HUKUM PERS Fakultas Hukum UMSU
5 Juni 1998 awal babakan baru hubungan pers dan pemerintah di era reformasi. Menteri Penerangan (Menpen) Kabinet Reformasi, Muhammad Yunus Yosfiah mengumumkan kebebasan pers , dengan pencabutan lima Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) Republik Indonesia, al tentang :
pembatalan surat izin perusahaan penerbitan pers (SIUPP) Pengakuan terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai wadah tunggal Dan Pengurangan waktu relay siaran berita nasional dari 14 kali menjadi tiga kali sehari. Permen Nomor 01/Per/ Menpen/1984 Tentang Pencabutan SIUPP yang semula dilakukan Deppen, akhirnya diganti dengan Permen Nomor 01/ Per/Menpen /1998, di mana Deppen tidak akan membatalkan SIUPP serta Pengurusan SIUPP yang menggunakan 16 persyaratan menjadi tiga persyaratan saja.
Deppen tidak akan mencabut SIUPP apabila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Pokok Pers dan kode etik jurnalistik. Pencabutan SIUPP dilakukan Departemen Kehakiman melalui proses pengadilan.
Pada tanggal 23 September 1999 Pemerintah mengeluarkan Undang–Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (Undang–Undang Pers). Harapan insan Pers terhadap Undang–Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers (Undang–Undang Pers)…. bahwa Undang–Undang Pers ini dapat menjadi sarana perlindungan bagi mereka dalam menjalankan profesinya
Namun…. munculnya sejumlah sengketa antara wartawan dan perusahaan massa di satu sisi dengan masyarakat di sisi lain, dalam bentuk gugatan perdata dan tuntutan pidana oleh mereka yang merasa dirugikan oleh pemberitaan di media massa, telah mengubah harapan hampir sebagian insan pers.
Satu per satu insan pers yang digugat dan dituntut kalah dan justru di sini dasar hukum yang digunakan adalah perbuatan melawan hukum serta pencemaran nama baik, yang diatur dalam Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang– Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang–Undang Pers tidak menjadi dasar yang kuat bagi insan pers tersebut untuk membela diri mereka. Kasus Tommy Winata melawan Koran Tempo yang paling populer, di samping kasus–kasus lainnya.
Sementara itu… Rumusan delik pers tidak pernah muncul dan bahkan tidak pernah digunakan dalam sidang–sidang kasus tersebut. Karena…. Hingga saat ini memang masih belum satupun rumusan KUHP yang mengatur delik pers secara tegas, apalagi bentuk sanksi hukumnya
Jadi….. Hal tsb menimbulkan masalah bagi kepastian hukum di bidang fungsi pers, khususnya menyangkut perbuatan apa yang dilarang oleh hukum pidana beserta mekanisme penegakannya agar selaras dengan adanya Undang–Undang Pers.
Pers adalah “lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.” (Pasal 1 angka 1 UU PERS)
fungsi fungsi yang dimainkan oleh pers FUNGSI INFORMASI adalah fungsi pers yang paling standar. Munculnya jurnalistik adalah karena adanya informasi yang hendak disampaikan oleh pihak tertentu kepada khalayak masyarakat. FUNGSI HIBURAN juga cukup penting, karena manusia membutuhkan hiburan di sela-sela kehidupannya yang serba serius.
FUNGSI PENDIDIKAN dari pers tak kalah penting, karena pada dasarnya manusia membutuhkan berbagai tuntunan dan pelajaran dalam hidupnya. Pers diharapkan dapat memberikan kontribusi yang baik bagi pengembangan kepribadian manusia. FUNGSI KONTROL SOSIAL merupakan fungsi yang paling banyak disinggung dalam setiap perbincangan mengenai pers. Hal ini disebabkan kehidupan manusia tak pernah mencapai kondisi ideal seperti yang dicita-citakan setiap agama maupun ideologi. Hidup kita dikelilingi oleh ketidakadilan, penyimpangan nilai-nilai moral, kejahatan yang makin brutal, penindasan, dan sebagainya. Di sinilah pers ikut menjalankan peran untuk saling mengingatkan sesama manusia.
