Penentuan Harga Bayangan Output dan Input Gittinger (1986), harga bayangan adalah suatu harga yang lebih dekat menggambarkan biaya imbangan terhadap masyarakat. Alasan penggunaan harga bayangan pada analisa kebijakan karena: harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang dipilih dipakai dalam aktivitas tertentu, tetapi tidak digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat.
Langkah-langkah untuk menyesuaikan harga pasar (harga finansial) menjadi harga bayangan (nilai ekonomi) adalah sebagai berikut: 1. Penyesuaian pembayaran transfer langsung Pembayaran transfer langsung adalah pembayaran yang bukan menggunakan sumberdaya nyata tetapi hanya transfer dari klaim pada sumberdaya nyata seseorang dan transaksi kredit yang mencakup pinjaman, penerimaan, pembayaran kembali modal dan bunga. 2. Penyesuaian untuk penyimpangan harga pada barang yang diperdagangkan Barang yang diperdagangkan adalah barang yang apabila diekspor harga fob nya lebih besar dari biaya produksi domestik atau barang yang boleh diekspor melalui campur tangan pemerintah dengan menggunakan subsidi ekspor dan sebagainya. Sementara itu apabila impor, biaya domestik lebih besar dari harga cif. Penilaian dilakukan dengan menetapkan harga batas, yaitu harga fob untuk barang ekspor dan cif untuk barang impor. Harga batas kemudian disesuaikan untuk memperhitungkan biaya pengangkutan dalam negeri dan biaya pemasaran antara pelabuhan impor atau ekspor ke lokasi proyek. 3. Penyesuaian untuk penyimpangan harga pada barang yang tidak diperdagangkan Barang yang tidak diperdagangkan adalah barang-barang yang harga cif nya lebih besar dari biaya produksi domestik dan harga fob nya lebih kecil dari biaya produksi domestik. Harga bayangan dapat dianggap semacam penyesuaian yang dibuat oleh peneliti proyek terhadap harga pasar dari beberapa faktor produksi atau hasil produksi tertentu. Penyimpangan-penyimpangan harga pasar dari biaya imbangan sosial terutama disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah berupa pajak tidak langsung, subsidi maupun pengaturan harga.
Analisis PAM (Policy Analysis Matrix) Ialah matrik yang disusun dengan memasukan komponen-komponen utama: penerimaan, biaya dan keuntungan. Dari hasil analisis PAM dapat digunakan untuk mengidentifikasi petani mana yang berdayasaing dibawah kebijakan input-output pertanian yang berlaku, serta bagaimana keuntungan mereka berubah jika kebijakan tersebut berubah. Dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu negara memiliki dayasaing yang tinggi atau rendah dalam suatu sistem produksi komoditi dilihat dari teknologi dan wilayah tertentu. Serta bagaimana suatu kebijakan dapat memperbaiki dayasaing tersebut melalui penciptaan efisiensi usaha dan pertumbuhan pendapatan. Analisis PAM menunjukkan tingkat efisiensi pemakaian sumberdaya yang diusahakan baik efisiensi ekonomi maupun efisiensi finansial. Pengukuran tingkat efisiensi dalam analisis PAM ditunjukkan oleh nilai rasio biaya privat (PCR) dan rasio sumberdaya domestik (DRC).
Policy Analysis Matrix (PAM) Penerimaan Output Biaya Input Keuntungan Tradable Faktor Domestik Harga Privat/Finansial A B C D Harga Sosial/Bayangan E F G H Dampak Kebijakan I J K L Keterangan : A: Penerimaan Privat G: Biaya Input Domestik Sosial B: Biaya Input tradable Privat H: Keuntungan Sosial C: Biaya Input Domestik Privat I: Transfer Output D: Keuntungan Privat J: Transfer Input tradable E: Penerimaan Sosial K: Transfer Faktor F: Biaya Input tradable Sosial L: Transfer Bersih
Penggunaan harga privat dan sosial dalam analisis PAM menggambarkan bahwa metode tersebut mengandung analisis finansial dan ekonomi. Dalam analisis ekonomi ditinjau aktivitas yang dilihat dari sudut masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan analisis finansial dilihat dari individu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi.
Analisis-analisis yang dapat dilakukan:
Analisis Keuntungan Keuntungan adalah selisih antara penerimaan (nilai penjualan komoditi yang diterima) dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani. Analisis keuntungan terdiri atas keuntungan privat dan keuntungan sosial.
PP = D = Penerimaan Privat (A) – Biaya Input Tradable Privat (B) - Biaya Input Domestik Privat (C) Keuntungan privat (PP) menunjukan selisih antara penerimaan dengan biaya yang sesungguhnya diterima dan dibayarkan. Nilai PP > nol berarti secara finansial adanya kebijakan pemerintah atau komoditi menguntungkan untuk diusahakan. Nilai PP < atau = nol maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu kegiatan usaha tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervensi pemerintah terhadap input dan output
Jika nilai SP < atau = nol maka kegiatan usaha tidak menguntungkan. SP = H = Penerimaan Sosial (E) - Biaya Input Tradable Sosial (F) - Biaya Input Domestik Sosial (G) Keuntungan sosial (SP) menunjukan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dihitung dengan harga sosial. Jika nilai SP > nol maka secara ekonomi, yaitu pada kondisi pasar persaingan sempurna, kegiatan pengusahaan komoditi dapat dilanjutkan karena menguntungkan atau komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif. Jika nilai SP < atau = nol maka kegiatan usaha tidak menguntungkan.
Analisis Efisiensi Tingkat efisiensi pengusahaan suatu komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan kompetitif.
Jika nilai PCR > atau = 1 maka yang terjadi adalah sebaliknya. PCR = _______Biaya Input Domestik Privat_(C)_____________ Penerimaan Privat (A) – Biaya Input Tradable Privat (B) Dayasaing pada harga aktual dapat dilihat dari nilai rasio biaya privat (Privat Cost Rasio atau PCR) yaitu rasio antara biaya input domestik privat dengan nilai tambah privat. Nilai PCR < 1 , maka berarti bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan. Hal ini menunjukan bahwa pengusahaan komoditi tersebut efisien secara finansial atau memiliki dayasaing pada saat ada kebijakan pemerintah. Jika nilai PCR > atau = 1 maka yang terjadi adalah sebaliknya.
DRC = _________Biaya Input Domestik Sosial (G)___________ Penerimaan Sosial (E) – Biaya Input Tradable Sosial (F) Dayasaing pada harga ekonomi suatu komoditi juga dapat dilihat dari nilai rasio biaya sumberdaya domestik (Domestic Resource Cost atau DRC). Jika nilai DRC < 1, maka pengusahaan komoditi efisien secara ekonomi atau memiliki dayasaing pada kondisi tanpa adanya kebijakan. Hal sebaliknya berlaku jika nilai DRC lebih besar dari satu.
Analisis Dampak Kebijakan Dampak kebijakan pemerintah yang diidentifikasi dari analisis PAM meliputi dampak kebijakan pemerintah terhadap output, input dan dampak kebijakan terhadap input-output. Kebijakan pemerintah ada yang bersifat distorsif dan ada yang bersifat konstruktif.
Dampak Kebijakan Output Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan oleh nilai Transfer Output (TO) dan koefisien proteksi output nominal (Nominal Protection Coefficient on Output atau NPCO).
TO = I = Penerimaan Privat (A) – Penerimaan Sosial (E) Nilai TO merupakan selisih antara penerimaan privat dengan penerimaan sosial dari aktivitas produksi. Jika TO > 0 maka terdapat kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga privat output yang diterima oleh produsen lebih tinggi dari harga sosialnya. Nilai TO memperlihatkan besarnya transfer dari masyarakat ke produsen karena masyarakat harus membeli output dengan harga yang lebih tinggi dari seharusnya. Jika TO < 0, berarti terdapat kebijakan subsidi negatif pada output yang membuat harga privat lebih rendah dari harga sosialnya. Untuk output ekspor, angka negatif menunjukan bahwa kebijakan menyebabkan harga output yang diterima produsen di dalam negeri lebih kecil dari harga di pasar dunia.
