Trembesi, Penyerap Karbondioksida Terbanyak Trembesi (Albizia saman atau Samanea saman) merupakan tumbuhan pohon besar, tinggi dengan tajuk yang sangat melebar. Tumbuhan ini biasa ditanam sebagai peneduh, tetapi kurang populer karena perakarannya yang sangat meluas dapat merusak jalan dan bangunan di sekitarnya. Di beberapa tempat tumbuhan ini dianggap mengganggu karena tajuknya menghambat tumbuhan lain untuk berkembang. Pohon ini mempunyai beberapa julukan nama seperti saman, pohon hujan dan monkey pod, dan ditempatkan dalam genus albizia. Trembesi disebut juga sebagai pohon hujan atau ki hujan karena air yang sering menetes dari tajuknya yang disebabkan kemampuannya menyerap air tanah yang kuat. Di beberapa daerah di Indonesia tanaman pohon ini sering disebut sebagai kayu ambon (Melayu), trembesi, munggur, punggur, meh (Jawa), ki hujan (Sunda). Tumbuhan ini diperkirakan berasal dari Meksiko, Peru, dan Brazil namun sekarang telah tersebar ke seluruh daerah beriklim tropis termasuk Indonesia. Trembesi adalah spesies pohon berbunga dalam keluarga kacang polong. Trembesi merupakan tanaman pelindung yang mempunyai banyak manfaat. Tanaman peneduh hujan ini akan tumbuh 15-25 m di tempat terbuka dengan diameter kanopi (payung) lebih besar dari tingginya. Pohon trembesi dapat mencapai ketinggian rata-rata 30-40 m, lingkar pohon sekitar 4,5 m dan mahkota pohon mencapai 40-60 m. Bentuk batangnya tidak beraturan kadang bengkok, menggelembung besar. Kulit pohon hujan ini berwarna abu-abu kecokelatan pada pohon muda yang masih halus. Sedangkan pada pohon yang sudah tua berwarna kecokelatan dan permukaan kulit sangat kasar dan terkelupas. Daun pohon trembesi mempunyai panjang tangkai sekitar 7-15 cm. Lebar daunnya sekitar 4-5 cm berwarna hijau tua, pada permukaan daun bagian bawah memiliki beludru, kalau di pegang terasa lembut. Daunnya majemuk, bisa mengerut di saat-saat tertentu, yaitu 1,5 jam sebelum matahari terbenam dan akan kembali mekar saat esok paginya setelah matahari terbit. Jika hujan datang, daun-daunnya kembali menguncup. Bentuk dahannya kecil-kecil seperti dahan putri malu. Daun ini tumbuh melebar seperti pohon beringin, tetapi tidak simetris atau tidak seimbang. Bijinya mirip dengan biji kedelai, tetapi warna cokelatnya lebih gelap. Bunganya menyerupai bulu-bulu halus berwarna putih dan bercak merah muda pada bagian bulu atasnya, ujungnya berwarna kuning, sementara pada dasar bunga berwarna merah. Panjang bunga mencapai 10 cm dari pangkal bunga hingga ujung bulu bunga. Tabung mahkota berukuran 3,7 cm dan memiliki kurang lebih 20-30 benang sari yang panjangnya sekitar 3-5 cm. Bunga menghasilkan nektar untuk menarik serangga guna berlangsungya penyerbukan. Buah trembesi bentuknya panjang lurus agak melengkung, mempunyai panjang sekitar 10-20 cm, mempunyai lebar 1,5-2 cm dan tebal sekitar 0,6 cm. Buahnya berwarna cokelat kehitam-hitaman ketika buah tersebut masak. Bijinya tertanam dalam daging berwarna cokelat kemerahan sangat lengket dan manis berisi sekitar 5-25 biji dengan panjang 1,3 cm. Hasil penelitian Endes N Dahlan menunjukkan bahwa trembesi dengan diameter tajuk 10-15 meter dapat menyerap karbon dioksida 28,5 ton per tahun. Ini angka terbesar di antara 43 jenis tanaman yang diteliti, bahkan ditambah 26 jenis tanaman lain, daya serap karbon dioksida trembesi tetap terbesar. Meskipun demikian, Endes belum bisa menjelaskan 68 jenis pohon lainnya yang diteliti. Trembesi pada mulanya diketahui tumbuh di savana Peru, Brasil, dan Meksiko, yang minim air. Kemampuan tumbuh di savana menunjukkan, pohon ini tidak memiliki evaporasi tinggi, namun Endes mengaku, belum meriset secara rinci kapasitas evaporasi trembesi. Diketahui pula, trembesi memiliki sistem perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri rhizobium untuk mengikat nitrogen dari udara. Kandungan 78% nitrogen di udara memungkinkan trembesi bisa hidup di lahan-lahan marjinal dan lahan kritis seperti bekas tambang, bahkan mampu bertahan pada keasaman tanah yang tinggi. “Selain tahan kekeringan, juga tahan genangan,” kata Endes. Eksistensi Pohon Trembesi juga sempat menuai pro dan kontra. “Trembesi termasuk jenis pohon dengan evaporasi atau penguapan tinggi sehingga berpotensi mengeringkan sumber air,” kata Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Mochammad Na’im. Menurut Na’im, trembesi memiliki tajuk yang luas, sekaligus tebal. Kondisi ini membuat cahaya matahari sulit menembus. “Tanaman di bawah naungan tajuknya