INDUSTRIALISASI DI INDONESIA MATERI INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
KONSEP DAN TUJUAN INDUSTRIALISASI Industrialisasi ialah suatu proses interakasi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi. Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya beberapa negara dengan penduduk sedikit dan kekayaan alam meilmpah seperti Kuwait dan Libya ingin mencapai pendapatan yang tinggi tanpa industrialisasi. Faktor pendorong industrialisasi (perbedaan intesitas dalam proses industrialisasi antar negara) : Kemampuan teknologi dan inovasi; Laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita; Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Negara yang awalnya memiliki industri dasar/primer/hulu seperti baja, semen, kimia, dan industri tengah seperti mesin alat produksi akan mengalami proses industrialisasi lebih cepat
Lanjutan....Faktor pendorong industrialisasi (perbedaan intesitas dalam proses industrialisasi antar negara) : Besar pangsa pasar DN yang ditentukan oleh tingkat pendapatan dan jumlah penduduk. Indonesia dengan 200 juta orang menyebabkan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Ciri industrialisasi yaitu cara pelaksanaan industrialisasi seperti tahap implementasi, jenis industri unggulan dan insentif yang diberikan. Keberadaan SDA. Negara dengan SDA yang besar cenderung lebih lambat dalam industrialisasi. Kebijakan/strategi pemerintah seperti tax holiday dan bebas bea masuk bagi industri
Faktor Pendorong Industrialisasi Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road, dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Teori Perdagangan Internasional Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
Model Ricardian Model ini memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara. Model Heckscher-Ohlin Model ini dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional. Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-O, dikenal sebagai Paradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-O, dikenal sebagai Paradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal. Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengendalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.
Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Nasional Perusahaan manufaktur merupakan penopang utama perkembangan industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur di sebuah negara juga dapat digunakan untuk melihat perkembangan industri secara nasional di negara itu. Perkembangan ini dapat dilihat baik dari aspek kualitas produk yang dihasilkannya maupun kinerja industri secara keseluruhan. Sejak krisis ekonomi dunia yang terjadi tahun 1998 dan merontokkan berbagai sendi perekonomian nasional, perkembangan industri di Indonesia secara nasional belum memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan perkembangan industri nasional, khususnya industri manufaktur, lebih sering terlihat merosot ketimbang grafik peningkatannya. Sebuah hasil riset yang dilakukan pada tahun 2006 oleh sebuah lembaga internasional terhadap prospek industri manufaktur di berbagai negara memperlihatkan hasil yang cukup memprihatinkan. Dari 60 negara yang menjadi obyek penelitian, posisi industri manufaktur Indonesia berada di posisi terbawah bersama beberapa negara Asia, seperti Vietnam. Riset yang meneliti aspek daya saing produk industri manufaktur Indonesia di pasar global, menempatkannya pada posisi yang sangat rendah.
Gejala Deindustrialisasi Perkembangan industri manufaktur di Indonesia juga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto atau PDB. Bahkan pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006, banyak pengamat ekonomi yang mengkhawatirkan terjadinya de-industrialisasi di Indonesia akibat pertumbuhan sektor industri manufaktur yang terus merosot. Deindustrialisasi merupakan gejala menurunnya sektor industri yang ditandai dengan merosotnya pertumbuhan industri manufaktur yang berlangsung secara terus menerus. Melorotnya perkembangan sektor industri manufaktur saat itu mirip dengan gejala yang terjadi menjelang ambruknya rezim orde baru pada krisis global yang terjadi pada tahun 1998. Selain menurunkan sumbangannya terhadap produk domestik bruto, merosotnya pertumbuhan industri manufaktur juga menurunkan kemampuannya dalam penyerapan tenaga kerja. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa pada triwulan pertama tahun 2005, pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia sebenarnya masih cukup tinggi, yaitu mencapai 7,1 persen. Namun memasuki triwulan kedua tahun 2005 perkembangannya terus merosot. Bahkan pada akhir tahun 2005, perkembangan industri manufaktur kita hanya mencapai 2,9 persen. Kondisi ini semakin parah setelah memasuki triwulan pertama tahun 2006 karena pertumbuhannya hanya sebesar 2,0 persen.
Problem Pengangguran Sebagai sektor industri yang sangat penting, perkembangan industri manufaktur memang sangat diandalkan. Penurunan pertumbuhan sektor industri ini dapat menimbulkan efek domino yang sangat meresahkan. Bukan saja akan menyebabkan PDB menurun namun yang lebih mengkhawatirkan adalah terjadinya gelombang pengangguran baru. Apalagi problem pengangguran yang ada saat ini saja masih belum mampu diatasi dengan baik. Kita mestinya bisa belajar banyak dari pengalaman tragedi ekonomi tahun 1998. Selain menyangkut fondasi perekonomian nasional yang mesti diperkuat, sejumlah ahli juga melihat perlunya membenahi strategi pembangunan industri di Indonesia. Kalau perlu, pemerintah bisa melakukan rancang ulang atau redesign menyangkut visi dan misi pembangunan industri, dari sejak hulu hingga hilir. Paling tidak agar produk industri kita mampu bersaing di pasar global.
