Upacara Adat Rambu Solo Manusia hidup di bumi ini hanya untuk sementara, kematian tidak bisa ditunda-tunda. Kesadaran itu ditanam dalam prinsip masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Prinsip tersebut dikenal masyarakat setempat sebagai Aluk Todolo, hidup mati adalah pasti dan dicerminkan dalam nilai-nilai adat dan keagamaan. Bagi Suku Toraja, Rambu Solo adalah upacara untuk memakamkan leluhur atau orang tua tercinta. Tradisi leluhur ini sekaligus menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja terhadap tanah kelahiran nenek moyang mereka. Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebelah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara. Puncak dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (Ma’Tundun), membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (Ma’roto), menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (Ma’Parokko Alang), hingga mengusung jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (Ma’Palao). Di sela ritual juga dilaksanakan adu kerbau yang disebut masyarakat setempat Ma’pasilaga Tedong, kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih. Selain itu juga dilaksanakan adu kaki yang disebut masyarakat setempat Sisemba. Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa musik, seperti pa’pompan, pa’dali-dali, dan unnosong. Serta beberapa tarian, seperti pa’badong, pa’dondi, pa’randing, pa’katia, pa’papanggan, passailo, dan pa’pasilaga tedong. Lalu ritus dibungkus dalam tarian adat untuk mengantar yang meninggal agar sampai ke dunia arwah atau puyo. Kemudian dilanjutkan dengan pemotongan kerbau untuk membekali jiwa yang pergi dengan sebaik-baiknya. Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik dan merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja, yaitu dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10-50 juta per ekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang bagaikan selendang raksasa membentang diantara pelayat tersebut. Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi.