Merenungkan Kembali Arti Menjadi Kader Eko Novianto
Barangkali di antara kita ada yang telah menjadi kader Tarbiyah sejak beberapa tahun yang lalu. Atau ada pula yang baru bergabung dengan komunitas tarbiyah ini 1 tahun atau bahkan kurang dari itu.
Bahwa ukuran waktu memberi kita label “orang lama” atau “orang baru”, memang tidak bisa dihindari.
Tetapi hal itu tidak memiliki arti apapun bila lama dan baru dipakai sebagai simbol “keterhormatan” seseorang dalam komunitas ini.
Lamanya waktu hanya akan berarti bila ia dimaknai sebagai “kesempatan untuk beramal”. Artinya, waktu itu hanyalah ukuran kesempatan. Begitu pula sebaliknya, bila kita baru menjadi kader, maka, menjadi kader dalam perspektif kesempatan hanyalah soal takdir.
Namun pada dasarnya, yang memberi kita rasa terarah, perasaan menuju ke tujuan yang sesungguhnya mengapa menjadi kader adalah kesadaran yang tumbuh dalam diri kita sendiri.
Kita perlu bahan bakar untuk terus menjalani tugas sejarah ini dengan tanggungjawab sebagai kader dengan penuh dedikasi dan produktivitas.
Setidaknya ada 4 (empat) kesadaran yang bisa menjadi bahan bakar…
Yang pertama adalah kesadaran argumentasi (al-wa’yu al-ma’rifi)
Kedua, kesadaran afiliasi (al- wa’yu al intima-i)
Ketiga, Kesadaran peran produktif (al wa’yu al intaji)
Keempat, kesadaran ekspektasi (al- wa’yu al amali)
Terima kasih dan Mohon Maaf