GEREJA YANG BERTUMBUH DI TENGAH PLURALITAS
LATAR BELAKANG - Gereja di Indonesia hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Oleh karena itu penting bagi gereja menjadi “terbuka/ welcome” dan “respect” terhadap realitas kehidupan beragama yang majemuk itu. Kehadiran gereja harus memberi dampak yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat yang majemuk ini.
- Jangan sampai gereja menjadi “makhluk asing” yang tidak dikenal oleh masyarakat, sehingga pada saat masyarakat mendengar atau melihat gereja, mereka justru menjauhi, memusuhi, menyerang gereja karena di benak mereka ada “prasangka” bahwa gereja adalah “makhluk asing” yang menakutkan dan berbahaya.
Hal ini dapat mengakibatkan respon negatif dan destruktif karena gereja tidak pernah memperkenalkan dirinya kepada masyarakat majemuk tersebut. Memang bisa juga terjadi gereja sudah memperkenalkan dirinya, namun kehadiran mereka tetap tidak diterima oleh masyarakat sekitar. Misalnya kasus yang dialami oleh beberapa gereja di Jakarta:
seperti GKI Ciledug Raya, GKI Sarua Indah, HKBP Cinere, GKI Yasmin di Bogor. Mereka telah minta izin kepada pemerintah setempat maupun permisi kepada lingkungan namun hasilnya tidak menggembirakan. Bahkan pengalaman tidak diterima juga dialami oleh kalangan Ahmadiah dimana mereka justru mengalami penderitaan yang lebih berat
dari gereja. Mereka mati dalam dan oleh “kawanan” sendiri dari gereja. Mereka mati dalam dan oleh “kawanan” sendiri. Jadi semakin hari semakin terbukalah mata kepala kita, bahwa agama ternyata sarat kekerasan baik secara fisik, psikis maupun spiritual. - Kekerasan agama telah menjadi fenomena universal yang dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
PENYEBAB KEKERASAN AGAMA Ada beberapa penyebab yang membuat orang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama: Kemiskinan Kesenjangan sosial yang tinggi Banyaknya pengangguran Cara pandang agama yang sempit Cara tafsir terhadap teks-teks kitab suci
yang menyimpang 6. Sikap beragama yang fanatik dan eksklusif 7. Ketaatan/ kepatuhan yang mengekor/ membeo kepada pimpinan kelompoknya - Pluralisme dapat menjadi “jalan keluar” menuju ruang toleransi, ruang saling menghormati dan menghargai dan ruang kesetaraan agama.
PENGERTIAN PLURALISME Pluralisme adalah faham yang mengakui dan menghormati keberagaman atau kepelbagaian berupa suku bangsa, agama, budaya, gender, status sosial. Menurut Th. Sumartana, seorang dosen UKSW, sosiolog agama dan pendiri DIAN Interfidei merumuskan bahwa pluralisme adalah faham mengenai “emansipasi agama.” Artinya tiap- tiap agama
memperoleh posisi yang setara untuk dihargai/ dihormati. Menurut Nurcholis Majid, pluralisme adalah “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.” Hal senada juga diungkapkan oleh M. Syafi’I Anwar, tokoh intelektual dari International Centre for Islam and Pluralism mengatakan bahwa pluralisme
adalah faham yang mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju ajarannya. - Menurut Ahmad Syafii Maarif, tokoh intelektual Muhammadiyah mengatakan bahwa pluralisme dalam kaitannya dengan ajaran agama tidak dimaksudkan untuk mengakui kebenaran di dalam agama lain.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa dalam pluralisme kita tidak harus mengakui kebenaran iman agama lain, melainkan kita perlu menghormati ajaran, simbol dan kegiatan agamawinya. Bila pluralisme adalah faham yang mengusung nilai-nilai bagi penghormatan agama, budaya, gender, dll sebagai bentuk implementasi dari hak asasi
manusia, maka dapat dikatakan bahwa pluralisme merupakan ajaran (konsep) yang memiliki kontribusi positif bagi penegakan pilar-pilar persatuan agama- agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta bagi penyelamatan dunia dan segala isinya. Dengan demikian agama tidak menjadi ancaman bagi kemanusiaan tetapi sebaliknya menjadi
pelindung yang menfasilitasi manusia untuk menyembah Tuhannya.
