REVITALISASI INDUSTRI PUPUK, REVITALISASI INDUSTRI GULA, PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PETROKIMIA, DAN PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI HILIR KELAPA SAWIT Disampaikan pada : FORUM KOMUNIKASI BAKOHUMAS DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
I. REVITALISASI INDUSTRI PUPUK 1. Pendahuluan Pupuk mempunyai peran yang sangat strategis sebagai penyedia hara tanah untuk mendukung ketahanan pangan nasional yaitu dalam peningkatan produksi dan produktivitas pertanian serta untuk mendukung kegiatan sektor produksi lainnya, sebagai sumber devisa dan penciptaan lapangan kerja. Kebutuhan pupuk di dalam negeri terus meningkat, sementara umur pabrik pupuk pada umumnya sudah tua, sehingga perlu dilakukan revitalisasi pabrik pupuk untuk mengganti pabrik yang sudah tua dengan pabrik yang berteknologi maju dengan tingkat konsumsi bahan baku/energi yang lebih efisien serta menambah kapasitas produksi dengan membangun pabrik baru;
Umur Pabrik Pupuk No. Pabrik Umur <20 Tahun Umur > 20 Tahun U r e a : 1. PT. Pusri 1 3 2. PT. Pupuk Kaltim 2 3. PT. Pupuk Kujang 4. PT. Petrokimia Gresik - 5. PT. Pupuk IskandarMuda Superphos : Z A : 3 3
2. Lingkup Revitalisasi Pupuk urea; Pupuk NPK; Pupuk Organik
3. Permasalahan dan Strategi a. Urea Strategi Permasalahan Mengganti pabrik dengan teknologi baru dengan konsumsi gas bumi lebih rendah dan kapasitas nya 2 kali lipat dari kapasitas awal yaitu 1,1 juta ton/th; Membangun pabrik di dekat lokasi sumber gas bumi; Dalam jangka panjang menggunakan bahan baku dengan gasifikasi batubara ? Umur pabrik relatif sudah tua; Efisiensi penggunaan bahan baku rendah, yaitu rata-rata lebih dari 32 MMBTU/ton; Belum ada jaminan pasokan bahan baku gas bumi dalam jangka panjang
Permasalahan dan Strategi (Lanjutan……) b. NPK Strategi Parik baru akan diintegrasikan dengan pabrik amoniak; Setiap BUMN pupuk harus ada pabrik pupuk NPK, baik dengan proses chemical atau dengan blending; Melakukan kerjasama dengan penghasil bahan baku baik dengan melakukan investasi pengolahan baku di negara sumber bahan baku maupun mengolah bahan baku di Indonesia; Menyediakan bahan baku urea/amoniak untuk pabrik swasta; Permasalahan Kebutuhannya cukup besar yaitu pada tahun 2010 mencapai 8,25 juta ton; Sumber bahan baku phosphate dan kalium tidak tersedia di dalam negeri,
Permasalahan dan Strategi (Lanjutan……) c. Organik Strategi Permasalahan Memanfaatkan BUMN untuk bekerjasama dengan perusahaan di daerah melalui waralaba; Mengembangkan kompos di sentra pertanian; Koordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk pengadaan bahan baku limbah pertanian dan kotoran hewan; Berkoordinasi dengan Pemda yang difasilitasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk pengadaan sampah kota; Penyusunan SNI produk pupuk organik dan mesin peralatan agar dapat menghasilkan pupuk organik yang sesuai SNI; Kebutuhan sangat besar karena untuk perbaikan struktur tanah; Belum dapat dimanfaat-kan peluang untuk memasok kebutuhan pupuk organik; Beraneka ragamnya jenis dan spesifikasi bahan baku pupuk organik.
Meningkat 1 juta ton/tahun 4. Sasaran Revitalisasi Revitalisasi Kapasitas Dari Menjadi Urea 8,05 Juta Ton 10,40 juta ton NPK Meningkat 1 juta ton/tahun
5. Pokok-Pokok Rencana Aksi a. Urea Mempercepat terlaksananya Head of Agreement (HoA) untuk pasokan gas bumi pabrik baru sebagai tindak lanjut Inpres Revitalisasi Industri Pupuk; Mempersiapkan skema pendanaan untuk revitalisasi industri pupuk; Mengkoordinasikan dan memantau persiapan pembangunan pabrik baru seperti perizinan, Feasibility Study maupun AMDAL;
Pokok-Pokok Rencana Aksi (Lanjutan ……) b. NPK Identifikasi, klasifikasi dan penjajagan B to B antara perusahaan pupuk dengan perusahaan di negara sumber bahan baku; Menyusun misi usaha dalam rangka kunjungan ke negara penghasil bahan baku phosphate maupun KCL yang difasilitasi oleh Pemerintah; Menindaklanjuti hasil kunjungan oleh level tingkat tinggi apabila diperlukan;; Mengkoordinasikan persiapan peningkatan kapasitas BUMN dalam rangka pembangunan pabrik pupuk NPK.
