MENGENAL KITAB-KITAB DEUTEROKANONIKA PAROKI ST. FRANSISKUS ASISI, TEBET MENGENAL KITAB-KITAB DEUTEROKANONIKA
Pertemuan 1 PENGANTAR
Apa Itu Alkitab?
ALKITAB Catatan penting: setiap agama punya Kitab Suci, tapi pemahaman masing-masing agama tentang Kitab Suci tidak sama.
CIRI CORAK ALKITAB Bukan kitab yang “turun dari surga”. Ada keterlibatan manusia. Terbentuk melalui proses yang panjang. Bukan kitab ilmu pengetahuan, bukan kitab sejarah.
DEFINISI ALKITAB Kesaksian iman leluhur bangsa Israel (Perjanjian Lama) dan jemaat Gereja perdana (Perjanjian Baru). Firman Allah dalam bahasa manusia.
Alkitab, Kanon, & Deuterokanonika
TERBENTUKNYA ALKITAB Alkitab, untuk sampai pada bentuk seperti yang kita miliki sekarang, memerlukan proses yang panjang. Berawal dari tradisi lisan – lalu muncul tradisi-tradisi tertulis yang tersebar di berbagai tempat – kemudian dihimpun menjadi satu tulisan utuh – muncullah gulungan-gulungan yang berdiri sendiri-sendiri.
Dengan itu, orang Yahudi punya banyak tulisan yang dipandang suci, yang berfungsi untuk mendidik jemaat. Tulisan-tulisan itu pada dasarnya berdiri sendiri-sendiri. Akhirnya dipandang perlu untuk membuat ketetapan tulisan-tulisan apa saja yang layak disebut sebagai Kitab Suci. Proses itu disebut “kanonisasi”.
KANON Arti harfiah: alang-alang, galah, ukuran, tongkat pengukur. Arti metaforis: norma, aturan.
Arti kanon dalam dunia Alkitab: Daftar. Daftar kitab yang menjadi standar atau aturan yang bersifat normatif bagi umat. Daftar kitab yang diyakini memiliki otoritas sebagai Firman Allah dan layak menjadi tolok ukur bagi iman umat. Daftar kitab yang diterima sebagai Kitab Suci.
DEUTEROKANONIKA Note: istilah Deuterokanonika baru muncul tahun 1566 – dicetuskan oleh Sixtus dari Siena (seorang teolog) – untuk menyebut kitab-kitab dalam Perjanjian Lama yang diterima sebagai kanon oleh Gereja Katolik, namun tidak ada dalam Kitab Suci Yahudi dan Gereja Reformasi. Deutero: kedua. Deuterokanonika: kanon yang kedua.
Sejarah Kanonisasi Alkitab, Sejarah Munculnya Deuterokanonika
PERLU DIKETAHUI Kanonisasi Alkitab adalah sebuah proses yang berlangsung selama berabad-abad. Proses ini melibatkan diskusi yang rumit mengenai kitab mana yang dianggap berwibawa dan kitab mana yang tidak.
SEBELUM KANONISASI PERJANJIAN LAMA Berbagai kitab diterima oleh orang Yahudi sebagai bahan pengajaran bagi umat atau yang disebut Kitab Suci. Belum ada daftar yang diakui bersama oleh orang Yahudi di Palestina dan di luar Palestina.
SEPTUAGINTA (LXX) Pada abad 3 SM, kitab-kitab Yahudi diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Septuaginta terutama ditujukan bagi orang Yahudi yang ada di perantauan, yang kebanyakan tidak menguasai bahasa Ibrani. Septuaginta secara luas diterima dan digunakan oleh orang-orang Yahudi pada abad 1 M, juga jemaat Kristen perdana.
Septuaginta mencakup kitab-kitab yang nantinya menjadi Perjanjian Lama, Deuterokanonika, dan apokrif.
KANONISASI ALKITAB IBRANI Tahun 100 M (final tahun 200 M): orang Yahudi di Palestina menetapkan kanon – 39 kitab diterima sebagai Kitab Suci. TaNaKh: Torah, Nebiim, Ketubim. Antilegomena: tulisan-tulisan yang keotentikannya atau nilainya diragukan – antara lain Kidung Agung, Ester, Pengkhotbah.
KRITERIA SEBUAH KITAB DITERIMA DALAM KANON YAHUDI Ditulis dalam bahasa Ibrani. Punya otoritas, dalam arti dipakai oleh komunitas-komunitas Yahudi. Contoh: kitab Ester diterima karena dipakai pada Hari Raya Purim, kitab Yudit tidak.
Kitab itu harus memuat tema-tema utama dalam iman Yahudi, misalnya “keterpilihan” atau “perjanjian”. Contoh: Kidung Agung jika dilihat sebagai sebuah alegori.
Kitab itu harus ditulis sebelum zaman Ezra, karena diyakini tidak ada lagi inspirasi ilahi sesudah itu. Contoh: Yunus diterima karena dulu diperkirakan ditulis sebelum kehancuran Niniwe (612 SM).
SIKAP ORANG YAHUDI DI LUAR PALESTINA Orang Yahudi di luar Palestina mula-mula punya daftar Kitab Suci yang lebih panjang, meliputi TaNaKh dan beberapa kitab dari Septuaginta. Namun, mereka kemudian meninggalkannya, dan menerima TaNaKh.
SIKAP JEMAAT KRISTEN PERDANA Septuaginta secara luas diterima dan digunakan oleh orang-orang Yahudi pada abad 1 M, juga jemaat Kristen perdana. Karena pengaruh Septuaginta, selain TaNaKh, jemaat Kristen menerima pula sejumlah tulisan yang tidak diterima sebagai Kitab Suci oleh orang Yahudi.
