Jurnalistik dan Krisis Komunikasi Anggota : Andry Ngadiman Hanna yessica Septyo Jesse Adam Halim Vania Michelle Pangestu Fiki Adiwiguna
Jurnalistik dan krisis komunikasi Dalam iklim komunikasi internasional media massa mempunyai peranan penting: Memberitakan hal-hal yang terjadi diseluruh dunia dalam berbagai bidang
3 cara yang ditempuh : Menempatkan jurnalis dinegara asing Menugaskan jurnalis (koresponden) untuk mengumpulkan bahan informasi atau meliput peristiwa Memenuhi undangan kunjungan dari pemerintah negara lain
Melakukan tugas jurnalistik di negara asing Kebebasan pers memang diakui tetapi tidak bisa serta merta dijadikan alasan untuk meliput peristiwa negara asing, ada prosedur yang harus dilalui untuk mendapat izin tersebut
Prosedur yang harus dilalui : Mengisi formulir permohonan izin Melampirkan rencana liputan (jadwal dan objek liputan) Mengisi daftar kelengkapan yang dilegalisasi otoritas yang ditunjuk Menandatangani surat pernyataan berisi persetujuan yang berlaku di negara ybs
Dalam konteks peliputan perang, izin bagi peliputan terkadang datang dari negara yang terlibat perang, dikarenakan membutuhkan perlindungan yang ketat bagi jurnalis yang bersangkutan. Peliputan tersebut biasanya dimanfaatkan untuk tujuan propaganda negara yang terlibat perang, meski demikian izin juga bisa datang atas permohonan inisiatif wartawan atau organisasi media
Krisis Komunikasi dan Jurnalistik Dalam kehidupan bersosial krisis komunikasi akan terus ada selama masih ada konflik kepentingan. Komunikator akan berusaha memenangi ketegangan yang ada, maka disinilah peran jurnalistik : Menjadi sumber yang dapat memperhalus konflik yang terjadi dan juga membawa satu roh positif dalam perang komunikasi yang terjadi, agar tidak membingungkan khalayak.
Contoh Kasus : Krisis yang terjadi antara Indonesia dengan Australia adalah sebuah dampak dari subyektifitas wartawan Australia dalam penulisan tentang Indonesia : tentang Timor Leste, tentang kekayaan Soeharto pada jaman ORBA dll
Maka pada akhirnya kembali kepada hal yang telah disampaikan, bahwa seharusnya pers dapat memperhalus gesekan alih-alih justru menulis berita-berita yang bernada provokatif dan potensial menimbulkan konflik yang lebih besar.