ARAH PEMBANGUNAN SEKTOR POS DAN TELEMATIKA 2004 - 2009 Ir. Gumilang Hardjakoesoema, MSc Direktur Energi, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian Negara PPN / Bappenas Jakarta, 6 Juni 2006
STRUKTUR PRESENTASI KONDISI UMUM Tinjauan Global Tinjauan Nasional Infrastruktur Eksisting Permasalahan RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH 2004-2009 RPJM Nasional Tataran Penyelenggaraan Prioritas Program Pembangunan ISU STRATEGIS SEKTOR TELEKOMUNIKASI PENUTUP
KONDISI UMUM
TINJAUAN GLOBAL Selama satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran paradigma dalam perekonomian dunia, yaitu beralihnya masyarakat industri menjadi masyarakat informasi yang ditandai dengan semakin meningkatnya peran informasi dalam kehidupan manusia Dalam era informasi, sektor pos dan telematika mempunyai posisi strategis karena tidak saja berperan dalam percepatan pembangunan ekonomi tetapi juga peningkatan kualitas hidup masyarakat dan daya saing nasional Penentuan tingkat daya saing suatu bangsa (Global Competitiveness Index) dilakukan dengan memperhatikan 3 sub-indeks, yaitu: (1) teknologi; (2) institusi publik; dan (3) ekonomi makro. Sub-indeks teknologi terdiri dari (a) inovasi; (b) transfer teknologi; dan (c) ICT Dengan demikian, tingkat daya saing suatu bangsa berbanding lurus dengan kondisi ICT bangsa tersebut Untuk negara non-core innovator (termasuk Indonesia), sub-indeks ICT mempunyai kontribusi sebesar 17% terhadap indeks daya saing Pada indeks daya saing tahun 2004, Indonesia berada pada peringkat ke-69 dari 104 negara (Singapura ke-7, Malaysia ke-31, dan Thailand ke-34) Untuk Indeks teknologi, Indonesia hanya berada pada peringkat ke-73
TINJAUAN NASIONAL Peran sektor pos dan telematika sebagaimana diamanatkan dalam UU sektor Mendukung persatuan dan kesatuan bangsa Meningkatkan hubungan antar bangsa Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata Mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan Pertanyaan: Apakah infrastruktur pos dan telematika Indonesia sudah / dapat memenuhi tantangan tersebut ?
INFRASTRUKTUR EKSISTING Kapasitas infrastruktur hingga tahun 2004: Pos (2003): Gedung kantor pos: 4.828 unit Pelayanan bergerak: 3.602 unit Telekomunikasi: Telepon tetap: 9,9 juta ss (teledensitas 4,49%) Telepon bergerak: 30 juta pelanggan (13,48%) Internet: Pengguna: 11,2 juta orang (6,51%) Pelanggan: 1,1 juta orang
INFRASTRUKTUR EKSISTING (2) Jangkauan infrastruktur hingga tahun 2004: Sebagian besar terdapat di Sumatera dan Jawa: 84% infrastruktur pos dan 86% infrastruktur telekomunikasi Terbatasnya ketersediaan infrastruktur di perdesaan 51% infrastruktur pos dan 36% infrastruktur telekomunikasi Teledensitas fixed line: 35% (Jabodetabek); 11-25% (perkotaan); 0,2% (perdesaan) Jangkauan infrastruktur penyiaran meliputi 80% penduduk
INFRASTRUKTUR EKSISTING (3) NEGARA TELEDENSITAS (%) SAMBUNGAN TETAP SAMBUNGAN BERGERAK PENGGUNA INTERNET Brunei Cambodia Indonesia Lao Malaysia Myanmar Philipina Singapura Thailand Vietnam 25,57 0,26 3,65 1,12 18,16 0,72 4,17 46,29 10,55 5,41 40,06 2,76 5,52 1,00 44,20 0,13 19,13 79,56 26,04 3,37 10,23 0,22 3,77 0,27 34,53 0,05 4,40 50,43 9,64 4,30 Bila diamati dari kondisi eksisting, infrastruktur pos dan telematika nasional masih jauh dari memadai sehingga belum mampu menjawab tantangan di era informasi