Koefisien proteksi output nominal (Nominal Protection Coefficient on Output atau NPCO) menunjukan dampak insentif pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Nilai NPCO < 1 menunjukkan akibat kebijakan pemerintah, harga privat lebih kecil dari harga dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa produsen output memberikan nilai transfer kepada pemerintah (TO). Kebijakan ini dapat berupa subsidi negatif kepada produsen untuk barang ekspor.
Dampak Kebijakan Input Dampak kebijakan pemerintah terhadap input tradable dijelaskan dengan nilai Transfer Input (TI) dan koefisien proteksi input nominal (Nominal Protection Coefficient on Input atau NPCI. Dampak kebijakan input domestik dijelaskan oleh Transfer Faktor (TF).
TI = J = Biaya Input Tradable Privat (B) – Biaya Input Tradable Sosial (F) Dampak kebijakan pemerintah terhadap input tradable dijelaskan dengan nilai Transfer Input (TI) dan koefisien proteksi input nominal (Nominal Protection Coefficient on Input atau NPCI. Dampak kebijakan input domestik dijelaskan oleh Transfer Faktor (TF). Nilai TI menunjukan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable yang mengakibatkan terjadinya perbedaan input tradable privat dan sosial. Nilai TI positif menunjukkan kebijakan pemerintah pada input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima secara privat lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai TI negatif menunjukkan kebijakan pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima secara finansial lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
Koefisien proteksi input nominal (Nominal Protection Coefficient on Input atau NPCI). Nilai NPCI lebih dari satu menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sektor yang menggunakan input akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Nilai NPCI lebih kecil dari satu menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga produksi menggunakan input lokal.
TF = K = Biaya Input Domestik Privat (C) - Biaya Input Domestik Sosial (G) Nilai Transfer Faktor (TF) menunjukkan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada input tradable. Nilai TF menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable. Bili nilai TF positif berarti terdapat subsidi negatif pada input non tradable, sedangkan nilai TF negatif berarti terdapat subsidi positif pada input non tradable.
Dampak Kebijakan Input- Output Pengaruh kebijakan input-output dapat dijelaskan melalui analisis koefisien proteksi efektif (Effective Protection Coefficient atau EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan (KK) dan rasio subsidi bagi produsen (RSP)
Effective Protection Coefficient Merupakan analisis gabungan proteksi output dengan proteksi input Menggambarkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. EPC>1, menunjukkan kebijakan untuk melindungi produsen domestik berjalan efektif EPC<1, kebijakan melindungi produsen tidak berjalan baik
TB = L = Keuntungan Privat (D) – Keuntungan Sosial (H) atau TB = Transfer output (I) – Transfer Input (J) – Transfer Faktor (K) Transfer Bersih (TB) adalah selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Nilai TB juga menggambarkan selisih antara transfer ouput dengan transfer input. Jika nilai TB lebih besar dari nol, maka nilai tersebut menunjukan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input dan output. Jika nilai TB lebih kecil dari nol maka yang terjadi adalah sebaliknya.
KK = Keuntungan Privat (D) / Keuntungan Sosial (H) Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient atau PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Nilai PC yang kurang dari satu menunjukan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil bila dibandingkan tanpa ada kebijakan. Jika nilai PC lebih dari satu maka yang terjadi adalah sebaliknya.
