Kuntoro: Pelajaran Penting dari Brasil Kepala Satuan Tugas untuk Persiapan Pembentukan Lembaga Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation/REDD+, Kuntoro Mangkusubroto, menyatakan berbagai lembaga yang ada di Brasil dinilai cukup efektif dan berhasil menjalankan peran pengurangan emisi. Kunci dari ini semuanya adalah keterbukaan ke masyarakat. -- Kuntoro Mangkusubroto Salah satu penopangnya adalah informasi yang disampaikan kepada masyarakat sangat terbuka sehingga masyarakat dapat terlibat dan ikut mengawasi kemajuan dan kekurangan dari pelaksanaan program pengurangan emisi di negara tersebut. Penilaian itu disampaikan Kuntoro, yang juga Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) saat ditanya pers mengenai hasil studi bandingnya ke Brasil, seusai Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Senin (4/10/2010) sore. Pekan lalu, sebagaimana disampaikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Kuntoro bersama sejaumlah pejabat lainnya melakukan studi banding ke Brasil, yang tengah menjalankan program pengurangan emisi berdasarkan bantuan dana internasional. Studi banding dilakukan untuk mempelajari aspek-aspek kelembagaan pengurangan emisi nasional mulai dari program sampai organisasi keuangannya. (Kompas, 29/9/2010). "Kunci dari ini semuanya adalah keterbukaan ke masyarakat. Sebab, pada akhirnya tidak bisa upaya pencegahan dengan menggunakan kekuatan enforcement. Akan tetapi, masyarakat yang harus terlibat. Karena masyarakat harus terlibat, jadi itu bukan sekadar pencegahan atau konservasi, melainkan sesuatu yang dikaitkan dengan keekonomian atau kesejahteraan rakyat," tandas Kuntoro. Oleh sebab itu, tambah Kuntoro, hasil dari keikutsertaaan lembaga-lembaga di Brasil dalam program pengurangan emisi itu, berhasil luar biasa. Lembaga itu sangat efektif sekali. Satu hal yang membuat masyarakat memiliki kepercayaan tinggi kepada lembaga itu karena berbagai macam informasi dan data secara terbuka disampaikan ke masyarakat. "Dengan demikian, masyarakat ikut terlibat dan ikut mengamati kemajaun dan kekurangan program pengurangan emisi tersebut," jelasnya. Menurut dia, bentuk kesadaran masyarakat di Brasil dalam pengurangan emisi sudah mencapai tahapan kesadaran yang tinggi. "Tidak ada lagi, kalau anak sakit dan mereka tidak punya uang, mereka lantas akan menebang pohon. Akan tetapi, kalau pemerintah memiliki pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang lebih baik lagi, maka anak yang sakit cukup dibawa ke puskesmas tersebut. Dan, kita tidak perlu menebang pohon lagi," ujar Kuntoro mengambil contoh. Kesulitan di Indonesia, lanjut Kuntoro, pendekatannya terlalu pragmatis sekali. "Ini, tampaknya yang harusnya ditingkatkan lagi. Kadang-kadang, kita terlalu birokratis menanganinya dan kurang dekat dengan kehidupan mereka yang ada di alam," ungkap Kuntoro lagi. Adapun mengenai rencana pencairan dana 200 juta dollar AS dari pemerintah Norwegia terkait pelaksanaan pengurangan emisi, Kuntoro mengakui hal itu tergantung dengan kebutuhan Indonesia sendiri. "Kalau sekarang kita dikasih 200 juta dollar AS, kita akan bingung. Buat apa? Dan, bagaimana perencanaannya? Sebab, sekarang ini, lembaga pendanaannya masih dirancang," lanjutnya. Kuntoro menegaskan, Satgas Persiapan Pembentukan Lembaga REDD+ memang sudah terbentuk. Namun, pihaknya masih merancang organisasi serta unit kerjanya. "Akhir tahun, lembaga tersebut harus sudah siap," kata Kuntoro.