PERMASALAHAN Permasalahan utama: Terbatasnya kapasitas, jangkauan dan kualitas infrastruktur pos dan telematika sehingga kesenjangan digital belum dapat dikurangi. Hal ini disebabkan oleh: A. Dari sisi supply (terkait kemampuan pembangunan operator) Terbatasnya kemampuan pembiayaan Rendahnya kinerja dan daya saing BUMN (pos dan penyiaran) sehingga pembangunan baru sangat terbatas Belum terjadinya kompetisi yang setara dan masih tingginya barrier to entry sehingga peran dan mobilisasi dana swasta belum optimal Masih adanya kecenderungan untuk membangun baru daripada memanfaatkan infrastruktur eksisting secara optimal sehingga menimbulkan duplikasi investasi Terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi Terbatasnya pemanfaatan industri dalam negeri
PERMASALAHAN (2) B. Dari sisi demand (terkait kebutuhan dan kemampuan masyarakat menyerap layanan yang disediakan operator) Masih terbatasnya industri aplikasi dan content Terbatasnya kemampuan masyarakat untuk mengolah informasi menjadi peluang ekonomi (sesuatu yang mempunyai real economic value) Masih rendahnya tingkat pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi Dengan memperhatikan: Tantangan yang menempatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai enabler pembangunan Permasalahan dalam penyelenggaraan pos dan telematika yang kompleks, baik dari sisi supply maupun demand diperlukan kerjasama antara pemerintah dan penyelenggara (terutama dalam penyediaan infrastruktur) serta masyarakat sesuai dengan peran dan kapasitas masing-masing
DINAMIKA DAN KERJASAMA PEMERINTAH, OPERATOR DAN MASYARAKAT Contoh kasus: penataan ulang spektrum frekuensi radio untuk 3G OPERATOR jaminan investasi kepastian berusaha regulasi yang tidak berubah- ubah Fasilitasi realokasi spektrum Layanan tidak terganggu MASYARAKAT Layanan yang handal (reliable), beragam dan terjangkau (affordable) PEMERINTAH meningkatkan efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi memungkinkan implementasi teknologi baru yang dapat memberikan pilihan bagi masyarakat Peningkatan produksi/ kegiatan ekonomi
KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA Dalam rangka mewujudkan komitmen untuk mempercepat penyediaan infrastuktur, diperlukan langkah-langkah penciptaan iklim investasi yang mendorong keikutsertaan badan usaha swasta. Perpres No. 67 Tahun 2005 menetapkan kerangka kebijakan pemerintah untuk proyek pemerintah melalui kemitraan dengan swasta (Public-Private Partnership atau PPP) yang menitikberatkan pokok persoalan lintas sektor seperti prinsip-prinsip: Uji kelayakan kerjasama oleh pemerintah (due diligence) Pengelolaan Resiko (risk management) Dukungan pemerintah (government support) Tatacara pengadaan yang adil, terbuka, transparan, kompetitif, bertanggung gugat, saling menguntungkan (procurement) Bentuk Proyek Kerjasama antara Pemerintah dengan Badan Usaha: (1) Perjanjian Kerjasama (PPP contract) Kesepakatan tertulis untuk Penyediaan Infrastruktur antara Menteri/ Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha yang ditetapkan melalui pelelangan umum (2) Pemberian Izin Pengusahaan (license) Izin untuk Penyediaan Infrastruktur yang diberikan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kelapa Daerah kepada Badan Usaha yang ditetapkan melalui pelelangan.