SRP = Transfer Bersih (L) / Penerimaan Sosial (E) Rasio Subsidi Bagi Produsen (Subsidi Ratio to Producers atau SRP) menunjukan insentif bersih atas penerimaan yang dihitung dengan harga sosial Nilai SRP negatif menunjukan kebijakan pemerintah yang berlaku membuat produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi. Jika nilai SRP adalah positif maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Contoh Kasus: Matrik Analisis Kebijakan Usahatani Durian di Kecamatan Sungayang Uraian Penerimaan Biaya Keuntungan Input Asing Faktor Harga Finansial 706588,25 852,40 414833,03 290902,81 Harga Ekonomi 1123564,76 782,96 414860,05 707921,75 Dampak Kebijakan -416976,53 69,43 -27,02 -417018,94
Penerimaan usahatani durian secara finansial di Kecamatan Sungayang adalah sebesar Rp 706.588,25 per pohon. Biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 415.685,4 per pohon. Biaya tersebut terdiri dari biaya input tradable sebesar Rp 852 per pohon dan biaya input domestik sebesar Rp 414.833,03 per pohon. Dari nilai-nilai tersebut diperoleh keuntungan finansial sebesar Rp 290.902,81 per pohon. Nilai ini menunjukkan keuntungan yang diterima pada usahatani durian dengan adanya kebijakan sebesar Rp 290.902,81 per pohon, dimana penerimaan produsen secara finansial lebih besar dari pengeluaran biaya input tradable dan input domestik. Besarnya penerimaan sosial di Kecamatan Sungayang sebesar Rp 1.123.564,76 per pohon Dilihat dari segi biaya, biaya produksi di Kecamatan Sungayang sebesar Rp 415.643,01 per pohon. Dari penerimaan dan pengeluaran tersebut maka diperoleh keuntungan sosial dari usahatani durian di Kecamatan Sungayang sebesar Rp 707.921,75 per pohon. Keuntungan sosial yang bernilai positif menunjukkan bahwa usahatani durian di kecamatan tersebut menguntungkan secara ekonomi. Keuntungan privat yang diperoleh lebih kecil dari keuntungan ekonomi (SP>PP), hal ini berarti bahwa usahatani durian di Kecamatan Sungayang lebih menguntungkan saat tidak adanya intervensi pemerintah baik terhadap input maupun output. Nilai PP yang lebih kecil disebabkan harga ditingkat petani lebih rendah dari harga di tingkat internasional. Harga di pasar internasional dihitung berdasarkan harga cif ditambah biaya tataniaga, yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan harga finansial yang dihitung berdasarkan harga di pasar lokal.
Indikator-Indikator dari Policy Analysis Matrix Usahatani Durian di Kecamatan Sungayang Nilai Rasio Biaya Privat (PCR) 0,59 Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,37 Transfer Output (TO) -416976,53 Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0,63 Transfer Input (TI) 69,43 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,09 Transfer Faktor (TF) -27,02 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Transfer Bersih (TB) -417018,94 Koefisien Keuntungan (PC) 0,41 Rasio Subsidi Produsen (SRP) -0,37
PCR adalah rasio antara biaya input domestik dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Suatu aktivitas akan efisien secara finansial jika nilai PCR yang diperoleh kurang dari satu (PCR<1). Hasil analisis matrik PAM menunjukan bahwa nilai PCR di Kecamatan Sungayang adalah 0,59. Artinya bahwa pada harga privat untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya input domestik sebesar 0,59 satuan. Nilai PCR yang kurang dari satu menunjukkan usahatani durian di Kecamatan Sungayang memiliki dayasaing pada harga aktual. Berarti penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk diusahakan. Dayasaing pada kondisi harga ekonomi dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai DRC di Kecamatan Sungayang 0,37. Hal ini mengindikasikan bahwa pada harga bayangan untuk meningkatkan nilai output sebesar satu satuan di kecamatan tersebut diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,37 satuan. Nilai DRC yang kurang dari satu menunjukkan bahwa usahatani durian efisien secara ekonomi dan memiliki dayasaing. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya intervensi dari pemerintah usahatani durian tetap memiliki dayasaing. Nilai DRC lebih kecil dari pada PCR (DRC<PCR). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi produsen dalam berproduksi.
