Paradigma Positivistik & Konstruktivistik 17-18 April 2013
Ciri – ciri karakteristik paradigma positivistik, dalam dimensi : Epistemologi, bagi positivisme memandang bahwa ada realitas obyektif yang merupakan realitas di luar diri para peneliti. Peneliti dalam paradigma ini ditempatkan sebagai ‘disinterested scientist’ yaitu informan, pengambil keputusan dan perantara perubahan, dari sini antara peneliti dan obyeknya ‘berjarak’ (Salim dalam Narwaya, 2006 : 148)
Positivisme diidentikkan dengan teori ‘korespondensi’ (sepadan) tentang kebenaran. Menekankan kebenaran dalam bingkai fakta empiris-visual. Sesuatu dianggap benar bila ditemukan dalam fakta yang bisa ditangkap pancaindera. Kebenaran dicari lewat hubungan kausal – linier (sebab – akibat) dengan memakai hukum teori kebenaran korespondensi (kesesuaian)
Positivisme menyusun bangunan ilmu yang nomothetic yaitu ilmu yang selalu berupaya membuat hukum generalisasi. Tujuan utama setiap penelitian ilmiah adalah usaha verifikasi atas hipotesa. Kelompok positivisme, menempatkan hipotesa sebagai fakta sekaligus hukum. Realitas obyektif, tidak boleh diintervensi oleh nilai subyektif (value). Ilmu / penelitian haruslah netral dari kepentingan nilai yang ada
Ontologi, asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti Ontologi, asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti. Ontologi melihat tentang ‘ada’, eksistensi, esensi sebuah realitas. Paradigma positivisme mempunyai keyakinan bahwa hakikat kenyataan adalah tunggal. Realitas pada kenyataannya taat pada hukum yang universal. Realitas adalah sesuatu yang berdiri di luar sana (out there), peneliti berdiri dalam batas ‘jarak’ yang sudah ditentukan
Metodologi, merupakan prosedur atau cara kerja yang digunakan dalam ilmu pengetahuan. Dalam paradigma positivisme, banyak menekankan pada metodologi kuantitatif, pengujian hipotesis dan hukum – hukum kausal linier serta metode survei eksplanatif yang menguji sebuah hipotesis. Desain penelitian harus disusun secara pasti sebelum fakta – fakta dikumpulkan.
Aksiologi, dimensi epistemologis cukup berpengaruh terhadap sikap nilai. Positivisme menuntut penelitian yang bebas nilai baik kepentingan, etika ataupun pilihan moral pada subyek peneliti. Kebebasan nilai tersebut dipakai untuk menjaga wujud obyektifitas ilmu atau hasil penelitian Nilai (value) yang dimaksud bisa berupa ideologi, interest, keyakinan, politik, budaya, dsb. Konsekuensinya, sebuah penelitian hanya pada eksplanasi (menguji hipotesis, melakukan sebuah kontrol, sekaligus prediksi)
Ciri – ciri karakteristik paradigma konstruktivistik, dalam dimensi : Epistemologi, cara pandang terhadap realitas kebenaran diyakini merupakan hasil konstruksi manusia. Hubungan peneliti dan obyek penelitian bersifat interaktif dan hasil perumusan ilmu pengetahuan sangat bersifat interpretatif subyektif. Konstruktivisme, meletakkan peneliti sebagai fasilitator yang memberi alternatif dan kemampuan merekonstruksi setiap pemikiran.
Ilmu pengetahuan merupakan rekonstruksi individu yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah konsensus masyarakat. Interpretasi atau pemahaman melalui pendekatan penafsiran merupakan kekuatan untuk membangun bangunan pengetahuan, sebab menurut aliran ini akumulasi pengetahuan terletak pada kemampuan merekonstruksi dunia pengalaman seperti yang dialaminya sendiri (Narwaya, 2006 : 205).
Ontologi, konstruktivisme meyakini “relativitas kebenaran” yang dirumuskan secara sosial. Karena kebenaran itu relatif, maka sifat kebenaran pun relatif ditentukan oleh konteks masyarakat yang ada. Konstruktivisme menyatakan pengertian bahwa realitas ada bermacam – macam ; konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat plural, spesifik dan lokal tergantung pada orang yang memerlukannya.
Hubungan subyek dan obyek lebih bersifat dialektis antara keduanya Hubungan subyek dan obyek lebih bersifat dialektis antara keduanya. Subyek seakan – akan menjadi penafsir dari dunia pengalaman Paradigma konstruktvisme berusaha memberikan tafsir dengan rinci terhadap setting kehidupan keseharian. Maka pendekatan yang biasa dilakukan lebih bersifat hermeneutic (tafsiran / memahami). Contoh teori ; cultural constructivism, political economy, fenomenologi, interaksi simbolik, dan etnometodologi
Aksiologi, tujuan etis dalam konstruktivisme adalah mengupayakan bentuk “rekonstruksi realitas” sosial secara dialektis, antara peneliti dan pelaku sosial yang diteliti. Konstruktivisme menempatkan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai landasan pokok yang tidak terpisahkan dalam penelitian. Nilai dibentuk bersama antara peneliti dengan pelaku yang menjadi obyek penelitiannya dalam satu interaksi sosial yang dibangun.
Metodologi, dalam konstruktivisme metodologi yang dibangun adalah reflektif / dialektik. Pencarian pemahaman bersama tentang realitas diusahakan melalui proses interaksi seluruh pelaku sosial yang terlibat. Prosesnya tidak mekanis dan bisa saja berubah sesuai dengan proses konstruksi pengalaman yang terjadi. Menggunakan metode penelitian kualitatif dalam proses kerjanya.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan ‘hermeneutik’ dan ‘dialektik’ yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dn elaborasi suatu proses sosial. Konstruktivisme berupaya melakukan perubahan terhadap ‘cara pikir’ tentang pemaknaan realitas. Menjadi titik penting adalah sejauh mana proses interaksi yang terjadi sudah dilakukan untuk menyusun kembali konstruksi sosial melalui pemahaman bersama.