Perusahaan pers Badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. (Pasal 1 angka 2, UU PERS)
Bahwa sebagai suatu lembaga, pers dinyatakan sebagai lembaga sosial, Namun…. tidak dinyatakan dengan tegas bahwa pers adalah suatu badan hukum sosial. Hal ini nampak tersurat dalam ketentuan tentang perusahaan pers.
Yayasan dan koperasi adalah badan hukum untuk kegiatan sosial, sedangkan Perseroan Terbatas adalah badan hukum untuk kepentingan komersial. Pada prakteknya, ketidaktegasan fungsi ini juga akan berpengaruh terhadap arah pemberitaan dari pers, jika bobot komersial dari suatu pemberitaan lebih tinggi dari bobot sosialnya, maka proporsi sensasi dalam suatu berita jelas akan mendominasi. Dan berita yang mengutamakan sensasi serta daya jual, biasanya rawan pelanggaran hukum.
Fungsi pers adalah melakukan komunikasi massa melalui kegiatan jurnalistik.
Komunikasi sebuah proses interaksi untuk berhubungan dari satu pihak ke pihak lainnya, yang pada awalnya berlangsung sangat sederhana dimulai dengan sejumlah ide-ide yang abstrak atau pikiran dalam otak seseorang untuk mencari data atau menyampaikan informasi yang kemudian dikemas menjadi sebentuk pesan untuk kemudian disampaikan secara langsung maupun tidak langsung menggunakan bahasa berbentuk kode visual, kode suara, atau kode tulisan.
Bentuk Komunikasi A. Komunikasi Interpersonal (Two-way communication) Komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih yang melakukan interaksi, dimana umpan balik dapat segera diketahui, kegiatan komunikasi ini dilakukan secara tatap muka maupun dengan tidak tatap muka, contoh ngobrol, diskusi, rapat, wawancara
B. Komunikasi Antarpersonal (One-way communication) Komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih tanpa melakukan interaksi, lalu umpan balik dapat tidak ada, kegiatan komunkasi ini dilakukan secara tatap muka maupun dengan tidak tatap muka, contoh briefing, khotbah, kuliah jarak jauh.
Komunikasi Massa (Mass Communication) Komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronis sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Contohnya; Pers, atau TV.
Pada hakikatnya materi komunikasi massa adalah berita dan bukan lain – lain bentuk materi. Hal ini tidak terlepas obyek dari komunikasi massa itu sendiri yaitu, informasi yang bersifat satu /sama, bagi subyek yang berbeda – beda.
berita “suatu informasi tentang kejadian pada waktu tertentu”. Perbedaan hanya pada cara penyampaian, jenis media massa dan jumlah, isi dan jenis berita.
jurnalistik “kegiatan untuk melakukan pengumpulan, penulisan, pengolahan, penyuntingan dan pemuatan sejumlah data yang akan dipublikasikan melalui jenis media massa tertentu. Media massa adalah media yang dipergunakan untuk melakukan komunikasi massa.
Ketentuan Dasar Delik Pers sebagai Delik Pidana Pers sebagai Obyek Hukum Pidana Delik pers disebut juga sebagai “Tindak Pidana Pers”, yaitu suatu tindak pidana yang berkaitan dengan fungsi pers.
“ Unsur Perbuatan (peristiwa pidana)”. Niat Perbuatan Perbuatan telah selesai dilakukan Jadi….. sebagai suatu perbuatan / tindak pidana, maka pers dirumuskan sebagai salah satu obyek Hukum Pidana.
Pers sebagai Subyek Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenal subjek hukum yaitu orang (Pribadi Kodrati). Timbul pemahaman baru mengenai subjek hukum pidana ini yang diawali dengan pemikiran terhadap suatu perkumpulan orang yang melakukan kegiatan hukum. Subjek hukum ini dikenal sebagai Badan Hukum (Pribadi Hukum),
sehingga dengan demikian muncul permasalahan apakah bisa suatu badan hukum diajukan sebagai pelaku tindak pidana ? Hal ini menyangkut doktrin dalam hukum pidana, yaitu "actus non facit reum, nisi mens sit rea" alias "an act does not make a person guilty, unless his mind is guilty" (seseorang tidak dianggap bersalah karena niatnya).
yang memiliki niat adalah orang dan bukan badan hukum, namun…. doktrin ini kini dikalahkan oleh dapat dipidananya korporasi.Pandangan hukum pidana yang tidak menghendaki bahwa badan hukum dapat menjadi subjek hukum pidana tidak lagi digunakan.