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH 2004 - 2009
RPJM NASIONAL : PRIORITAS PEMBANGUNAN 2004 - 2009 Terbatasnya dan tidak meratanya ketersediaan infrastruktur Terbatasnya kemampuan pembiayaan operator Belum terjadinya kompetisi Kurang optimalnya pemanfaatan infrastruktur adopsi dan adaptasi teknologi masyarakat untuk mengakses informasi REFORMASI SEKTOR SUPPLY Kapasitas Jangkauan Kualitas Tarif Kebijakan dan Regulasi Kelembagaan Struktur Industri PENINGKATAN DAN PERLUASAN INFRASTRUKTUR Penyediaan infrastruktur dan jasa yang efisien Program PSO/USO Efisiensi Pemanfaatan Infrastruktur Resource Sharing PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN ICT DEMAND Awareness/knowledge Affordability Awareness Industri Dalam Negeri Aplikasi Local Content
TATARAN PENYELENGGARAAN POS DAN TELEMATIKA TELEKOMUNIKASI TEKNOLOGI INFORMASI PENYIARAN FUNGSI KEBIJAKAN Pemerintah FUNGSI REGULASI (REGULATOR) Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) FUNGSI OPERASI Wilayah Komersial Pembiayaan dan Pelaksana BUMN Swasta USO/ PSO BUMN* Pemerintah** Swasta* * Melalui PNBP **Sebagian kecil dibiayai oleh pemerintah melalui proyek percontohan community access point
PRIORITAS Sesuai dengan karakteristik penyelenggaraan setiap subsektor, dilakukan pendekatan yang berbeda untuk meningkatkan laju pembangunan infrastruktur pos dan telematika Pada penyelenggaraan pos dan penyiaran, pemerintah masih mempunyai fungsi operasi sehingga masih dibutuhkan investasi pemerintah dalam melakukan pembangunan fisik Pada penyelenggaraan telekomunikasi dan teknologi informasi, pemerintah tidak lagi berperan dalam aspek operasi, tetapi lebih bersifat sebagai fasilitator Prioritas pembangunan (yang didanai dari APBN): Kerangka regulasi: perkuatan fungsi pengaturan baik pada tataran kebijakan/regulasi, kelembagaan, maupun industri Kerangka anggaran: penyediaan infrastruktur di daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan (program PSO / USO) (+) Sosial Pemerintah BUMN / Swasta Swasta Ekonomi (+)
PROGRAM PEMBANGUNAN ISU 1 REFORMASI SEKTOR PROGRAM PENYELESAIAN RESTRUKTURISASI POS DAN TELEMATIKA SASARAN PROGRAM 1. Meningkatnya kesehatan dan kinerja penyelenggara pos dan telematika 2. Tergalinya berbagai sumber pembiayaan baru 3. Meningkatnya peran serta swasta 4. Terciptanya efisiensi dan kompetisi yang sehat dan setara dalam penyelenggaraan pos dan telematika
PROGRAM PEMBANGUNAN (2) ISU 2 PENINGKATAN DAN PERLUASAN INFRASTRUKTUR PROGRAM PENGEMBANGAN, PEMERATAAN DAN PENINGKATAN KUALITAS SARANA DAN PRASARANA POS DAN TELEMATIKA SASARAN PROGRAM 1. Meningkatnya efisiensi pemanfaatan infrastruktur yang telah dibangun dan pembangunan infrastruktur baru 2. Tersedianya sarana dan prasarana pos dan telematika hingga ke daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan 3. Tersedianya pelayanan pos dan telematika sesuai dengan kualitas yang memadai 4. Terjaganya kondisi sarana dan prasarana yang telah dan sedang dibangun 5. Meningkatnya peran industri dalam negeri dalam pengembangan sektor pos dan telematika
PROGRAM PEMBANGUNAN (3) ISU 3 PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN ICT PROGRAM PENGUASAAN SERTA PENGEMBANGAN APLIKASI DAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI SASARAN PROGRAM 1. Meningkatnya literasi masyarakat di bidang teknologi informasi dan komunikasi 2. Tersedianya berbagai aplikasi teknologi informasi dan komunikasi 3. Terciptanya kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
ISU STRATEGIS SEKTOR TELEKOMUNIKASI