Dampak Kebijakan Terhadap Output Hasil analisis matrik PAM menunjukkan bahwa nilai transfer output (OT) di Kecamatan Sungayang adalah negatif sebesar Rp 416.976.53 per pohon. Berarti harga output di pasar domestik pada usahatani durian lebih rendah dibandingkan harga di pasar internasional atau terdapat transfer output dari produsen ke konsumen sebesar Rp 416.976.53 per pohon. Hal ini menyebabkan konsumen harus membeli komoditas tersebut lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima apabila pasar tidak terdistorsi atau tanpa kebijakan pemerintah. Nilai yang negatif ini akan merugikan petani karena petani kurang mendapatkan insentif. Berdasarkan analisis PAM diperoleh nilai NPCO sebesar 0,63 (NPCO>0). Nilai tersebut menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat kurang dari harga sosial.
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input Hasil analisis menunjukkan nilai TI adalah positif sebesar Rp 69,43 per pohon. Berarti bahwa kebijakan pemerintah pada input tradable merugikan produsen sebesar Rp 69,43 per pohon. Artinya terdapat pajak atau tarif impor atas input asing dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima tanpa adanya distorsi pasar. Dengan kata lain terdapat transfer pendapatan dari petani kepada produsen input asing sehingga petani menerima keuntungan finansial yang lebih besar jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan pemerintah. Nilai NPCI di Kecamatan Sungayang sebesar 1,09, berarti terdapat kebijakan proteksi terhadap produsen input, sedangkan petani dirugikan karena biaya produksi meningkat dengan menggunakan input tersebut. Dampak kebijakan input asing terhadap usahatani durian mengakibatkan biaya produksi menjadi lebih tinggi, karena petani harus membeli input asing (BBM dan pupuk) dengan harga yang lebih mahal dari harga seharusnya. Sebaliknya pihak produsen diuntungkan sebesar persentase kenaikan harga yang harus ditanggung petani. Tingginya harga input asing terjadi karena pencabutan subsidi secara bertahap yang dilakukan oleh pemerintah. Transfer faktor menunjukkan kebijakan pemerintah terhadap input domestik. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai TF pada usahatani durian negatif sebesar Rp 27,02 per pohon. Nilai TF ini menunjukkan petani mendapat subsidi dari pemerintah.
Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai EPC sebesar 0,63 Ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan proteksi yang cukup baik pada sistem usahatani durian . Produsen menerima harga input tradable dan output tidak pada harga efisiennya. Hal ini mengindikasikan produsen yang mengusahakan komoditas durian kurang mendapat perlindungan dari pemerintah. Koefisien keuntungan merupakan rasio antara keuntungan bersih aktual dengan keuntungan bersih ekonomi. Nilai PC menunjukkan pengaruh gabungan pada input dan output tradable. Nilai PC yang kurang dari satu menunjukkan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima petani menjadi lebih kecil bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai PC di Kecamatan Sungayang sebesar 0,41. Nilai ini menunjukkan keuntungan privat yang jauh lebih kecil dari keuntungan sosial di kedua kecamatan. Transfer bersih adalah selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Nilai TB juga menggambarkan selisih antara transfer output dengan transfer input untuk melihat besarnya tambahan atau berkurangnya surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Nilai TB yang negatif menunjukkan adanya kebijakan insentif membuat surplus produsen berkurang, sedangkan nilai TB yang positif mengakibatkan surplus produsen bertambah. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai TB di Kecamatan Sungayang adalah negatif Rp 417018,94 per pohon yang berarti bahwa kebijakan pemerintah terhadap input dan output tidak memberikan insentif ekonomi untuk meningkatkan produksi. Keuntungan yang diperoleh petani ketika ada kebijakan pemerintah di Kecamatan Sungayang lebih rendah Rp 417.018,94 per pohon dibandingkan keuntungan saat tidak ada campur tangan pemerintah. Rasio subsidi bagi produsen (SRP) merupakan rasio antara transfer bersih dengan penerimaan berdasarkan harga bayangan. Nilai SRP negatif menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi, sedangkan bila nilai SRP positif berarti adanya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih rendah dari biaya imbangan untuk berproduksi. Dari hasil analisis diperoleh nilai SRP di Kecamatan Sungayang adalah negatif 0,37, berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani mengeluarkan biaya produksi lebih besar 37 persen dari biaya opportunity cost untuk berproduksi.