Pada Undang-undang tentang Kegiatan Subversif (UU. No Pada Undang-undang tentang Kegiatan Subversif (UU.No.11/PNPS/Tahun 1963) badan hukum dapat dijadikan sebagai subjek hukum pidana. Akan tetapi dalam hal menerima sanksi pidana, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan padanya hanya berupa denda sedangkan bila terdapat juga sanksi kurungan atau penjara maka yang menerimanya adalah orang yang menjadi pengurus yang mewakili badan hukum tersebut dalam bertindak hukum.
subyek hukum pers Wartawan yaitu orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Perusahaan pers Organisasi Pers
Ruang Lingkup Delik Pers dalam Hukum Pidana Hukum pidana Indonesia dibagi menjadi 2 bidang yaitu : a. Hukum Pidana Materiil Hukum pidana materiil berisi tentang ketentuan-ketentuan pidana berupa sanksi-sanksi pidananya. b. Hukum Pidana Formil/Hukum Acara Pidana Hukum pidana formil merupakan ketentuan-ketentuan bagaimana pelaksanaan proses pemeriksaan terhadap suatu tindak pidana. Proses itu dimulai dari Penyelidikan, Penyidikan dan Pemeriksaan di Pengadilan.
Dengan demikian ruang lingkup delik pers dalam hukum pidana adalah termasuk dalam hukum pidana materiil.
Dalam pembahasan penerapan hukum pidana dikaitkan dengan tindak pidana di bidang pers, perlu untuk diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam doktrin hukum pidana Indonesia, untuk dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan pidana maka suatu perbuatan itu haruslah masuk ke dalam ruang lingkup pidana.
Hukum pidana materiil mempunyai ruang lingkup pada apa yang disebut PERISTIWA PIDANA ("STRAFBAARHEID").
Peristiwa Pidana ini mempunyai unsur-unsur 1. Sikap tindak atau perikelakuan manusia. Peristiwa pidana merupakan suatu sikap tindak atau perikelakuan manusia. Hal ini dikaitkan dengan pengertian bahwa yang menjadi subjek hukum pidana adalah manusia sebagai pribadi kodrati.
2. Masuk lingkup laku perumusan kaedah hukum pidana, yang dikaitkan dengan Asas Legalitas (Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)) yang pengertiannya : "Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain telah ada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya".
3. Melanggar hukum; kecuali bila ada dasar pembenar. 4. Didasarkan pada kesalahan; kecuali bila ada dasar peniadaan kesalahan.
Asas Legalitas (Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Asas legalitas tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang dirumuskan dalam bahasa latin berbunyi : "Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali", bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah : "Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluiya", atau dengan kalimat sederhana : "Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain telah ada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya".
Dengan demikian kita tidak dapat menjatuhkan suatu pidana terhadap suatu perbuatan yang belum ditetapkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana. Oleh karena rumusan delik pers dalam hukum pidana merupakan hal yang baru dan belum diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan tentang hal ini, apalagi Undang – Undang Pers. Dan apabila hal itu dinyatakan begitu saja sebagai delik pers, maka hal ini dapat menimbulkan keraguan di dalam penggunaannya.
tetapi untuk adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum jenis – jenis penyalahgunaan fungsi pers, maka dapat dilakukan suatu usaha Interpretasi Ekstentif yang merupakan pemikiran secara meluas serta terbatas dari peraturan perundang-undang yang berlaku positif yang dapat dikaitkan dengan penyalahgunaan fungsi pers serta usaha analogi terhadap hukum positif yang ada untuk digunakan norma-norma hukumnya bagi penerapan delik pers.
Usaha interpretasi ekstentif yang dilakukan tidak hanya sebatas pada peraturan-peraturan yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana saja akan tetapi juga terhadap hukum-hukum positif yang berlaku di Indonesia yang mempunyai aspek pidana.