Pokok-Pokok Rencana Aksi (Lanjutan ……) c. Organik Identifikasi potensi sampah pertanian untuk bahan baku kompos yang dikoordinasi oleh Kementerian Pertanian; Identifikasi potensi sampah kota untuk bahan baku organik yang dikoordinasi oleh Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah Pertanian; Menjajagi perusahaan potensial baik perusahaan daerah, koperasi maupun perorangan sebagai calon mitrak BUMN untuk pembangunan pupuk organik; Penyusunan standar produk pupuk organik dan standar mesin peralatan khususnya skala kecil; Melakukan review perizinan pupuk organik khususnya izin edar; Membangun pilot project di beberapa wilayah, khususnya untuk wilayah yang belum ada mitranya dengan BUMN.
II. REVITALISASI INDUSTRI GULA 1. Pendahuluan Gula merupakan komoditi penting dalam perekonomian nasional, karena dibutuhkan oleh masyarakat sebagai konsumsi langsung dan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman Tahun 2003 hingga 2009 kebutuhan gula semakin meningkat baik Gula Kristal Putih (GKP) dari 2,5 menjadi 2,7 juta ton dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) dari 1,7 menjadi 2,15 juta ton. Tahun 2014 diproyeksikan kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton. Jumlah Pabrik Gula saat ini 61 PG dengan kapasitas existing 226.000 TCD dan realisasi produksi tahun 2009 sebesar 2,62 juta ton, sedangkan jumlah Pabrik Gula Rafinasi sebanyak 8 perusahaan dengan kapasitas terpasang 2,43 juta ton dan realisasi produksi tahun 2009 sebesar 1,9 juta ton. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan gula nasional, maka perlu dilakukan revitalisasi pabrik gula
Peningkatan kapasitas produksi pabrik yang ada; 2. Ruang Lingkup On farm Peningkatan kapasitas produksi pabrik yang ada; Pembangunan pabrik baru.
3. Sasaran a. BUMN b. BUMS c. Pembangunan PG Baru Peningkatan produksi gula dari 1,47 juta ton (2009) menjadi 2,32 juta ton pada tahun 2014; Rehabilitasi, peningkatan kapasitas giling, peningkatan efisiensi pabrik, amalgamasi dan peningkatan kualitas gula; b. BUMS Peningkatan produksi gula dari 1,15 juta (2009) menjadi 1,22 juta ton (2014) atau naik 1,22% per tahun selama 5 tahun; Rehabilitasi, peningkatan kapasitas giling, peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan kualitas gula; c. Pembangunan PG Baru Peningkatan kapasitas giling 153.000 TCD sehingga mampu menghasilkan produksi 2,16 juta ton.
3. Permasalahan dan Strategi 4. Permasalahan dan Rencana Aksi 3. Permasalahan dan Strategi a. On Farm Rencana Aksi Permasalahan Pemantapan areal lahan diantaranya dengan pengaturan jaminan Minimal Pendapatan Petani dan pengaturan lahan produksi yang dapat dikonversi serta penerapan sistim pembelian tebu petani seperti yang dilakukan pada komoditas lain; Penyediaan sarana dan prasarana diantaranya adalah pembangunan waduk, pengadaan pompa irigasi dan pengerasan dan perbaikan jalan penghubung.; Rehabilitasi tanaman dan peningkatan produktivitas lahan. Sulitnya penambahan areal mempertahankan areal yang ada; Sewa lahan terus meningkat karena adanya alternatif pemanfaatan lahan untuk komoditi lain atau usaha lain; Kepemeilikan lahan petani yang kecil, mengakibatkan biaya pokok produksi menjadi tinggi; Keterbatasan infrastruktur dan sarana irigasi khususnya di luar Pulau Jawa; Penerapan teknologi budidaya oleh petani yang belum optimal.
