KONFLIK HUKUM M. HAMIDI MASYKUR. PRAKTIK: KONFLIK HUKUM HARAPAN/IDEAL: TIDAK ADANYA KONFLIK HUKUM DALAM SISTEM HUKUM DIATASI DENGAN AZAS HUKUM DALAM SISTEM.

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
Advertisements

DEFINISI HAN JM. BARON De GERANDO
WIDYAWATI BOEDININGSIH / WATIEK S
WIDYAWATI BOEDININGSIH,SH.,MH
PANCASILA 5 PENGERTIAN HUKUM DASAR
Jenis Peraturan Perundang – undangan di Tingkat Pusat
FUNGSI DAN TUJUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM NEGARA HUKUM
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN By ISNAWATI
Peraturan Perundang-undangan dalam negara hukum
Sumber-sumber Hukum Hukum tidak tertulis - UU - Traktat
PERTEMUAN 4 dan 5 SUMBER HTN.
PANCASILA 4 HAKIKAT PANCASILA
KONSEP DAN HAKEKAT PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL
PENDIDIKAN PANCASILA OLEH PRIYO SULARSO HP :
MATA KULIAH HUKUM TENTANG LEMBAGA- LEMBAGA NEGARA
PENGERTIAN-PENGERTIAN UMUM HUKUM TATA NEGARA
BAB VI. PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
HUKUM TERTULIS/ PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Legal Reasoning Oleh YAS.
BAB IV ASAL MULA PANCASILA.
Sumber-Sumber Hukum Pokok Bahasan 3.
Sumber Hukum Administrasi Negara
Materi Ke-3: SEJARAH PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
NEGARA INDONESIA Indonesia adalah negara HUKUM (RECHTSSTAAT)
Sumber Hukum Perundang-undangan Korupsi di Indonesia
Pancasila Sebagai Sumber Segala Sumber Hukum
PERATURAN PERUNDANGAN
ASAS-ASAS HUKUM AGRARIA
Lanjutan Kuliah HTN ke II
BAB 3 Tata Urutan Perundang-Undangan
PENDAHULUAN HUKUM KOMERSIAL M. Hamidi Masykur, S.H., M.Kn.
DEWAN PENGURUS PROVINSI JAWA TIMUR ASOSIASI PENGUSAHA INDONESIA
PENGAKUAN HAK ULAYAT M.Hamidi Masykur.
JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
JENIS DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
NORMA HUKUM DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
6/8/2015HTN II SDN1 Perkuliahan HTN ke II SUMBER-SUMBER HTN.
1 Pertemuan 1 TATA HUKUM INDONESIA Matakuliah: F0422 / Pengantar Hukum Perdata dan Dagang Tahun: 2005 Versi: Revisi 1.
SARANA TATA USAHA NEGARA
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Berkelas.
Asas Hukum Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan diperlukan asas hukum, karena asas hukum ini memberikan pengarahan terhadap perilaku manusia.
PENGANTAR HUKUM INDONESIA
Pertemuan ke 2 “SUMBER HUKUM TATA NEGARA”
Jenis, Hierarki & Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
Hukum Administrasi Negara Semester IV Ilmu Administrasi Negara 2016
Pancasila Sebagai Sumber Segala Sumber Hukum
PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
SUMBER-SUMBER HUKUM.
Sejarah Tata Hukum Indonesia & Politik Hukum di Indonesia
Dr. Utary Maharany B.,SH.,M.Hum
S U M B E R H U K U M.
TIGA LANGKAH PENERAPAN HUKUM
LANGKAH PENERAPAN HUKUM
PENGERTIAN-PENGERTIAN UMUM HUKUM TATA NEGARA
UUD 1945 sebagai Hukum Dasar Negara
SEJARAH TATA URUTAN PERATURAN PER-UU-AN
Perundang-undangan di Indonesia
SUMBER HUKUM SUMBER HUKUM
Peraturan PerundangUndangan di Indonesia
KELOMPOK : 1. Zulfia Frianti 2. Nadya Herdinta Putri 3. Hildayanti 4
HUKUM EKONOMI DAN BISNIS
Sejarah Tata Hukum Indonesia & Politik Hukum di Indonesia
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
PEMBUATAN PERATURAN DAERAH
Mempelajari Sumber Hukum Undang-Undang
INTRODUCTION TO BUSINESS LAW
Pancasila Sebagai Sumber Segala Sumber Hukum
Transcript presentasi:

KONFLIK HUKUM M. HAMIDI MASYKUR

PRAKTIK: KONFLIK HUKUM HARAPAN/IDEAL: TIDAK ADANYA KONFLIK HUKUM DALAM SISTEM HUKUM DIATASI DENGAN AZAS HUKUM DALAM SISTEM HUKUM

MACAM-MACAM KONFLIK 1. Konflik diantara sesama peraturan perundang-undangan 2. Konflik antara peraturan perundangan dengan putusan pengadilan 3. Konflik antara peraturan perundangan dengan hukum adat dan hukum kebiasaan 4. Konflik antara putusan pengadilan dan hukum adat

(A) KONFLIK SESAMA PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

(1). AZAS LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIOR Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, apabila kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan

KESIMPULAN: Terdapat peringkat aturan Apabila ada pertentangan, maka peraturan yang di atas mengenyampingkan peraturan yang di bawahnya Adanya hak menguji peraturan perundangan Hak menguji dilakukan untuk menentukan ada tidaknya pertentangan tersebut

PERINGKAT ATURAN

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yaitu tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urut Perundangan Republik Indonesia. 1. Undang-Undang Dasar. 2. Ketetapan MPR. 3. Undang-Undang/Perpu. 4. Peraturan Pemerintah. 5. Keputusan Presiden. 6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain. TIDAK BERLAKU

UU 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah.

CONTOH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERTENTANGAN DENGAN YANG ADA DI ATASNYA TAP MPRS><UUD: Tap MPRS: mengangkat presiden seumur hidup Pasal 7 UUD: jabatan presiden 5 tahun dan sesudahnya dipilih kembali UU><UUD 45 Pasal 19 UU 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat mendesak, Presiden dapat turun dan turut campur dalam soal-soal pengadilan Turun tangan: penghentian perkara yang diperiksa Pasal 24 UUD 45: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut UU Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan UU Penjelasan: kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari campur tangan pemerintah

HAK MENGUJI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN (RECHTLIJKE TOETSINGRECHT)

2 MACAM HAK MENGUJI PERUNDANG-UNDANGAN 1. Menguji Formil: Wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif tercipta melalui CARA/PROSEDUR sebagaimana ditentukan dalam per-UU-an yang berlaku Contoh: UU dibuat oleh presiden bersama dengan DPR 2. Menguji Materiel: Wewenang untuk menyelidiki dan menilai: apakah suatu peraturan perundangan ISI nya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajadnya apakah suatu KEKUASAAN TERTENTU BERHAK mengeluarkan suatu peraturan tertentu

SIAPA YANG BERHAK MENGUJI?

LIHAT UUDS 50 Pasal 95 UUDS 50: (1). Sekalian usul UU yang telah diterima oleh DPR memperoleh kekuatan UU, apabila telah disahkan pemerintah (2). UU tidak dapat diganggu gugat KESIMPULAN: WALAUPUN UU ATAU PERATURAN YANG ADA DI ATASNYA BERTENTANGAN DENGAN UUD, TIDAK DAPAT DIUJI DENGAN KEKUASAAN NEGARA MANAPUN TERMASUK MA

SEMINAR HUKUM NASIONAL II TAHUN ‘68 Beberapa pendapat tentang hak menguji: 1. Mahkamah Agung (MA): 1. Seluruh peraturan per-UU-an termasuk UU dan TAP MPR 2. Terbatas pada UU dan peraturan di bawahnya 3. Per-UU-an di bawah UU 4. TAP MPR saja 2. MPR 3. Organ yang ditunjuk UUD atau setidak-tidaknya TAP MPR 4. Hakim untuk menyimpangi UU karena bertentangan dengan UUD melalui perkara yang dihadapinya

HAK MENGUJI: A. UU KEKUASAAN KEHAKIMAN B. UU MAHKAMAH AGUNG C. UU MAHKAMAH KONSTITUSI

UU NO. 14 TAHUN 1970 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 26 ayat (1) dan (2): MA berwenang menyatakan tidak sah per-UU-an di bawah UU karena bertentangan dengan per-UU-an di atasnya Putusan diambil dari pemeriksaan tingkat kasasi dan pencabutan dilakukan oleh instansi ybs UU TIDAK BERLAKU Kes. 1: MA UJI MATERIEL Kes. 2: MA UJI DIBAWAH UU. UU TIDAK DAPAT DIGANGGU GUGAT KASASI