Ketentuan Hukum Pidana Yang berhubungan dengan Media Massa Mengingat hingga saat ini, rumusan yang baku dan tepat mengenai delik pers belum ada, maka dalam kaitannya dengan delik pidana yang diatur dalam KUHP akan dicari hubungan yang sesuai dengan delik ini, khususnya pasal – pasal mengenai komunikasi, penyebaran informasi dan media massa, yang terdiri dari jenis - jenis :
Delik Kebencian (Haatzaai Arikelen) Delik Penghinaan (Pencemaran Nama Baik) Delik Penyebaran Kabar Bohong Delik Kesusilaan Pertanggungjawaban Penerbitan
Sedangkan jenis – jenis ketentuan tindak pidana yang berhubungan dengan media massa tersebut, dapat disebutkan sebagai berikut : I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal 113 Barang siapa dengan sengaja, untuk seluruhnya atau sebagian mengumumkan, atau memberitahukan maupun menyerahkan kepada orang yang tidak berwenang mengetahui, surat-surat, peta-peta, rencana-rencana, gambar-gambar, atau benda-benda yang bersifat rahasia dan bersangkutan dengan pertahanan atau keamanan Indonesia terhadap serangan dari luar, yang ada padanya atau yang isinya, bentuknya atau susunannya benda-benda itu diketahui olehnya diancam pidana penjara paling lama empat tahun.
Jika surat-surat atau benda-benda ada pada yang bersalah atau pengetahuannya tentang itu karena pencariannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.
III. Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden III. Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden. (putusan MK nomor 013-022/PUU-IV/2006. Berdasarkan putusan tersebut delik penghinaan terhadap kepala negara yaitu pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat). a. Pasal 134 Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
b. Pasal 136 bis : Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika hal itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.
c. Pasal 137 : (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
IV. Penghinaan Terhadap Raja atau Kepala Negara Sahabat Pasal 142 : Penghinaan dengan sengaja terhadap raja yang memerintahkan atau kepala negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
V. Penghinaan Terhadap Wakil Negara Asing a. Pasal 143 : Penghinaan dengan sengaja terhadap wakil negara asing di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
b. Pasal 144 : (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah, atau kepala negara sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam pangkatnya, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan semacam itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
VI. Permusuhan, Kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah a. Pasal 154 : Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
b. Pasal 155 : (1) Barang siapa di muka umum mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
VII. Pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan golongan a. Pasal 156 : Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
b. Pasal 157 : (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan yang semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
VIII. Perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan : (a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (b) Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 156a)
IX. Penghasutan a. Barang siapa di muka umum lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (pasal 160)
b. (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau menentang sesuatu hal lain seperti tersebut dalam pasal diatas, dengan maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaanya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dilarang menjalankan pencarian tersebut. (Pasal 161)
X. Penawaran tindak pidana a. Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (pasal 162)
b. (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penawaran untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana dengan maksud supaya penawaran itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika merasa bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. (pasal 163)
XI. Penghinaan terhadap penguasa atau badan umum Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.(pasal 207)
Catatan khusus MK tentang Pasal 207 KUHP dalam putusannya No 013-022/PUU-IV/2006 bahwa dalam hal pemberlakuan Pasal 207 KUHP, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penuntutan terhadapnya hanya dilakukan atas dasar pengaduan. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi menempatkan Pasal 207 ini sebagai delik aduan. Aparat penegak hukum baru bisa memproses pelanggaran atas Pasal 207 ini setelah ada pengaduan dari penguasa.