3. Permasalahan dan Strategi Permasalahan dan Rencana Aksi (lanjutan ……….) 3. Permasalahan dan Strategi b. Off Farm Permasalahan Rencana Aksi Tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) masih dibawah standar karena skala ekonomis pabrik yang kurang memadai; Kinerja mesin dan peralatan pabrik gula yang kurang memadai serta manajemen produksi yang belum diperbaiki; Rendahnya tingkat otomatisasi pabrik yang mempengaruhi efisiensi dan daya saing usaha; Belum berkembangnya diversifikasi produk termasuk energi untuk meingkatkan daya saing industri gula. Rehabilitasi dan peningkatan kapasitas giling sejalan dengan peningkatan pasokan tebu; Peningkatan mutu produk melalui penggantian mesin/peralatan industri gula secara bertahap dan Revisi SNI GKP dan pemberlakuan secara wajib; Diversifikasi produk diataranya pengembangan energi berbasis tebu (bioethanol) pengganti BBM; Pembangunan pabrik gula baru; Pelaksanaan amalgamasi pabrik gula BUMN; Otomatisasi operasional peralatan pabrik; Restrukturisasi industri permesianan dalam negeri dalam menunjang revitalisasi industri gula.
III. PENGEMBANGAN KLASTER BERBASIS INDUSTRI BERBASIS PERTANIAN, OLEOCHEMICALS DI SUMATERA UTARA, RIAU DAN KALIMANTAN TIMUR 1. Pendahuluan Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS) memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, khususnya sebagai penghasil devisa, penyerap tenaga kerja dan penyedia kebutuhan pokok masyarakat. Sejak tahun 2006 Indonesia sudah menjadi penghasil Minyak Sawit Mentah (MSM), yang merupakan gabungan CPO/CPKO, terbesar di dunia dengan total produksi CPO sebesar 16 juta ton sedangkan Malaysia hanya sekitar 14,9 juta ton. Tahun 2008, produksi CPO nasional mencapai 18,7 juta ton sementara Malaysia sebesar 16,5 juta ton. Tahun 2009 produksi CPO Indonesia mencapai 20,2 juta ton, dan diprediksi pada tahun 2020 akan mencapai 40 juta ton. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008, tentang Kebijakan Industri Nasional, industri pengolahan kelapa sawit (turunan MSM) merupakan salah satu prioritas untuk dikembangkan dan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi, seperti industri oleofood, oleochemical, energi dan pharmaceutical. Dalam rangka untuk pengembangan industri hilir kelapa sawit, telah dicanangkan pengembangan klaster industri hilir sawit di Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Timur. Pengembangan klater Industri Hilir Kelapa Sawit di 3 lokasi adalah untuk menentukan model terbaik, yaitu di Sumatera Utara untuk melihat model pengembangan dengan industri penghela milik BUMN (PTPN), di Riau adalah model pengembangan klaster dengan industri penghela milik swaasta dan di Kalimantan Timur dengan industri penghela didukung oleh Pemda.
2. Pohon Industri Minyak Sawit MINYAK SAWIT MENTAH (MSM) 16 & C 18 / Ethoxylated Betain Oxygenated Fatty Acid Ester : Epoxy Stearic Octanol Ester Epthio Stearin Mono Polyhydric Alcohol Fatty Alkohol Alcohol Sulphated Esterified with Higher Saturated Fatty Acid 19 Ethoxylation Monogliserida Fatty Acids Amides Stearamide Alcanolamide of Palmitat , Stearic Oleic Acids Oleamide Alkanolamides Lipase Soap Chip Asam Lemak Confectioneries Kosmetika Shortening Vanaspati Cocoa Butter Substitute ( CBS ) MINYAK INTI SAWIT Minyak Sawit Kasar ( PKO ) ( CPO ) OLEIN Asam Amino PFAD Vit . A , E Karoten Protein Stearin Trogliserida , Digliserida , Es Sel Tunggal Monogliserida Krim Margarin Minyak Minyak Shortening Metil Sabun Metil Fat Cocoa Butter Substitute Goreng Salad Ester Cuci Ester Powder ( CBS ) Surfaktan Biodiesel Sabun Vegetable Ghee Ester Asam Lemak : Metalic Salt : Polyethoxylated Fatty Amines : Gliserol Food Palmitat / Propand Derivates : Oleat / Ba Emulsifier Stearat Palmitat / Ethylene Secondary C Palmitat Stearat / Propylene Oxide Metil Ester Sulfonat Ca , Zn Oleat / Glycol Stearat / Ethylene Stearat / Ca , Mg Propylene Glycol Propylene Oxide Stearat / Al , Li Oleic Acid Dimer C 16 & C 18 / Ethoxylated Oleat / Zn , Pb Ethylene Propylene Oxide Keterangan Keterangan Warna Warna : : = = sudah sudah diproduksi diproduksi di di Indonesia Indonesia = = belum belum diproduksi diproduksi di di Indonesia Indonesia