Adalah kekuasaan Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan dan ketetapan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah dari semua lingkungan pengadilan dalam tingkat terakhir Pihak yang dapat mengajukan kasasi adalah, dalam perkara perdata para pihak yang berkepentingan, dan dalam perkara pidana adalah terpidana, atau pihak ketiga yang dirugikan Demi kepentingan umum, diajukan oleh Jaksa Agung MA membatalkan putusan dan ketetapan pengadilan karena: Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku Lalai memenuhi syarat yang diwajibkanper-UU-an

Kasasi hanya dapat dilakukan apabila upaya biasa (verzet, banding) telah dilakukan, kecuali kasasi oleh Jaksa Agung Praktik: tidak semua perkara sampai tingkat kasasi, sehingga MA tidak dapat menguji secara materiel Mis. Faktor waktu Contoh: UU wajib militer dan perpres pelaksanaan UU. PN PTMA

Peraturan MA no. 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji materiel Pasal 1: gugatan hak uji materiel terhadap per- UU-an yang lebih rendah dari UU yang ditujukan kepada badan/lembaga yang mengeluarkan, atau menerbitkan atau mengumumkan, setelah di ttd penggugat atau kuasanya, dapat diajukan langsung ke MA atau ke pengadilan tingkat pertama di wilayah hukum tergugat

Kesimpulan: Harus diajukan dalam bentuk GUGATAN Putusan pengadilan: 1.vonis/putusan: adanya sengketa, diajukan dengan gugatan 2.Penetapan: tidak ada sengketa, diajukan dengan permohonan Contoh kasus: -Pembatalan SIUPP Harian Prioritas -SURYA PALOH kpd MA untuk judicial review PERMENPEN No. 1/Per.menpen/1984 yang bertentangan dengan UU Pokok Pers (ps. 4: tidak dikenakan sensor dan pembredeilan; Kebebasan pers berkaitan dengan HAM dll) MA dengan keputusan no. 01/TN/1992 “tidak dapat menerima ”judicial review” yang diajukan dalam bentuk permohonan. Alasan: putusan yang inti petitumnya (terhadap permen)mengandung sanksi tidak dapat diputus begitu saja tanpa ada kesempatan bagi yang dibebani sanksi untuk membela Kesimp. Surat permohonan tsb. tidak sempurna

PRAKTIK: MA TIDAK KONSEKWEN PADA PASAL 26 UU 14/1970 JO PASAL 31 UU 14/1985 MA mengeluarkan SEMA 3 Tahun 1963: mencabut beberapa pasal BW MA melewatkan kesempatan menguji materiil PP 49 Tahun 1963 tentang Peradilan Perumahan Isi: mengatur wewenang sengketa perumahan oleh Kantor Urusan Perumahan Putusan MA yang mengkuatkan bertentangan dengan UU 14 Tahun 1970

Peraturan MA no. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji materiel Mengubah PERMA no. 1 Tahun 1993 Hak uji materiil dapat dilakukan dengan: Gugatan Permohonan keberatan Gugatan maupun permohonan keberatan dapat diajukan dengan cara: Langsung ke MA Melalui PN di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat

Pasal 12 PERMA 1 TAHUN 1999: AKIBAT HUKUM Upaya melalui Class Action

BAGAIMANA JIKA TERDAPAT PERTENTANGAN ANTARA UU/DIATASNYA DENGAN UUD? Penjelasan pasal 26 UU 14 Tahun 1970: Dalam UUD’45 hak uji terhadap UU dan per-UU-an di bawahnya TIDAK TERDAPAT PADA MA, sehingga TIDAK DENGAN SENDIRINYA hak menguji UU terhadap UUD oleh MA DAPAT dapat diletakkan dalam UU ini Apabila hendak diberikan kepada MA harus merupakan KETENTUAN KONSTITUSIONAL APABILA MA DIBERI WEWENANG MENGUJI UU, MAKA HARUS DIATUR DALAM UU