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia dengan maksud supaya isi yang menghina itu diketahui atau lebih diketahui umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam pencariannya ketika itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga maka yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. (Pasal 208)
XII. Pelanggaran kesusilaan (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, atau barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran, atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atas pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.. (Pasal 282)
XIII. Penyerangan/ pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang a. (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. (Pasal 310)
b. (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 311)
c. Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirim atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (Pasal 315) d. Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah. (Pasal 316)
XIV. Pemberitaan Palsu (1). Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 317)
XV. Penghinaan atau pencemaran orang mati (1) Barang siapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari salah seorang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai derajat kedua orang yang mati itu, atau atas pengaduan suami (istrinya). (3) Jika karena lembaga matriarkhal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut atas pengaduan orang itu. (Pasal 320)
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau gambaran yang isinya menghina bagi orang yang sudah mati mencemarkan namanya, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, sedangkan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian tersebut. (3) Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari orang yang ditunjuk dalam pasal 319 dan pasal 320, ayat kedua dan ketiga. (Pasal 321)
XVI. Pelanggaran hak ingkar (1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu. (Pasal 322)
XVII. Penadahan Penerbitan dan Percetakan a. Barang siapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu gambar yang karena sifatnya dapat diancam dengan pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika : 1. Si pelaku tidak diketahui namanya dan juga tidak diberitahukan namanya oleh penerbit pada peringatan pertama sesudah penuntutan berjalan terhadapnya. 2. Penerbit sudah mengetahui atau patut menduga bahwa pada waktu tulisan atau gambar itu diterbitkan, Si pelaku itu tak dapat dituntut atau akan menetap di luar Indonesia. (Pasal 483)
b. Barang siapa mencetak tulisan atau gambar yang merupakan perbuatan pidana, diancam dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika : Orang yang menyuruh mencetak barang tidak diketahui, dan setelah ditentukan penuntutan, pada teguran pertama tidak diberitahukan olehnya 2. Pencetak mengetahui atau seharusnya menduga bahwa orang yang menyuruh mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar Indonesia. (Pasal 484)
XVIII. Penanggulangan kejahatan Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484 dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan kewenangan menjalankan pidana tersebut daluwarsa. (Pasal 488)
XIX. Pelanggaran Ketertiban Umum Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan, dan atau pidana paling banyak lima belas ribu rupiah. Barang siapa mengumumkan isi apa yang ditangkap lewat pesawat radio yang dipakai olehnya atau yang ada dibawah pengurusnya, yang sepatutnya harus diduganya bahwa itu tidak untuk dia atau untuk diumumkan, maupun diberitahukannya kepada orang lain jika sepatutnya harus diduganya bahwa itu akan diumumkan dan memang lalu disusul dengan pengumuman. 2. Barang siapa mengumumkan berita yang ditangkap lewat pesawat penerima radio, jika ia sendiri, maupun orang dari mana berita itu diterimanya, tidak berwenang untuk itu. (Pasal 519 bis)
b. Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah. 1. Barang siapa ditempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul kulit, atau isi yang dibikin terbaca maupun gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja. 2. Barang siapa ditempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja.
3. Barang siapa secara terang-terangan atau diminta menawarkan suatu tulisan, gambar atau barang yang dapat merangsang nafsu birahi para remaja maupun secara terang-terang atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau gambar yang dapat membangkitkan nafsu birahi para remaja. 4. Barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang demikian, pada seorang yang belum dewasa dan dibawah umur tujuh belas tahun. Barang siapa memperdengarkan isi tulisan yang demikian dimuka seseorang yang belum dewasa dan dibawah umur tujuh belas tahun. (Pasal 533)
c. Barang siapa terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk menggugurkan kandungan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Persoalan Lex Specialis dari Undang – Undang Pers terhadap Hukum Pidana Perdebatan apakah Undang - Undang Pers dapat digunakan sebagai lex specialis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah, masih terus berlangsung dan belum menemukan titik temu.
Sementara, jumlah jurnalis yang terkena jerat pasal itu kian bertambah Sementara, jumlah jurnalis yang terkena jerat pasal itu kian bertambah. Jurnalis dari beberapa media memang dijerat dengan pasal-pasal pidana dalam KUHP, khususnya pasal pencemaran nama baik dan penghinaan akibat berita yang ditulisnya. Hal itu, ditambah dengan derasnya gugatan perdata pada media massa.
Pendapat bahwa UU Pers merupakan merupakan lex specialis dari KUH Pidana, dilontarkan oleh Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar. Kedua anggota Dewan Pers yang menjadi pembicara dalam acara itu secara tegas menyatakan UU Pers merupakan lex specialis dari KUHP. Artinya, mereka yang menjalankan tugas jurnalistik, tidak bisa dijerat dengan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.
