Oleh: Yogi Ananta Suria (03) Nur Azizah (13) IPS Bab 4: Peristiwa-Peristiwa Politk dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan Oleh: Yogi Ananta Suria (03) Nur Azizah (13)
D. Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah Sampai Awal Tahun 1960-an
1. Hubungan Pusat-Daerah Pada tanggal 27 Desember bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955. Pemilu I tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman. Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya. Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun 1956 tidak berumur panjang karena mendapat oposisi dari daerah- daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Oposisi dari daerah terhadap pemerintah pusat ini didukung oleh para panglima daerah.
Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri (seperatis) dari pemerintah pusat, yakni : Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein. Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon. Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian. Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual. Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan oposisi dari daerah guna melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal permasalahannya adalah masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah kurang harmonis. Dalam menghadapi gerakan beberapa dewan di atas, pemerintah melakukan musyawarah untuk menyelesaikan masalah antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah. Akan tetapi, usaha- usaha musyawarah pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan, malah memunculkan pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis mengakibatkan munculnya pemberontakan di daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas politik.
PERSAINGAN GOLONGAN AGAMA DAN NASIONALIS Persaingan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam mulai terasa sejak tahun 1950. Partai- partai politik terpecah- pecah dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan dan hanya mementingkan golongannya sendiri. Rata-rata tiap tahun berganti kabinet, sehingga dalam waktu singkat saja dari tahun 1950-1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah. Kabinet- kabinet tersebut secara berturut-turut sebagai berikut : Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen. Kabinet Sukiman (t anggal 26 April 1951- Februari 1952). Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953). Kabinet ini dipimpin oleh Mr Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953). Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo (PNI). Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah. Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.
4. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955) Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia- Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD. Dengan sistem kabinet parlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipe gang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri ini bersama para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen. Jadi apabila parlemen tidak menyetujui kebijakan pemerintah maka dapat menjatuhkannya. Pada waktu itu Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet maka pemerintah tidak dapat menjalankan programnya. Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh konstituante. Konstituante hasil Pemilu I mulai bersidang pada tanggal 10 November 1956. Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah. Anggota- anggota Konstituante juga seperti anggota- anggota DPR, yakni terdiri dari wakil- wakil dari puluhan partai. Mereka terbagi atas dua kelompok utama yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam. Antara dua kelompok tersebut ternyata tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante yang selalu diwarnai dengan perdebatan ini akhirnya mendorong presiden mengemukakan gagasan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik nasional tidak stabil. Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
3. Pergolakan Sosial Politik
Pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolongan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan ialah: Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) Pemberontakan Andi Azis Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI ) dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
PRRI dan Permesta