tidak bisa tercukupi cahaya matahari sehingga tidak bisa tumbuh subur, bahkan mati. Jenis tanaman ini sebaiknya untuk perindang,” ujar Na’im. Akhir-akhir ini pemerintah menggalakkan penanaman pohon Trembesi (Ki Hujan) di seluruh wilayah Indonesia karena diyakini dari satu batang Trembesi dewasa mampu menyerap 28,5 ton karbondioksida (CO2) pertahunnya. Bahkan di Istana Negara, terdapat 2 batang pohon Trembesi yang ditanam oleh presiden pertama RI, Ir. Soekarno yang masih terpelihara dengan baik hingga kini. Secara bertahap, penanaman trembesi sudah dilakukan mulai bulan Januari hingga Mei 2010, pemeliharaannya akan dilakukan PT Djarum selama tiga tahun pertama. Sebelumnya, pada tanggal 13 Januari 2010, Presiden SBY mencanangkan penanaman pohon trembesi di halaman rumput terbuka Istana Negara Jakarta. Pencanangan penanaman pohon trembesi yang banyak ditanam sebagai tumbuhan peneduh di pinggir jalan itu merupakan bagian dari gerakan “one man one tree” yang telah digalakkan oleh pemerintah sebelumnya, juga sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk mereduksi 26% emisi karbon. Presiden akan membagikan satu juta biji pohon trembesi kepada gubernur seluruh Indonesia untuk ditanam di daerah masing-masing. Salah satu akademisi yang diundang Presiden SBY untuk memberikan pembekalan penanaman trembesi, 13 Januari 2010 di Istana Negara adalah Endes N Dahlan. Dengan daya teduh yang bagus dan kemampuan penyerapan karbondioksida yang sangat besar, terlepas dari segala kekurangannya, maka pohon trembesi cocok dijadikan pilihan pohon andalan untuk mengisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di lingkungan kita. Fakta nyata yang menyatakan bahwa ruang terbuka hijau di Jakarta tinggal 9% sungguh membuat miris. “Tidak mengherankan bila pada tahun 2006 Organisasi Kesehatan Dunia menilai bahwa kualitas udara Jakarta terburuk ketiga setelah Meksiko City dan Bangkok, kata planolog dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, dalam talkshow berjudul “Minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta”. Yayat Supriyatna mengatakan bahwa minimnya RTH menyebabkan sekitar 80 persen udara di Jakarta dipenuhi gas beracun. RTH merupakan amanat dari UU Pengembangan Kawasan Perkotaan No. 26/2007 yang salah satu unsurnya adalah bahwa dalam kawasan perkotaan harus tersedia RTH sebesar 10 persen RTH privat dan 20 persen RTH publik. RTH privat adalah RTH yang berada dalam ruang terbangun seperti lingkungan perumahan, sementara RTH publik adalah RTH yang berada dalam ruang terbuka (publik) di kawasan perkotaan. Diperlukan sekali hadirnya 30% RTH dikawasan kota-kota di Indonesia. Keberadaan RTH sebesar 30 persen nantinya akan dapat mengurangi kadar konsentrasi Sulfur Dioksida (SO2) sebesar 70 persen, dan nitrogen (NO2) sebesar 67 persen. Ruang Terbuka Hijau (RTH) sangat dibutuhkan di daerah perkotaan. Ruang ini bisa berupa jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, kebun raya, hutan raya, kebun binatang, hutan lindung, kuburan, dan taman makam pahlawan. Ruang ini sangat dibutuhkan, mengingat semakin tingginya pencemaran dan pemanasan global. Berbagai studi menyimpulkan bahwa banyak manfaat yang bisa diambil dari hutan kota. Pertama, hutan kota mampu menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen. Meningkatnya penggunaan mesin dengan bahan bakar minyak di perkotaan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi CO2 di udara. Apabila akumulasi CO2 berada di atas ambang batas, yaitu lebih dari 290 ppm, CO2 menyebabkan suhu udara naik karena terjadi efek rumah kaca. Kedua, kemampuannya mereduksi potensi pencemaran udara. Partikel padat yang tersuspensi dalam lapisan biosfer dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan menempel (terjerap) pada permukaan daun, terutama daun yang mempunyai permukaan kasar atau berbulu, kulit pohon, cabang, dan ranting, serta sebagian terserap masuk ke dalam stomata. Meski daun trembesi kecil, secara keseluruhan lebih banyak jumlahnya ketimbang daun jati yang lebih lebar. Ukuran daun yang kecil membuat sinar matahari dapat menjangkau daun-daun di bagian dalam tajuk. Di wilayah yang kerap tergenang, trembesi juga bermanfaat. Air akan cepat surut karena perakaran trembesi menyerap air.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_hujan http://matoa.org/trembesi-samanea-saman/ http://muslimahsakura90.wordpress.com/2010/01/27/ki-hujan-samanea-saman-sebagai-pengisi-ruang-terbuka-hijau/ http://daengbattala.com/?p=1131