Chairul Tanjung si Anak Singkong
CHAIRUL TANJUNG SUKSES BISNIS DI SAAT KRISIS Belakangan ini, Chairul Tanjung adalah sosok pengusaha yang namanya paling banyak disebut ketika berbicara mengenai peta baru pengusaha besar nasional. Ia banyak disebut sebagai the rising star. Pengusaha pemilik Para Group ini berhasil melakukan lompatan bisnis yang spektakuler justru ketika ekonomi masih dilanda badai krisis. Lompatan besar bermula ketika ia memutuskan untuk mengambil alih kepemilikan Bank Mega pada 1996 lalu. LECTURE RESUME’S – Berkat tangan dinginnya, bank kecil dan sedang sakit-sakitan yang sebelumnya dikelola oleh kelompok Bappindo itu kemudian disulap menjadi bank besar dan disegani. Pada akhirnya bank ini pun menjadi pilar penting dalam menopang bangunan Para Group. Dua pilar lain adalah Trans TV dan Bandung Supermall.
Sebagai sosok pengusaha sukses yang kini langka, Chairul dikalangan teman-teman dekatnya sering dijuluki sebagai The Last of The Mohicans. Sebutan ini mengacu pada sebuah judul film terkenal produksi Hollywood beberapa tahun lalu yang menceritakan kisah penaklukan kaum kulit putih terhadap bangsa Indian di Amerika Serikat sana. Pada akhirnya, bangsa asli yang sebelumnya menjadi tuan tanah dan penguasa wilayah itu kemudian semakin terpinggir dan menjadi sosok langka. Namanya saja sebutan berbau joke sehingga tetap atau tidak penting. Yang jelas Chairul bukan tergolong pengusaha “dadakan” yang sukses berkat kelihaian membangun kedekatan dengan penguasa. Mengawali kiprah bisnis selagi kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, sepuluh tahun kemudian ia telah memiliki sebuah kelompok usaha yang disebut Para Group. Kelompok usaha ini dibangun berawal dari modal yang diperoleh dari Bank Exim sebesar Rp 150 juta. Bersama tiga rekannya yang lain, ia mendirikan pabrik sepatu anak-anak yang semua produknya diekspor. “Dengan bekal kredit tersebut saya belikan 20 mesin jahit merek Butterfly,” ujarnya suatu saat kepada Eksekutif
Kini pengusaha kelahiran 16 Juni 1962 itu menjadi figur sukses yang sangat sibuk. Ketika Eksekutif meminta kesempatan untuk sebuah wawancara khusus, ia mengaku kerepotan untuk memilih waktu yang tepat. Maklum, selain sibuk mengurus bisnis, pria satu ini juga punya segudang kegiatan kemasyarakatan. Sebelum terpilih menjadi ketua umum PB PBSI beberapa waktu lalu, Chairul telah aktif di berbagai organisasi sosial seperti PMI, Komite Kemanusiaan Indonesia, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia dan sebagainya. “Kini waktu saya lebih dari 50% saya curahkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan,” ungkapnya. (Tokoh Indonesia, Repro Eksekutif No. 269)
Metamorfosis Chairul Tanjung Si Anak Singkong Pengusaha harus merakyat dan tidak pelit Saya sekarang adalah akumulasi masa lalu. Demikian Chairul Tanjung, Si Anak Singkong meneguhkan kesimpulan mengenai perjalanan suksesnya, sebagai pengusaha yang benar-benar merangkak dari bawah. Tak heran, Dahlan Iskan, pengusaha media yang kini menjabat menteri BUMN, mencap Chairul Tanjung atau akrap dipanggil CT sebagai seorang Indonesia yang diimpikan oleh siapa saja: muda, bekerja keras, sukses besar, bersih, dan gentleman. Memasuki usia setengah abad, CT meluncurkan buku ber tajuk Chairul Tanjung Si Anak Singkong. CT memutuskan untuk berbagi tentang proses dalam hidup, yang ditempuhnya beserta segala tantangan dan dinamika, kepada para pembaca. Agar semua orang tahu lebih jauh mengenai kisah hidup, dan kesuksesan yang sebenarnya merupakan sebuah akumulasi perjuangan seumur hidup. Agar semua orang lebih mengenal sosok yang sesungguhnya. CT kini masuk dalam deretan pengusaha papan atas Indonesia. Kendati begitu, dia sejatinya ingin menekankan bahwa apa yang dimiliki sekarang bukan hasil dari sesuatu yang instan.