3. Luas Lahan dan Produksi CPO Tahun 2009 Luas Lahan Sawit : 7 juta Ha Produksi CPO : 21,3 juta ton 19 Sumber: GAPKI 2009
3. Permasalahan dan Strategi 4. Permasalahan dan Rencana Aksi 3. Permasalahan dan Strategi Permasalahan Rencana Aksi Kepastian Pasokan Minyak Sawit Mentah (MSM) untuk IHKS (Industri Hilir Kelapa Sawit) dalam negeri kurang terjamin, karena harga ekspor yang jauh lebih menarik; Peraturan yang masih belum mendukung pengembangan IHKS, Kurangnya infrastruktur pendukung IHKS seperti pelabuhan, akses jalan, tangki timbun; Pasokan gas bumi dan suplai listrik belum optimal Belum terintegrasinya industri MSM dengan industri inti, terkait dengan pendukungnya. Terbatasnya kemampuan di bidang engineering dan manufacturing teknologi IHKS; Penetapan Bea Keluar MSM dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan MSM dalam negeri ; Usulan kebijakan yang lebih mendukung untuk pengembangan IHKS; Pemberian subsidi atas Bahan Bakar Nabati PSO; Kebijakan pengaturan Tata Ruang dan Wilayah untuk pengembangan klaster IHKS; Pengembangan infrastruktur dan fasilitas untuk mendukung pengembangan klaster IHKS; Kebijakan pengembangan SDM melalui penguatan kurikulum utk tingkat SMK, perguruan tinggi serta pelatihan dan magang; Kebijakan pengembangan dan penguatan lembaga penelitian di bidang IHKS.
IV. PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI BERBASIS MIGAS, KONDENSAT DI JAWA TIMUR DAN KALIMANTAN TIMUR 1. Pendahuluan Indonesia mempunyai sumber yang potensial untuk pengembangan klaster industri petrokimia yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti sandang, papan dan pangan. Produk-produk petrokimia merupakan produk strategis karena merupakan bahan baku bagi industri hilirnya (industri tekstil, plastik, karet sintetik, kosmetik, pestisida, bahan pembersih, bahan farmasi, bahan peledak, bahan bakar, kulit imitasi, dll). Efek berganda yang luas dengan keberadaan industri petrokimia meliputi 1). penguatan struktur industri kimia dan industri lainnya, 2). pertumbuhan sub sektor ekonomi lainnya, 3). pengembangan wilayah industri, 4). proses alih teknologi, 5). perluasan lapangan kerja, 6). penghematan devisa, 7). perolehan devisa, 8). peningkatan penerimaan pajak bagi pemerintah. Agar industri petrokimia tumbuh menjadi industri yang kompetitif dalam persaingan internasional dengan mendapat pasokan yang stabil dan kompetitif, maka diperlukan kerjasama semua pemangku kepentingan dan keterkaitan yang harmonis terutama antara pihak industri primer (refinery/migas) dengan industri petrokimia hulu, dan industri petrokimia hulu dengan industri petrokimia antara maupun hilirnya. Untuk itu, telah dicanangkan pengembangan klaster industri berbasis migas, kondensat di Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Pengembangan klaster industri migas, kondensat di Jawa Timur merupakan merupakan model pengembangan industri petrokimia dengan basis industri inti aromatik, sedangkan pengembangan klaster industri berbasis migas di Kaltim adalah model pengembangan industri petrokimia dengan industri inti berbasis C1 (methana)
2. Pohon Industri Petrokimia Berbasis Migas dan Kondensat
2. Kapasitas Produksi Industri Petrokimia Hulu Kapasitas (Ton/Tahun) Ethylene 600.000 Propylene 865.000 Benzene 440.000 Toluene 100.000 Paraxylene 796.000 O-xylene 120.000 Ammonia 6.422.500 Methanol 990.000 23
3. Permasalahan dan Strategi 4. Permasalahan dan Rencana Aksi 3. Permasalahan dan Strategi Permasalahan Rencana Aksi Kurangnya pasokan bahan baku naphtha/kondensat sehingga sebagian masih diimpor; Kurangnya pasokan gas bumi untuk bahan baku amoniak dan methanol; Insentif bagi investasi baru atau penambahan kapasitas masih kurang; Bunga pinjaman untuk revitalisasi industri petrokimia tidak kompetitif; Integrasi refinery dan industri petrokimia, sehingga di masa mendatang Indonesia hanya mengimpor minyak mentah/crude oil saja; Pengutamaan pasokan gas bumi untuk dalam negeri; Pemberian insentif untuk mendukung pengembangan industri petrokimia;