UU NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG Pasal 31: (1). MA mempunyai wewenang menguji secara materiel per- UU-an di bawah UU (2). MA berwenang menyatakan tidak sah semua per-UU-an yang lebih rendah dari UU karena bertentangan dengan per-UU-an yang lebih tinggi (3). Putusan pernyataan tidak sah per-UU-an tersebut dapat diambil dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Pencabutan dilakukan oleh instansi ybs. UU DIUBAH MA: UJI MATERIEL DI BAWAH UU

UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 11 (2) huruf b dan (3): MA berhak menguji per-UU-an di bawah UU terhadap UU; Pernyataan tidak berlaku per_UU-an dapat diambil dari pemeriksaan tingkat kasasi maupun permohonan langsung kepada MA Pasal 12(1): Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MA: UJI MATERIEL DI BAWAH UU MK: UJI MATERIEL UU Thd UUD

UU NO. 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN UU NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG Pasal 31 (1) MA berwewenang menguji per-UU-an di bawah UU terhadap UU (2) MA menyatakan tidak sah per-UU-an di bawah UU dengan alasan bertentangan dengan per-UU-an yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. (3) (4) Per-UUPutusan tidak sahnya per-UU-an dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun permohonan langsung pada MA. Per-UU-an yang dinyatakan tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (5) Putusan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Lanjutan UU no. 5 Tahun 2004 Pasal 31A (1) Permohonan pengujian per-UU-an di bawah UU terhadap UU diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA, secara tertulis dalam bahasa Indonesia. (2) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa: 1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian per-UU-an dianggap bertentangan dengan per-UU-an yang lebih tinggi; dan/atau 2) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. c. hal-hal yang diminta untuk diputus.

Lanjutan pasal 31 A (3) Dalam hal MA berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, maka permohonan tidak diterima (4) Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan (5) Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari per-UU- an yang bertentangan dengan per-UU-an yang lebih tinggi. (6) Dalam hal per-UU-an tidak bertentangan dengan per-UU-an yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, permohonan ditolak. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian per-UU-an di bawah UU diatur oleh MA

UU MA: 1.UJI MATERIEL dan UJI FORMIL DI BAWAH UU 3. DIATUR PERMOHONAN LANGSUNG 4. UJI UU OLEH MK

UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI Pasal 1 angka 1 a: Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 10 (1 a) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PENGAJUAN PERMOHONAN Pasal 29: Tertulis Dalam bahasa Indonesia Pasal 52 (1): Pemohon adalah a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

Lanjutan…… Pasal 52 (3): Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(2). AZAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (spesial) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general), apabila kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan (konflik)

Keterangan: Hanya berlaku antar UU (sederajad); apabila tidak sederajad berlaku azas lex superior Contoh: KUHPerdata dengan KUHDagang 1338 KUHP: azas kebebasan berkontrak 22 KUHD: Tiap-tiap perseroan Firma harus didirikan dengan akta otentik….

(3). AZAS LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI Peraturan perundang-undangan yang kemudian (baru) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang terdahulu (lama), apabila kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan (konflik)

Keterangan: Hanya berlaku antar UU (sederajad); apabila tidak sederajad berlaku azas lex superior. Misalnya konflik antara UU dengan PP, meskipun PP merupakan peraturan baru, tetapi tetap UU lama mengenyampingkan PP. Diterapkan apabila per-UU-an yang baru tidak secara tegas mencabut berlakunya per-UU-an yang lama. Karena pada umumnya ada pernyataan tegas mencabut yang lama.

Contoh: UUPA mencabut tegas pasal-pasal buku II KUHP sepanjang yang mengatur bumi, air dan kekayaan alam UU Hak Tanggungan, mencabut pasal tentang hipotik atas tanah UU perkawinan mencabut KUHP tentang perkawinan, HOCI dll KUHAPidana mencabut HIR

(B) KONFLIK ANTARA PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DENGAN PUTUSAN HAKIM/ PENGADILAN

AZAS “RES YUDICATA PRO VERITATE HABITUR” apabila terdapat putusan pengadilan/ hakim bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam per-UU-an, maka putusan hakimlah yang dianggap benar

Lanjutan..... Lihat: Pasal 27 UU no. 14 tahun 1970: Pasal 28 (1) UU no. 4 tahun 2004: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Hukum tertulis bersifat statis, tidak berubah sepanjang tidak diubah oleh pembuatnya, berbeda dengan hukum kebiasaan yang dinamis

