Oleh Dewi Retno Budiastuti Etika Humas PT 9 Oleh Dewi Retno Budiastuti
Istilah profesi itu didapat sebagian terbesar dari mereka, orang-orang yang mengajarkan atau “to profess” ( menyatakan ). Awalnya, ini dari perintah agama, tetapi pada abat ke 17, definisi dari perkataan ini dialihkan kedalam masalah duniawi yang berarti “proses pencapaian hak kualifikasi”. Awal dari profesionalisme itu berhubungan dengan agama, namun demikian lambat laun istilah profesi itu dikaitkan dengan masalah duniawi dan terpisah dari masalah agama.
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan — serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut — untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan ditengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999).
Lebih lanjut Wignjosoebroto [1999] menjabarkan profesionalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian “jasa profesi” (dan bukan okupasi) ialah bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil; bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat; bahwa kerja seorang profesional — diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral — harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi. Ketiga watak kerja tersebut mencoba menempatkan kaum profesional (kelompok sosial berkeahlian)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya bersangkutan dengan profesi atau bidang pekerjaan yang berdasarkan pendidikan keahlian tertentu. Seorang profesional memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan profesinya,
Sisi lain dari profesional adalah budi pekerti, dalam arti sempit yaitu tabiat, sedangkan dalam arti luas sebagai habitat yang menyetir dan menyortir tabiat. Tabiat masih bisa dipoles secara manusia, tetapi habitat lebih menyiratkan adanya persaingan bebas bagi yang tak ingin terlibas. Jelas terminologi profesional merupakan hak asasi pegawai untuk menterjemahkan secara bebas. Tentang Satpam, mulai dari tertib parkir, tidak ada curanmor sampai areal parkir yang “layak jual” dibutuhkan profesionalisme, dalam manajemen maupun personil.
Kesimpulannya pada tingkat kepedulian, kepekaan dan keacuhan terhadap dimensi dan ruang gerak pekerjaan yang sedang digaulinya, profesionalisme adalah lebih dinyatakan pada sikap, budipekerti dan perilaku dan bukan sebagai suatu paket kemampuan teknis yang canggih sekalipun. Profesionalisme dari batasan Good Governance adalah yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kompetensi, kode etik, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang penting, jangan rancu dengan pengertian Jabatan Fungsional, yaitu bagi mereka yang dinilai mempunyai potensi yang profesional.
KRITERIA UNTUK KUALIFIKASI SEBAGAI SUATU PROFESIONAL. 1. Profesional itu dinyatakan dalam bentuk “pekerjaan full-time” yang merupakan sumber penghasilan baginya. Profesional memiliki motivasi yang kuat atas pekerjaan yang dinyatakan dengan satu komitmen seumur hidup. 2. Profesional memiliki “specialized body of knowledge” dan “ketrampilan” yang didapatkan melalui pendidikan dan pelatihan formal dalam waktu yang cukup lama. 3. Profesional membuat keputusan atas nama klien atas dasar ketetapan yang jelas, berdasarkan pengetahuan teori yang luas dan keahlian didalam penerapan klinis.
4. Profesional memiliki satu orientasi pelayanan 4. Profesional memiliki satu orientasi pelayanan. Pelayanan ini dinyatakan secara tidak langsung dalam bentuk ketrampilan diagnostik, kemampuan menerapkan pengetahuan pada kebutuhan khusus dari klien dan tidak mementingkan diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri. 5. Memberikan pelayanan berdasarkan pada kebutuhan obyektip dari klien dan tidak ada pamrih tertentu yang diharapkan oleh profesi dari klien. 6. Profesional memiliki otonomi dalam bertindak dan memutuskan. 7. Memiliki kriteria untuk registrasi, standar pendidikan, lisensi, ujian masuk, dan yurisdiksi ( batas kekuasaan ).
ELEMEN PROFESIONAL SECARA UMUM. Secara konsep teoritis, profesionalisme itu sulit diukur dan hanya bisa diakui secara ekstrim : SUKSES dan GAGAL. Elemen profesional secara umum adalah · Altruisme = Berani berkorban, mementingkan orang lain / bukan diri sendiri : → sikap profesional : suka membantu, problem solver, membuat keputusan secara tepat, obyektif. · Komitmen terhadap kesempurnaan : → sikap profesional : efektif – efisien, memberikan / mengerjakan yang terbaik. · Toleransi. : → sikap profesional : adaptable, suka bekerjasama, komunikatif, bijaksana, minta tolong jika memerlukan. · Integritas dan karakter : → sikap profesional : jujur, teguh,, tidak plin-plan, percaya diri, berjiwa pemimpin, memberi teladan. · Respek kepada semua orang.: → sikap profesional : menerima kritik, menepati janji, memegang rahasia, menghormati orang lain, tahu diri. · Sense of duty.: → sikap profesional : disiplin, tepat waktu, taat aturan.
Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk, meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup dua kasus utama, yaitu: 1. pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu. Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar kode etik profesi; dan 2. pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan kualitas keahlian yang sulit atau kurang dapat dipertanggung-jawabkan menurut standar maupun kriteria profesional.