Secara hukum, mereka mendasarkan pandangannya pada pasal 50 KUHP Secara hukum, mereka mendasarkan pandangannya pada pasal 50 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana. Sementara pasal 3 UU Pers menyatakan salah satu fungsi pers nasional adalah melakukan kontrol sosial. Karena tugas jurnalistik yang dilakukan oleh insan pers dianggap sebagai perintah Undang-undang Pers, maka jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik itu tidak bisa dipidana.
Argumen lain adalah pasal 310 KUHP yang menyatakan bahwa pencemaran nama baik bukan pencemaran nama baik bila dilakukan untuk kepentingan umum. Berdasarkan pasal 6 UU Pers, pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Bila UU Pers digunakan, menurut Hinca, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan pers, ia harus menggunakan hak jawabnya dan pers wajib melayani hak jawab itu. Kalau pers tidak mau memuat hak jawab tersebut, UU Pers mencantumkan ancaman denda Rp500 juta. Kalau hak jawab sudah dilayani utuh, maka problem selesai.Ia mengatakan, setelah hak jawab digunakan, pihak yang dirugikan tidak dapat lagi mengajukan gugatan perdata terhadap pers.
Nono Anwar Makarim, Ketua Yayasan Aksara, penggagas sekaligus pembicara di Law Colloquium, berbeda pendapat dengan Hinca dan Amir. Ia menyatakan, sebuah perbuatan, baik direstui oleh hukum, disuruh oleh hukum, atau tidak dilarang oleh hukum, harus dilakukan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, sesuai dengan kepatutan dan tidak boleh melanggar hak orang lain.
"Kalau seorang polisi menindak seseorang, itu sesuai dengan hukum, memang tugas dia untuk menindak seseorang. Tetapi jika ia pukuli orang itu sampai pingsan, itu adalah melakukan sesuatu dengan dukungan UU untuk merugikan orang lain. Jadi, tidak bisa kita mengatakan ada pasal yang menyuruh kita melakukan pekerjaan ini, titik. Tidak bisa, mesti melakukannya sesuai kehendak hukum juga."
Menurut Nono, karena saat ini pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam KUHP masih berlaku, maka yang seharusnya dilakukan adalah mengubah KUHP. Apalagi Nono berprinsip, mengubah KUHP akan membawa kemaslahatan pada seluruh bangsa Indonesia, ketimbang menyatakan UU pers sebagai lex specialis, yang hanya bermanfaat bagi kalangan pers saja. "Alangkah tidak simpatiknya kalau seandainya pers hanya memikirkan diri sendiri. sehingga seandainya anggota pers melakukan sesuatu perbuatan yang bisa dihukum, ia kemudian boleh menggunakan hak jawab tapi kalau warga negara Indonesia yang lain melakukan, ia masuk penjara," ujar Nono.
Menurutnya, yang mesti dilakukan oleh kalangan pers, adalah seperti apa yang telah mereka lakukan selama ini, yaitu membela masyarakat. Dengan menghapus ketentuan-ketentuan pidana yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, termasuk pasal-pasal pencemaran nama baik, maka peraturan di Indonesia akan mengarah pada perangkat peraturan masyarakat beradab.Dikatakan Nono, kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi masyarakat merupakan tindakan masyarakat yang tidak beradab.
Namun, Hinca tetap tidak sependapat dengan Nono Namun, Hinca tetap tidak sependapat dengan Nono. Ia menegaskan,meski melakukan pekerjaan dalam rangka menjalankan peraturan perundang-undangan--seperti dinyatakan dalam pasal 50 KUHP--tidak berarti jurnalis dapat semena-mena menabrak peraturan perundang-undangan yang lain. Hinca menambahkan, sewaktu menjalankan tugas jurnalistik, wartawan terikat pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Ini sesuai dengan pasal 7 ayat 2 UU Pers yang menyatakan bahwa wartawan harus memiliki dan menaati kode etik. Kode etik menyatakan bahwa wartawan tidak boleh membuat berita yang memfitnah dan tidak berimbang. "Apa yang diatur dalam kode etik adalah bagian utuh dari UU Pers. UU Pers satu paket dengan Kode Etik.”