ISU STRATEGIS DARI ASPEK SUPPLY DAN DEMAND ISU SUPPLY: Perluasan Akses 1. Penciptaan kompetisi level playing field, diantaranya meliputi isu: a. Struktur industri b. Open access c. Perkuatan Badan Regulasi d. Pemberian izin (lisensi) secara transparan e. Harga/Tarif 2. Penggunaan konsep technology neutral 3. Peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur 4. Perkuatan industri dalam negeri ISU DEMAND: Peningkatan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi 1. Peningkatan e-literacy 2. Pengembangan aplikasi dan local content
ISU 1 : PENCIPTAAN KOMPETISI LEVEL PLAYING FIELD ASPEK SUPPLY ISU 1 : PENCIPTAAN KOMPETISI LEVEL PLAYING FIELD
SUB ISU : STRUKTUR INDUSTRI Dengan ditetapkannya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, praktik monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap diakhiri. Melanjuti UU tersebut, pemerintah telah melakukan terminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom dan PT Indosat, serta menetapkan kebijakan duopoli yang mereposisi keduanya sebagai penyelenggara penuh (full network and service provider). Struktur duopoli dirancang sebagai transisi dari monopoli menuju kompetisi. Dua isu terkait pelaksanaan duopoli: Bagaimana efisiensi pelaksanaan duopoli? Bagaimana proses migrasi menuju kompetisi penuh? Penciptaan kompetisi menjadi sulit karena terkait erat dengan karakteristik pasar yang cenderung memperkuat posisi incumbent. Bentuk penyelenggaraan yang terintegrasi vertikal memperbolehkan penyelenggara jaringan untuk menyediakan jasa. Luasnya jaringan, besarnya aset, dan pengalaman yang dimiliki incumbent; serta tingginya sunk cost dan investasi awal pembangunan jaringan menyulitkan pemain baru untuk berkembang dan berkompetisi.
BENTUK PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI Pertama: Pola Kompetisi untuk mewujudkan penyelenggaraan yang efisien: meningkatkan investasi sektor swasta; mendorong laju pembangunan infrastruktur secara signifikan; mendorong inovasi penyelenggara dalam memberikan layanan yang semakin beragam; dan meningkatkan efisiensi perusahaan penyedia jasa telekomunikasi sehingga akan menekan harga layanan menjadi lebih rendah. Kedua: Pola Utilitas yang bertumpu pada peran pemerintah sebagai pelaksana pembangunan. Pola ini banyak digunakan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat, terutama di daerah USO. Penerapan model kompetisi dan utilitas secara ekstrim tidak dapat memenuhi sasaran pembangunan. Pola kompetisi bebas hanya sesuai diterapkan pada segmen masyarakat mampu, sedangkan pola utilitas pada negara yang masih berkembang seperti Indonesia akan menimbulkan stagnasi baik dari segi penetrasi telepon dan kualitas layanan. Diperlukan evaluasi dan penataan ulang bentuk penyelenggaraan (bila diperlukan) dengan mengeksplorasi dan mengkaji berbagai pilihan struktur industri untuk menentukan bentuk penyelenggaraan telekomunikasi nasional yang optimal. STRUKTUR INDUSTRI sebagai muara interaksi antara pemerintah, BRTI, penyelenggara dan masyarakat (pengguna)
(a) Bagaimana format kompetisi penuh yang diinginkan? ►Pembukaan pasar setelah duopoli apakah akan dilakukan secara: nasional dan simultan; beberapa wilayah secara bertahap (staging) tergantung pada kesiapan wilayah tersebut ►Kriteria kesiapan kompetisi ►Model bisnis setiap wilayah: pemerintah kerjasama pemerintah dengan badan usaha/swasta (Public Private Partnership) badan usaha/swasta (b) Apakah struktur industri yang ada sekarang dapat mendukung pelaksanaan kompetisi penuh atau bahkan menciptakan barrier to entry? ►Apakah struktur industri saat ini sudah optimal ►Apakah diperlukan perubahan struktur industri, misalnya dengan melakukan: ▪ pemisahan fungsi antara pemilik dan pengelola jaringan (structural separation); ▪ unbundling infrastruktur incumbent (c) Bagaimana proses migrasinya ►Perubahan/penyempurnaan apa yang diperlukan ►Implikasi yang timbul (d) Bagaimana pengaruh teknologi dan kovergensi ►Perubahan landscape industri ►Implikasi yang timbul