REAKSI TERHADAP PLURALISME - Tampilnya faham pluralisme ke atas panggung sejarah agama-agama tampaknya tidak mendapatkan sambutan hangat dari mayoritas pemeluk agama. Ketika ia menunjukkan eksistensinya dan maksud baiknya untuk memberi sumbangsih pemikiran bagi penyelesaian konflik dan ketegangan agama ternyata pluralisme tidak hanya dikritik, “diasingkan” atau “diharamkan” tetapi ia ditolak dan dimusuhi.
PENOLAKAN TERHADAP PLURALISME Beberapa faktor yang menyebabkan penolakan terhadap pluralisme adalah: 1. fanatisme Orang yang fanatik cenderung tidak mau membuka mata, pikiran dan hati bahkan menolak kehadiran pandangan lain. Ia berpikir ajarannya paling benar, paling baik sehingga menilai pandangan lain salah dan sesat.
2. Tidak dikenal secara utuh dan benar Ketika pluralisme dilihat sebagai “sosok” yang tidak dikenal dan yang baru sehingga kehadirannya bisa dinilai mendatangkan ancaman atau bahaya, yang membuat orang tidak mau mengambil resiko dengan “sosok” yang tidak dikenal.
3. Antipati Ada beberapa orang yang memang jiwanya menolak terhadap pandangan yang baru yang tidak sesuai dengan keyakinannya, meskipun sudah dijelaskan dengan berbagai berbagai cara dan metode. Orang seperti ini hanya menerima sebuah prinsip yang dia sukai dan cepat menolak sesuatu yang baru yang tidak disukai.
4. Pengalaman disakiti pada masa lalu Sejarah penjajahan negara Barat terhadap Indonesia pada masa lalu ternyata menimbulkan luka sejarah bagi rakyat Indonesia. Luka sejarah ini diceritakan dari generasi ke generasi lewat pendidikan (pelajaran sejarah di sekolah). Akibatnya generasi penerus yang mendengarkan luka sejarah masa lalu itu membangun
membangun rasa kebencian terhadap apapun yang berbau “Barat membangun rasa kebencian terhadap apapun yang berbau “Barat.” Bahkan dalam ideologi telah dikembangkan adanya silogisme berpikir “Kristen adalah Barat.” “Barat adalah musuh.” “Semua musuh harus diperangi.” - Generasi sekarang menjadi korban penafsiran yang menyimpang atas teks-teks kitab suci.
- Generasi kita telah menjadi korban indoktrinasi – dimana akal sehatnya “ditidurkan” atau “dicuci-otak” sedangkan badannya menjalankan “sugesti” guru-guru kitab suci yang sakit hati akibat luka sejarah masa lalu.
SIKAP YANG DIPERLUKAN Pendekatan Psikologis Kita harus membuka ruang untuk memfasilitasi terjadinya katarsis antar agama dan budaya, supaya luka sejarah masa lampau yang dilakukan oleh nenek moyang kita baik secara personal maupun institutional dapat disembuhkan. Setelah fase katarsis, dilanjutkan fase saling menerima dan saling mengampuni untuk mencapai suatu tahap kesempurnaan dari sebuah relasi yaitu pendamaian.
2. Pendekatan Metodologis Ada beberapa langkah yang diperlukan: a. melalui kajian/ studi biblika untuk memilah dan memilih teks-teks suci. Memilah dan memilih untuk melakukan klarifikasi teks/ ayat Alkitab mana bagian yang mengandung ajaran-ajaran yang bersifat universal dan mana bagian yang
yang mengandung ajaran-ajaran yang bersifat parsial. b. Lakukan reinterpretasi atas teks/ ayat yang telah diklarifikasi tersebut, sehingga pesan teologisnya, pesan moralnya, dan pesan praktisnya mudah dipahami umat. c. Lakukan upaya kontekstualisasi
3.Pendekatan Praktis Teologi yang kontekstual harus dapat menyapa dan menyentuh umat. Rumusan teologinya juga harus menjadi milik umat sehingga mereka mau mempraktikkannya. Umat diajak berdialog melalui kegiatan kemanusiaan (sosial diakonis). Kita berdialog dengan gaya kehidupan yang mengalirkan cinta kasih ilahi.