Dalam pandangan Hinca, pengaturan terhadap pers memang harus eksklusif dan berbeda dengan aturan bagi masyarat umum. Pasalnya, pekerjaan jurnalistik adalah bersifat self regulatory, sehingga untuk menjalankan tugasnya ia harus dilindungi dengan ketentuan khusus. Di mata Hinca, berbeda dengan KUHP, paradigma UU Pers adalah tidak memenjarakan wartawan. "Kalau pakai KUHP itu sudah aturan publik, padahal kerja-kerja jurnalistik adalah self regulatory. Wartawan nyolong, sikat dengan KUHP, tapi waktu ia menjalankan tugas jurnalistik, harus diselesaikan dengan cara-cara jurnalistik,” cetus Hinca.
Masalahnya, selama ini dalam beberapa tafsir KUHP, ketentuan pasal 50 itu ditafsirkan hanya untuk pegawai negeri, khususnya polisi atau jaksa. Dalam buku “Komentar KUHP” oleh R. Soesilo misalnya. Soesilo menafsirkan bahwa yang dimaksud menjalankan perintah undang-undang dalam pasal 50 KUHP itu adalah pegawai negeri. "Pegawai negeri yaitu orang yang diangkat oleh negara atau bagian dari negara untuk melakukan jabatan umum dari negara atau bagian dari negara itu.”
Selain perdebatan mengenai pasal 50 KUHP, ada pula yang berpendapat materi dalam UU Pers dianggap tidak lengkap, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai lex specialis dari KUHP. Ketua MA Bagir Manan misalnya, secara tegas menyatakan UU Pers tidak bisa menjadi lex specialis bagi KUHP. Alasannya, dalam UU Pers tidak diatur soal pemidanaan.
Pendapat Bagir : Dengan menyatakan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP dalam sebuah Perma, padahal UU Pers tidak mengatur soal pidana, di mata Bagir itu seperti menciptakan sebuah hukum baru. "Dalam UU Pers tidak ada ketentuan pidananya, lalu apa yang di (lex) specialiskan.”
ketiadaan ketentuan pidana itu pula yang membuat hakim tidak bisa menolak ketika diminta mengadili jurnalis dengan pasal-pasal KUHP. Bagir berpendapat, yang harus didorong adalah pembaruan undang-undang, entah KUHP atau UU Pers. "Kalau sepakat bahwa pers perlu mendapat pelayanan khusus dalam pemidanaan, maka diatur saja, bisa mengubah pasal KUHP atau dimuat dalam UU Pers".
Klaim Bagir bahwa tidak ada ketentuan pidana dalam UU Pers juga dibantah oleh Hinca. Menurutnya, tidak betul jika dikatakan dalam UU Pers tidak ada ketentuan pidana. "Banyak. Yang saya catat ada sembilan pasal,” ucapnya. Ia menunjuk pasal 5 ayat (1) dan (2), pasal 4 pasal 9, pasal 12 jo pasal 18 UU Pers. Namun, lanjut Hinca, berbeda dengan KUHP, dalam UU Pers ancaman hukuman bagi pers yang melakukan kesalahan adalah pidana denda, bukan penjara. Adapun pidana penjara ditujukan bagi orang yang menghalang-halangi kerja jurnalis.
Bahwa saat ini UU Pers tidak digunakan oleh penegak hukum, dikatakan Hinca, itu disebabkan karena kurangnya sosialisasi UU Pers, selain karena usianya yang masih muda. Ia mengemukakan, saat ini tidak ada yang peduli terhadap UU Pers dan kode etik, termasuk wartawan sendiri. Hinca berkeyakinan, masalah yang ada saat ini bukanlah masalah benturan Undang-undang melainkan pemahaman dan implementasi.
Toby Mendel, Direktur Article 19 juga menyuarakan pendapatnya mengenai lex specialis UU Pers dari KUHP Dalam makalahnya, menyatakan bahwa menjadikan UU Pers sebagai lex specialis KUHP adalah sesuatu yang sulit diterima secara hukum berdasarkan beberapa alasan.