CONTOH STRUKTUR INDUSTRI STRUCTURAL SEPARATION SERVICE-BASED COMPETION Network Providers Service Provider 1 Customers Service Provider 2 Service Provider n Network Providers Service Provider 1 Customers Service Provider 2 FACILITIES-BASED COMPETION Network/Service Provider 1 Customers Network/Service Provider 2 Network/Service Provider n
SUB ISU : OPEN ACCESS Pemerintah perlu menciptakan kondisi open access yang mengharuskan pemilik jaringan eksisting untuk memberikan interkoneksi kepada pemain baru secara adil dan tanpa diskriminasi sesuai dengan tarif dan kualitas yang telah ditentukan, serta memungkinkan para penyelenggara baru untuk mengakses fasilitas yang selama ini hanya dinikmati oleh incumbent. Keadaan ini diharapkan tidak saja menghilangkan barrier to entry serta memberikan kesempatan bagi pemain baru untuk berkembang dan menciptakan basis pelanggan tetapi juga mendorong peningkatan efisiensi penyelenggara. Selanjutnya, efisiensi ini diharapkan dapat memberikan berbagai pilihan kepada masyarakat dan menurunkan harga jual layanan.
SUB ISU : PERKUATAN BADAN REGULASI Salah satu permasalahan utama dalam reformasi telekomunikasi adalah lambatnya kemajuan pembangunan regulasi. Reformasi pada tatanan regulasi pada prinsipnya diharapkan dapat meningkatkan efektivitas regulasi publik pada perusahaan monopoli yang telah diprivatisasi, khususnya terkait dengan masalah harga dan tarif, kewajiban penyedia jasa, dan interkoneksi. Oleh karena itu, diperlukan pemisahan fungsi kebijakan dan regulasi dari fungsi operasi. Pemisahan fungsi kebijakan dan regulasi dari fungsi operasi yang menandai peralihan struktur sektor telekomunikasi dari bentuk monopolistik menjadi struktur pasar yang lebih kompetitif merupakan hal penting untuk menjaga kelancaran transisi peran pemerintah dari pembuat kebijakan dan regulasi sekaligus pemilik dan pelaku pembangunan menjadi pembuat kebijakan dan regulasi, yang selanjutnya hanya menjadi pembuat kebijakan.
SUB ISU : PEMBERIAN IZIN SECARA TRANSPARAN Lisensi pada prinsipnya merupakan pemberian otoritas kepada entitas tertentu untuk menyediakan jasa atau fasilitas operasi telekomunikasi. Oleh karena itu, pemberian lisensi harus dilakukan secara transparan dan tidak diskriminatif kepada pihak yang memang dinilai berkemampuan. Lisensi tersebut harus memberikan gambaran yang jelas kepada semua pihak (pengguna jasa, penyedia jasa lain, dan pemerintah) tentang hak dan kewajiban penerima lisensi. Dengan demikian, kepastian usaha dan kepentingan pengguna jasa mempunyai kepastian hukum dan menjadi terlindungi. Untuk mendorong penyediaan infrastruktur di daerah, perlu dikaji kemungkinan regionalisasi (pemberian lisensi per daerah).
SUB ISU : HARGA / TARIF Dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang kompetitif, rebalancing tarif untuk layanan sambungan tetap sangat diperlukan. Untuk itu, diperlukan komitmen pemerintah dalam melaksanakan hal tersebut. Selain itu, juga diperlukan transparansi penyelenggara telekomunikasi mengenai struktur dan perhitungan rebalancing tarif untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.
