic polity sendiri dibatasi sebagai ‘a system in which a limited group of senior bureaucrats, technocrats, and military officers participate in authoritative decision making’; Proses pembuatan keputusan, termasuk proses pengaruh mempengaruhi, hanya melibatkan sekelompok kecil orang di Jakarta, yaitu para elite yang ada di birokrasi dan militer; Di Indonesia, ‘bureaucratic polity’ mulai terjadi sejak diberlakukannya UU Darurat Sipil, yang memungkinkan militer memiliki pengaruh kuat.
Bureaucratic Patrimonial Konsep yang mirip yang dipakai untuk menjelaskan negara Orde Baru adalah ‘bureaucratic patrimonial’. Hal ini, misalnya, terlihat dari tulisan Harold Crouch (1978); Istilah ‘bureaucratic patrimonial’ sendiri berasal dari Max Weber, untuk menggambarkan pentingnya peran ‘pribadi’ (personal) di dalam pengelolaan birokrasi (negara); Esensi dari model ‘bureucratic patrimonial’ adalah bahwa penguasa memiliki peran yang sangat penting, seperti halnya penguasa-penguasa tradisional; dan penguasa memberlakukan prinsip reward and punishment terhadap para elite di sekitarnya. Para penguasa itu memperoleh dukungan dari para elite di sekitarnya. Para elite etrbangun atas sistem patronase. Karena itu klik kelompok elite juga terlihat; Persaingan antar elite bukan atas isu-isu substantif di dalam kebijakan-kebijakan, melainkan atas dasar reward and punishment.
Bureaucratic Pluralism Konsep ‘bureaucratic pluralism’ dikenalkan oleh Donald Emmerson (1976); Dia tidak setuju terhadap penjelasan Anderson yang memahami negara Orde Baru sebagai entitas yang monolitik; Dia juga tidak setuju dengan model bureaucratic polity dan patrimonial yang lebih menekankan pada persaingan personal di seputar penguasa. Dalam pandangan Emmerson, proses politik di Indonesia pada dasarnya tidak monolitik; ada pluralitas di dalamnya; Proses pembuatan keputusan juga melibatkan perdebatan substantif mengenai isu-isu yang diperdebatkan; Meskipun demikian, dia juga mengakui bahwa proses politik masih bercorak elitis dan tidak melibatkan kekuatan-kekuatan yang ada di luar negara.
Bureaucratic Authoritarian Konsep ‘bureaucratic authoritarian’ dipakai oleh Dwight King (1977) untuk menjelaskan negara Orde Baru. Konsep ini dipinjam dari Guillermo O’Donnell tentang fnomena di negara-negara di Amerika Latin pada 1960an dan 1970an. Dalam pandangan O’Donnell, karakteristik diktaktor pada lembaga-lembaga politik itu bukanlah warisan penguasa lama, melainkan dalam ranga untuk membangun sistem kapitalis; Kekuasaan negara, termasuk penggunaan kekerasan, ada di tangan para elite militer dan birokarsi; Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat dikeluarkan dari arena proses politik.
Bureaucratic authoritarian dipakai oleh King untuk menjelaskan fenomena otoritarianisme yang berbasis militer; Tetapi, berbeda dengan otoritarianisme pada umumnya, bureaucratic aurhoritarian mencoba menjelaskan fenomena itu melalui penglihatan adanya komitmen suatu negara untuk menjadi bagian dari sistem kapitalisme. Para birokrat dan teknokrat merupakan aktor kunci di dalam melakukan pembangunan ekonomi. Sementara itu, militer, berperan untuk menjaga stavilitas dan keamanan.
Ketika dikaitkan dengan perspektif state-society relations, strategi yang dipakai oleh negara Orde Baru adalah melalui korporatisme negara (state corporatism); Di dalam korporatisme negara, sistem perwakilan dikendalikan oleh negara. Eksistensi dan kepentingan kekuatan masyarakat dikendalikan; Dengan demikian, ada proses ‘pengeluaran’ kekuatan-kekuatan itu dari proses pembuatan keputusan.
Pendekatan Struktural Indonesianis yang memperkenalkan pendekatan ini adalah Richard Robison (1978); Dalam memahami negara Orde Baru, Robison mencoba menggunakan analisis kelas, yaitu munculnya kelas borjuis di dalam masyarakat kapitalis; Pertanyaan yang diajukan adalah sejauhmana kelas ini cukup mampu mempengaruhi proses politik;
Menurut Robison, di negara Orde Baru, kelas kapitalis telah mulai tumbuh. Tetapi, kelas ini tidak cukup kuat mempengaruhi kebijaka-kebijakan; Negara, dalam pandangan dia, memiliki posisi ‘otonomi relatif’, di mana negara memiliki kepentingannya sendiri, tetapi masih tidak lepas dari kepentingan dari kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat, termasuk kepentingan kelas kapitalis; Konsep negara otonom dipinjam dari konsep Marx tentang negara Prancis yang dipimpin Napolion Bonaparte; Negara tidak dikendalikan oleh kepas tertentu, tetapi negara memiliki kepentingan untuk menjaga keberlangsungan sistem, termasuk sistem kapitalisme.
Restricted Pluralism Konsep restructed pluralism diperkenalkan oleh William Liddle (1985); Dalam pandangan Liddle, kekuatan negara Orde Baru tidak monolitik, dan hanya melibatkan aktot-aktor yang berkaitan dengan negara; Kekuatan-kekuatan yang ada di luar negara juga masih memiliki interaksi dengan kekuatan negara; Meskipun demikian, pengaruh kekuatan kelompok-kelompok di luar negara itu terbatas.