Alasan pertama, dan yang paling utama, UU Pers tidak menyebutkan soal pencemaran nama baik, dan sama sekali tidak membahas soal hukum yang sangat kompleks itu. Seorang hakim, yang diharuskan mengadili kasus pencemaran nama baik dengan UU Pers, dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, ia harus membuat peraturan lagi dari nol, sesuatu yang sangat sulit legitimasinya dan pertanggungjawabannya. Atau, ia dapat mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik yang sudah ada, yang berarti bertentangan dengan ide awal penggunaan UU Pers.
Alasan kedua, kalau UU Pers menjadi lex specialis bagi media, maka hal yang sama akan terjadi pada hal lain yang membatasi kebebasan berpendapat. Misalnya untuk persoalan penyebaran kebencian, perlindungan terhadap privacy, proteksi terhadap keamanan nasional dan lain-lain. Implikasi hukum yang terjadi akan sangat luas. Beberapa bidang hukum akan terhapus dan digantikan dengan ketidakpastian hukum.
Ketiga, tidak terlihat sedikitpun indikasi, baik dari UU Pers maupun dari catatan-catatan selama penyusunan undang-undang tersebut yang mengindikasikan bahwa UU Pers memang ditujukan sebagai lex specialis. Menurutnya, sangat sulit untuk menyatakan bahwa UU Pers sebagai lex specialis, sementara UU Pers sendiri tidak mengindikasikan hal tersebut.
Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Tempo yang dituntut dua tahun penjara karena pasal pencemaran nama baik, perubahan KUHP adalah sebuah solusi jangka panjang. Padahal saat ini, korban dari pihak pers terus berjatuhan sehingga diperlukan penyelesaian cepat yang mujarab. Penetapan UU Pers sebagai lex specialis KUHP mungkin merupakan solusi yang cepat dan cespleng.
Prof. Muladi berpendapat, bahwa delik pers perlu diatur dalam RUU ini Prof. Muladi berpendapat, bahwa delik pers perlu diatur dalam RUU ini. Menurut Muladi, selama ini kalau (suatu perbuatan,red) bukan dilakukan oleh pers menjadi tindak pidana dan kalau dilakukan oleh pers menjadi bukan tindak pidana. “Seolah-oleh pers kebal hukum. Padahal pers sama dengan masyarakat umum, sesuai azas equality before the law,” kata mantan Menteri Kehakiman di era Presiden Habibie ini. Menurut Muladi, dalam Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers, tidak diatur mengenai delik pers. Undang-Undang tersebut hanya mengatur administrasi, bukan pidana. Tapi, menurut Muladi, sebelum sampai ke delik pers harus sudah ditempuh hak jawab dan koreksi terlebih dahulu.
Praktisi hukum Adnan Buyung Nasution sependapat dengan Muladi Praktisi hukum Adnan Buyung Nasution sependapat dengan Muladi. Menurut Buyung, tidak bisa pers tidak punya tanggung jawab pidana. Menurutnya, Undang-Undang No.40/1999 terlalu sempit untuk menjangkau delik pers. “Pers bukan Superman yang tidak bisa dijangkau hukum. Undang-Undang Pers hanya mengatur hak jawab, sementara hal lain belum diatur dan belum dijangkau.
Seharusnya sebagai konsekuensi dari berlakunya asas lex specialis derogat lex generalis (hukum yang lebih khusus mengalahkan hukum yang lebih umum), maka terdapat beberapa ketentuan dalam KUHP yang diatur secara khusus pada peraturan undang – undang terkait, semisal dalam Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang - Undang No. 20 Tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu ketentuan mengenai:
Pasal 209 dan 210 KUHP, Bab VIII mengenai Kejahatan terhadap Penguasa Umum; Pasal 387 atau 388 KUHP, Bab XXV mengenai Penipuan; Pasal 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP, Bab XXVIII mengenai Kejahatan Jabatan.
Dengan telah diaturnya secara khusus ketentuan KUHP dimaksud didalam UU No. 31/1999 juncto UU No. 21/2001 maka sebagai akibat hukumnya adalah dicabutnya keberlakuan dari pasal-pasal KUHP di atas. Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan Undang – Undang Pers yang sama sekali tidak memiliki kaitan khusus dengan KUHP terutama mengenai Delik Pers.
THE END