Kelemahan dalam Industri Manufaktur Industri manufaktur di LDCs lebih terbelakang dibandingkan di DCs, hal ini karena : Keterbatasan teknologi; Kualitas Sumber daya Manusia; Keterbatasan dana pemerintah (selalu difisit) dan sektor swasta; Kerja sama antara pemerintah, industri dan lembaga pendidikan dan penelitian masih rendah. Masalah Dalam Industri Manufaktur Nasional: Kelemahan Struktural Berbasis ekspor, meskipun Indonesia mempunyai banyak sumber daya alampasar masih sempit & TK, tapi produk & pasarnya masih terkonsentrasi : Terbatas pada empat produk (kayu lapis, pakaian jadi, tekstil & alas kaki); Pasar tekstil & pakaian jadi terbatas pd beberapa negara: USA, Kanada, Turki & Norwegia; USA, Jepang & Singapura mengimpor 50% dari total ekspor tekstil & pakaian jadi dari Indonesia; Produk penyumbang 80% dari ekspor manufaktur indonesia masih mudah terpengaruh oleh perubahan permintaan produk di pasar terbatas; Banyak produk manufaktur terpilih padat karya mengalami penurunan harga muncul pesaing baru seperti China & Vietman; Produk manufaktur tradisional menurun daya saingnya sbg akibat factor internal seperti tuntutan kenaikan upah.
Lanjutan….Kelemahan dalam Industri Manufaktur Ketergantungan Impor Sangat Tinggi Pada tahun 1990-an, Indonesia menarik banyak PMA untuk industri berteknologi tinggi seperti kimia, elektronik, otomotif, dsb tetapi masih proses penggabungan, pengepakan dan assembling dengan hasil: Nilai impor bahan baku, komponen & input perantara masih tinggi di atas 45%; Industri padat karya, seperti tekstil, pakaian jadi dan kulit bergantung kepada impor bahan baku, komponen dan input perantara masih tinggi; PMA sektor manufaktur masih bergantung kepada penawaran bahan baku dan komponen dari LN; Peralihan teknologi (teknikal, manajemen, pemasaran, pengembangan organisasi dan keterkaitan eksternal) dari PMA masih terbatas; Pengembangan produk dengan merek sendiri dan pembangunan jaringan pemasaran masih terbatas. Tidak Ada Industri Berteknologi Menengah Kontribusi industri berteknologi menengah (logam, karet, plastik, semen) thd pembangunan sektor industri manufaktur menurun tahun 1985 -1997; Kontribusi produk padat modal (material dari plastik, karet, pupuk, kertas, besi dan baja) thd ekspor menurun 1985–1997; Produksi produk dengan teknologi rendah berkembang pesat. Konsentrasi Regional Industri menengah dan besar terkonsentrasi di Jawa.
Lanjutan….Kelemahan dalam Industri Manufaktur Kelemahan Organisasi Industri Kecil dan Menengah masih terbelakang => produktivtas rendah => Jumlah Tenaga Kerja masih banyak (padat karya); Konsentrasi Pasar; Kapasitas menyerap dan mengembangkan teknologi masih lemah; SDM yang lemah.
Strategi Pengembangan Sektor Industri Strategi pelaksanaan industrialisasi: Strategi Substitusi Impor (Inward Looking) Bertujuan mengembangkan industri berorientasi domestik yang dapat menggantikan produk impor. Negara yang menggunakan strategi ini adalah Korea,Taiwan, dsb. Pertimbangan menggunakan strategi ini: Sumber daya alam dan faktor produksi cukup tersedia; Potensi permintaan dalam negeri memadai; Sebagai pendorong perkembangan industri manufaktur dalam negeri; Kesempatan kerja menjadi luas; Pengurangan ketergantungan impor, sehingga defisit berkurang. Strategi Promosi Ekspor (Outward Looking) Beorientasi ke pasar internasional dalam usaha pengembangan industri dalam negeri yang memiliki keunggulan bersaing. Rekomendasi agar strategi ini dapat berhasil : Pasar harus menciptakan sinyal harga yang benar yang merefleksikan kelangkaan barang tsb, baik pasar input maupun output; Tingkat proteksi impor harus rendah; Nilai tukar harus realistis.