Contoh 1: Pasal 108 dan 110 KUHperdata: seorang perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan, menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan ijin dari suaminya SEMA 3 Tahun 1963 (menyatakan perempuan menikah tetap cakap melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan suami)

Contoh 2: Pasal 209KUHPerdata:alasan perceraian: 1. Zina 2. Meninggalkan tempat bersama dengan sengaja 3. Hukuman penjara 5 tahun atau lebih 4. Melukai berat atau menganiaya suami/istri sehingga membahayakan jiwa, atau menyebabkan luka yang berbahaya Putusan hakim: Memutuskan perceraian dengan dasar putusan karena adanya keretakan atau percekcokan antara suami istri yang tidak dapat dipulihkan kembali

Kesimpulan: Hakim dapat (atau bahkan wajib) menyimpangi ketentuan per-UU-an yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Hakim memiliki kebebasan yang luas untuk menyimpangi ketentuan per-UU- an. Pembatasan kebebasan hakim untuk menyimpangi adalah pada per-UU-an peninggalan pemerintah kolonial Belanda

(C) KONFLIK ANTARA PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DENGAN HUKUM ADAT DAN HUKUM KEBIASAAN

PEDOMAN: 1. Apakah per-UU-an tersebut bersifat memaksa/ imperatif/ dwingenrecht atau bersifat pelengkap/ mengatur/ anfullenrecht. Keterangan: Memaksa/imperatif/dwingenrecht: dapat dilihat dari per-UU-an itu sendiri. Semua per-UU-an yang bersifat publik (dibuat untuk kepentingan umum) Pelengkap/mengatur/anfullenrecht: Masuk dalam lingkup hukum privat (perdata)

2. Yang dipergunakan: a. Apabila konflik antara per-UU-an yang bersifat dwingenrecht dengan hukum adat atau hukum kebiasaan: PER-UU-AN MENGENYAMPINGKAN HUKUM ADAT ATAU HUKUM KEBIASAAN b. Apabila konflik antara per-UU-an yang bersifat anfullenrecht dengan hukum adat atau hukum kebiasaan: HUKUM ADAT ATAU HUKUM KEBIASAAN MENGENYAMPINGKAN PER-UU-AN

CONTOH: KONFLIK ANTARA PER-UU-AN YANG BERSIFAT DWINGENRECHT DENGAN HUKUM ADAT Pasal 19 PP 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah: Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan tanah, memberikan hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan HAT sebagai tanggungan haris dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh mentri agraria…. (ket. Dalam hal ini adalah PPAT) Hukum adat: Perjanjian yang menyebabkan peralihan hak harus bersifat “terang”, artinya dilakukan dihadapan ketua adat (kades/lurah), jika tidak maka belum sah secara hukum.

CONTOH: KONFLIK ANTARA PER-UU-AN YANG BERSIFAT ANFULLENRECHT DENGAN HUKUM ADAT ATAU KEBIASAAN Pasal 1560 KUHPerdata: Penyewa punya 2 kewajiban utama: 1. Memakai barang yang dipergunakan sebagai bapak rumah tangga yang baik sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut persetujuan sewanya …. 2. Membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan Uang sewa harus diantar diantar oleh penyewa kepada pemilik Hukum kebiasaan: Hukum adat atau kebiasaan di suatu daerah, uang sewa tidak diantar, tetapi pihak pemilik yang menagih uang sewa kepada penyewa

( D) KONFLIK ANTARA HUKUM ADAT ATAU HUKUM KEBIASAAN DENGAN PUTUSAN HAKIM / PENGADILAN

AZAS “RES YUDICATA PRO VERITATE HABITUR” apabila hukum adat / kebiasaan bertentangan dengan putusan hakim/ pengadilan, maka putusan hakim/ pengadilanlah yang dianggap benar

KONFLIK HUKUM PER-UU-AN DENGAN PER-UU-AN PER-UU-AN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN PER-UU-AN DENGAN HUKUM ADAT/ KEBIASAAN PUTUSAN PENGADILAN DENGAN HUKUM ADAT/ KEBIASAAN RES YUDICATA PRO VERITATE HABITUR DWINGENRECHT ANFULLENRECHT RES YUDICATA PRO VERITATE HABITUR LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIOR LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI PERINGKAT ATURAN HAK UJI PER-UU-AN YANG KHUSUS PER-UU-AN YANG BARU PER-UU-AN HUKUM ADAT/ KEBIASAAN