ISU 2 : KONSEP TECHNOLOGY NEUTRAL Secara umum, pengembangan suatu industri dipengaruhi oleh faktor teknologi, kebijakan, dan pasar. Di satu sisi, kemampuan inovasi, adopsi dan adaptasi tekologi sangat penting untuk mengantisipasi munculnya teknologi baru yang pada umumnya lebih efisien dan mampu memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat Di sisi lain, kemajuan teknologi harus diantisipasi dengan kebijakan/peraturan yang dapat tetap menjamin kestabilan sistem, kepastian iklim berusaha, dan jaminan pelayanan kepada masyarakat APLIKASI JASA REGULASI KEBIJAKAN TEKNOLOGI PASAR
ISU 3 : PENINGKATAN EFISIENSI PEMANFAATAN DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Terbatasnya sumber daya yang dimiliki, terutama sumber pembiayaan, secara langsung membatasi kemampuan pembangunan. Perlu diambil langkah-langkah peningkatan efisiensi baik dalam pemanfaatan infrastruktur yang ada maupun pembangunan infrastruktur baru, antara lain melalui: (a) optimasi pemanfaatan infrastruktur; dan (b) peningkatan sinergi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur.
(a) Optimasi pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi Terdapat kecenderungan yang lebih mengutamakan pembangunan fasilitas baru dibandingkan dengan pemanfaatan infrastruktur eksisting secara optimal. Keberhasilan upaya penyediaan infrastruktur dapat diukur dari tingkat efektivitas investasi yang dilakukan. Secara umum, terdapat dua aspek yang mempengaruhi efektivitas investasi suatu pembangunan infrastruktur, yaitu ekspansi (tingkat penetrasi), dan intensitas pemanfaatan. Dengan memperhatikan kedua aspek tersebut, efektivitas investasi dapat diukur dari intensitas pembangunan dan pemanfaatannya. Investasi masif untuk pembangunan baru akan menjadi sia-sia apabila tidak diikuti dengan pemanfaatan infrastruktur secara optimal. Faktor Penentu Peningkatan Penetrasi Infrastruktur Intensitas Pemanfaatan Infrastruktur Biaya investasi Keberadaan sistem pembiayaan yang menjamin keberlangsungan pembangunan Tingkat barrier to entry Skema pentarifan Tingkat kejenuhan pasar Ketersediaan infrastruktur Kesesuaian dengan infrastruktur lain Dukungan regulasi
(b) Penciptaan sinergi pemanfaatan dan pengembangan infrastruktur Sejalan dengan berkembangnya peran informasi, kebutuhan infrastruktur telekomunikasi semakin bertambah. Pada penyelenggaraan telekomunikasi yang bersifat monopoli, pemenuhan kebutuhan tersebut sangat sulit dilakukan terutama karena terbatasnya kemampuan operator. Bertambahnya jumlah penyelenggara pada lingkungan multi operator seharusnya dapat meningkatkan kemampuan penyediaan infrastruktur. Pada kenyataannya masih dirasakan adanya kendala akibat besarnya kebutuhan investasi untuk pembangunan baru. Oleh karena itu perlu dilakukan resource sharing antaroperator sebagai upaya efisiensi investasi. Dengan adanya efisiensi investasi, para operator dapat menggunakan hasil penghematan investasi untuk memperluas jaringan akses lokal (last mile) atau pengembangan layanan lain. Selanjutnya, dengan bertambahnya kapasitas infrastruktur, trafik diharapkan akan lebih mudah dibangkitkan dan industri isi (content) dan aplikasi dapat tumbuh dengan baik.
ISU 4 : PERKUATAN INDUSTRI DALAM NEGERI Industri telekomunikasi sangat berperan dalam mendukung pengembangan telekomunikasi. Pengembangan industri dalam negeri juga menentukan teknologi yang dapat dikembangkan secara tepat guna sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan nasional. Perkembangan teknologi telekomunikasi dalam negeri masih terbatas dan masih tergantung pada produk luar negeri, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Sebetulnya, perguruan tinggi dan lembaga riset nasional telah banyak melakukan inovasi dan invensi yang dapat mendukung pengembangan telekomunikasi nasional, namun produk yang dihasilkan masih bersifat ilmiah penelitian dan belum siap memasuki tahap komersialisasi (belum marketable). Perlu dibangun sinergi antara lembaga penelitian dengan industri diantaranya melalui program kemitraan untuk meningkatkan efektivitas pendayagunaan inovasi yang dihasilkan sehingga kemampuan dan daya saing industri dalam negeri dapat lebih ditingkatkan.