Kanon Perjanjian Lama yang diterima oleh Gereja ditetapkan oleh Paus Damasus I dalam Konsili Roma (382) – ditegaskan kembali dalam Konsili Hippo (393) dan Kartago (397) – ketika Protestantisme merebak, hal itu ditegaskan ulang di konsili Trente (1546).
KANON PERJANJIAN LAMA TaNakh (dengan urutan yang berbeda). Tobit. Yudit. Tambahan –tambahan pada Kitab Ester. Kebijaksanaan Salomo. Sirakh. Barukh dan Surat Nabi Yeremia. Tambahan-tambahan pada Kitab Daniel. 1 Makabe. 2 Makabe.
SIKAP JEMAAT REFORMASI Pada tahun 1517, protestantisme merebak, dipelopori oleh Martin Luther. Karena mengembangkan ajaran yang berbeda dengan ajaran Gereja Katolik, dapat dimengerti bahwa ia juga meninjau kembali kitab-kitab yang diterima sebagai Kitab Suci. Akhirnya ditetapkan bahwa mereka mengikuti kanon yang ditetapkan orang Yahudi.
ALASAN PENOLAKAN Tidak pernah dikutip Yesus. Sebagian bapa Gereja menganggap teks-teks itu tidak terinspirasi. Tidak diterima dalam kanon Alkitab Ibrani. Sejumlah kitab tidak ditulis dalam bahasa Ibrani. Sejumlah kitab mutunya rendah, sehingga tidak layak masuk dalam Kitab Suci. Kitab-kitab itu baru diakui dalam Konsili Trente (1546).
TANGGAPAN Banyak kitab tidak dikutip oleh Yesus, sebaliknya di antara kitab yang ditolak ada yang cukup berpengaruh terhadap ajaran Yesus maupun Perjanjian Baru (lih. Sir. 10-18). Hampir pasti bahwa Kitab Suci yang dibaca Yesus maupun penulis Injil adalah Septuaginta. Sejumlah Bapa Gereja mengutip dan menerima kitab-kitab itu sebagai Kitab Suci.
Pada masa penyusunan kitab-kitab suci, bahasa Yunani dipakai secara luas. Mengapa mengikuti ketetapan orang Yahudi, padahal mereka menolak Kristus, Injil, dan Perjanjian Baru? Mutu Sirakh dan Kebijaksanaan Salomo sangat bagus. Gaya bercerita Tobit dan Yudit juga cukup konsisten dan jelas. Gereja menetapkan kanon Perjanjian Lama sejak lama, konsili Trente hanya menegaskannya kembali.
INFORMASI TAMBAHAN Mulai tahun 1566, kitab-kitab yang dipersoalkan diberi julukan Deuterokanonika. Meskipun menolak menyebutnya sebagai Kitab Suci, Martin Luther tetap menerjemahkannya . Terjemahan itu diletakkan di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai tambahan. 1827 British and Foreign Bible Society mencoret Deuterokanonika dari Kitab Suci mereka.
Karena itu dapat dipastikan bahwa pada abad 16 sampai awal abad 19, kitab-kitab itu tetap ada dalam Kitab Suci jemaat Protestan.
DUGAAN Ada kitab yang ditolak Martin Luther karena tidak sesuai dengan ajaran yang dikembangkannya. Kitab itu adalah 2 Makabe. 2 Makabe mengajarkan kita untuk berdoa bagi keselamatan jiwa yang meninggal (2Mak. 12:38-45). Itu bertentangan dengan ajaran Luther yang tentang sola fide.
YANG MENARIK Luther juga kurang menyukai sejumlah kitab dalam Perjanjian Baru dan ingin juga menolaknya masuk dalam Kitab Suci. Kitab-kitab itu adalah Surat Yakobus, Surat kepada Orang Ibrani, Surat Yudas, dan kitab Wahyu. Karena tokoh-tokoh reformasi lain keberatan, hal itu tidak jadi dilakukan.
Penutup
KITAB-KITAB DEUTEROKANONIKA Tobit. Yudit. Tambahan –tambahan pada Kitab Ester. Kebijaksanaan Salomo. Sirakh. Barukh dan Surat Nabi Yeremia. Tambahan-tambahan pada Kitab Daniel. 1 Makabe. 2 Makabe.
PENDAPAT GEREJA ORTODOKS Gereja Ortodoks punya lebih banyak kitab Deuterokanonika: 1 Ezra, 3 Makabe, 4 Makabe, Doa Manasye, Mazmur 151, dan sebagainya. Deuterokanonika Gereja Ortodoks yang satu berbeda dengan yang lain.
ISTILAH “APOKRIF” Apokrif: rahasia, tersembunyi. Kitab apokrif: kitab-kitab yang dipandang tidak kanonik karena nilainya diragukan. Apokrif menurut jemaat reformasi: kitab-kitab di luar Perjanjian Lama. Apokrif menurut gereja Katolik: kitab-kitab di luar Perjanjian Lama dan di luar Deuterokanonika.
Apokrif menurut gereja Ortodoks: kitab-kitab di luar Perjanjian Lama dan di luar Deuterokanonika menurut versi mereka masing-masing.
MAKNA KITAB-KITAB DEUTEROKANIKA Deuterokanonika adalah bagian integral dari Perjanjian Lama. Kitab-kitab itu sungguh terinspirasi dan bukan kitab-kitab “kelas dua”. Beberapa kitab dapat menjadi “jembatan” pemikiran antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, misalnya Kebijaksanaan Salomo yang berbicara tentang kebangkitan.
Perlu disadari pula bahwa ketika mengutip teks Perjanjian Lama, Perjanjian Baru lebih sering mengacu pada Septuaginta daripada pada teks Ibrani. Dengan begitu Perjanjian Baru pasti mengetahui pula eksistensi kitab-kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari Septuaginta.