Apalagi, dia bukan anak orang kaya, bukan anak jenderal, atau anak konglomerat. Dia dijuluki The Rising Star, namun dia menolak jika dikatakan sebagai pengusaha dadakan. Segala usaha dan kerja kerasnya telah dimulai sedari masa kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi UI. Bisnis kecil-kecilan pertamanya adalah menyediakan jasa foto kopi murah bagi teman-te- man kuliah dan mengambil sedikit keuntungan. Hasil dari bisnis kecil-kecilan ini dipakai membiayai kuliah dan menyambung hidup. Julukan “Si Anak Singkong” didapatnya lantaran dia adalah seorang anak yang berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di dearah kumuh di Jakarta. Orangtuanya rela mengorban- kan apa saja demi sebuah pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Orangtua Chairul ternyata sosok yang amat tegas. Mereka mengajarkan prinsip “Agar bisa keluar dari jerat kemiskinan, pendidikan merupakan langkah yang harus ditempuh dengan segala daya dan upaya.” Untuk biaya sang anak memasuki bangku kuliah, ibunda rela menggadaikan kain kepunyaannya. Ternyata peristiwa itu menjadi semacam halilintar yang menggetarkan jiwa CT muda, yang lantas memotivasinya untuk menjadi pribadi mandiri dan menuntaskan amanat sang ibu, agar dia menempuh pendidikan dengan serius.
Sejak itu Chairul bertekad untuk tidak lagi meminta biaya kepada orangtua. Bisnis pertama CT adalah dengan memanfaatkan jaringan koneksi sejumlah tempat percetakan. Dia tahu meski di lingkungan kampusnya bertebaran tempat fotokopi, namun jika dia pergi ke tempat kenalan yang mematok harga jauh lebih murah. Langkah selanjutnya, kembali ke kampus dan menawar- kan kepada teman-temannya ongkos murah untuk fotokopi. Keuntungan dari jasa fotokopi tersebut sangat lumayan pada masanya, yakni Rp 15 ribu. Bagi CT modal berbisnis bukan uang, tapi jaringan dan kepercayaan. Peluang-peluang bisnis berikutnya pun mulai terkuak satu per satu. Setelah berhasil menjadi juragan fotokopi, sebuah batu loncatan ditemukan, yakni bisnis alat kedokteran gigi. Dengan bantuan ayah dari salah seorang teman, dia lalu diberi kepercayaan dari importir peralatan praktikum, yang kemudian dijual kembali ke teman-teman yang dokter gigi, dengan harga lebih kompetitif. Dia memperlihatkan sebagai pebisnis yang mempunyai selera bisnis berbeda dari kebanyakan. Bukan berarti CT sebelumnya terbebas dari kegagalan. Ketika memulai bisnis di luar kampus, misalnya, toko pertama yang menjual alat-alat kedokteran gigi harus gulung tikar, karena adanya ketidakdisiplinan dalam berbisnis.
Hal itu dia jadikan sebuah pelajaran yang amat berharga Hal itu dia jadikan sebuah pelajaran yang amat berharga. Dari kegagalan itu, kemudian terbangun kegigihan, kedisiplinan, dan tanggung jawab, yang kemudian melekat erat pada diri CT. Mengambil kutipan dalam buku ini, “Tidak ada kesuksesan yang bisa dicapai seperti membalikkan telapak tangan. Tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras, keuletan, kegigihan, dan ke- disiplinan.” Bagi CT, apa pun cita-cita seseorang pasti dapat direngkuh apabila mereka tidak berhenti belajar, di mana pun dan kepada siapa pun. Buku ini merangkum kisah jatuh bangun CT sebagai seorang pengusaha besar yang juga berjiwa nasionalis. Pengusaha harus merakyat dan tidak pelit. Pasalnya, sebanyak apa pun kekayaan, itu tidak akan dibawa mati. CT percaya bangsa ini akan terus berkembang menjadi bangsa yang maju dan besar. Ha- rapannya agar buku ini dapat menginspirasi dan memotivasi semua orang muda Indonesia.