ASPEK DEMAND
ISU 1 : PENINGKATAN E-LITERACY Permasalahan rendahnya e-literacy terkait dengan masih terbatasnya daya beli dan tingkat pendidikan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pengguna internet sebagian besar (lebih dari 90%) bermukim di pulau Jawa dengan tingkat pendidikan sarjana/pasca sarjana (sekitar 50%) dan SMA (40%). Keterbatasan pengembangan aplikasi dan content telematika yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat juga secara tidak langsung telah menghambat proses akulturasi telematika di masyarakat. Peningkatan kompetensi dan e-literacy masyarakat dapat diwujudkan melalui kemitraan antara lembaga pendidikan, lembaga riset dan industri misalnya melalui pembangunan IT Parks/Center of Excellence Mengingat pengembangan ICT merupakan kegiatan yang bersifat lintas sektor, lintas instansi, dan lintas daerah, maka diperlukan koordinasi antara instansi yang terkait untuk: Menjamin kesinambungan dan keterpaduan kebijakan, rencana dan program pembangunan teknologi informasi dan komunikasi nasional; Menciptakan sinergi dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada; Menghindari terjadinya duplikasi dan tumpang tindih.
Secara umum, proyek teknologi informasi dan komunikasi dapat dibedakan menjadi: a. proyek untuk kepentingan internal instansi pengusul (seperti database, e-office, dsb); dan b. proyek untuk kepentingan nasional (seperti single window, single identitify number, dsb). Mengingat pada umumnya proyek internal mempunyai skala kecil/terbatas dan tidak terkait dengan instansi pemerintah lainnya, koordinasi perlu difokuskan kepada proyek nasional saja. Sejalan dengan arah kebijakan RPJM Nasional 2004-2009 Sektor Pos dan Telematika mengenai pemakaian bersama suatu infrastruktur (resource sharing), koordinasi harus lebih ditujukan untuk menciptakan efisiensi investasi dan menjamin interoperabilitas antarsistem. Dengan memperhatikan prinsip pengaturan kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan otonomi daerah, juga diperlukan kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menentukan hal-hal apa saja yang termasuk dalam penyerahan kewenangan tersebut untuk menghindari terjadinya duplikasi. Dengan demikian, rencana pembangunan teknologi informasi dan komunikasi harus disesuaikan dengan tugas, fungsi dan kewenangan setiap instansi yang terkait (termasuk instansi pemerintah di daerah).
ISU 2 : PENGEMBANGAN APLIKASI DAN LOCAL CONTENT Pentingnya ketersediaan infrastruktur dalam pengembangan berbagai aplikasi dan content merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Di lain pihak, pengembangan aplikasi dan content juga merupakan prasyarat karena sesungguhnya informasi yang mempuyai nilai ekonomi sedangkan infrastruktur hanya merupakan alat untuk mendapatkan informasi. Pengembangan aplikasi dan content semakin dibutuhkan sejalan dengan berkembangnya pandangan baru dalam pembangunan telekomunikasi yaitu perubahan orientasi pembangunan dari infrastructure-driven menjadi service-driven.
PENUTUP Momentum the new economy telah menempatkan telekomunikasi dan teknologi informasi sebagai salah satu penggerak perekonomian terpenting suatu bangsa. Bercermin dari kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini termasuk segala keterbatasannya, diperlukan komitmen dan upaya bersama untuk mewujudkan penyelenggaraan sektor yang lebih baik. Kompetisi, optimasi, sinergi dan efisiensi merupakan kata kunci dalam melakukan penataan ulang penyelenggaraan telekomunikasi. Tanpa adanya perbaikan, dikhawatirkan bangsa Indonesia akan semakin tertinggal dan menjadi bangsa marginal dalam percaturan internasional.
TERIMA KASIH